Corona 'Gentayangan' Lagi di China, Rupiah Tetap Perkasa!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 June 2020 09:20
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Faktor eksternal dan domestik yang kondusif membuat mata uang Tanah Air sukses menapaki jalur hijau.

Pada Senin (15/6/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.050 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu alias stagnan.

Akan tetapi, rupiah tidak betah berlama-lama di zona merah. Pada pukul 09:06 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.025 di mana rupiah menguat 0,18%.

Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 1,44% di hadapan dolar AS. Bahkan rupiah sempat melemah selama tiga hari perdagangan beruntun, sesuatu yang baru kali pertama terjadi sejak awal kuartal II-2020.

Harap maklum, pekan lalu pasar keuangan global dilanda ketakutan. Penyebabnya adalah pernyataan Jerome 'jay' Powell, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Dalam keterangan seusai rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC), Powell mengungkapkan bahwa jalan menuju pemulihan ekonomi akibat hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) bakal lama.

"Dua puluh empat juga orang. Bagaimana pun negara harus bisa membuat mereka kembali bekerja. Jalan akan panjang, akan memakan waktu," kata Powell seperti dikutip dari Reuters. Angka 24 juta orang yang dimaksud Powell adalah jumlah pengangguran di AS.

Pernyataan Powell sontak menyadarkan pasar yang terbuai oleh impian kehidupan normal baru (new normal). Memang benar penularan virus corona sudah melambat dan berbagai negara telah berangsur-angsur membuka kembali keran aktivitas masyarakat.

Namun new normal adalah fase pemulihan yang sangat awal. Jalan menuju pemulihan ekonomi yang sebenarnya masih panjang, berliku, dan berbatu.

Investor yang tersadar kemudian gelagapan. Aset-aset berisiko dibuang dan pelaku pasar memasang mode bermain aman.

Dalam sepekan kemarin, investor asing membukukan jual bersih Rp 1,74 triliun di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan di pasar obligasi negara, imbal hasil (yield) surat utang tenor 10 tahun naik 13,5 basis poin. Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini turun akibat tekanan jual.

Namun memasuki akhir pekan, aura di pasar berubah. Ini ditandai dengan penguatan signifikan di bursa saham New York. Pada perdagangan yang berakhir Sabtu di hari waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average melejit 1,9%, S&P 500 menanjak 1,31%, dan Nasdaq Composite melesat 1,01%.

"Sepertinya ketakutan di pasar sudah agak menghilang. Ditambah lagi investor sudah selesai mencairkan keuntungan," ujar Rob Haworth, Senior Investment Strategist di US Bank Wealth Management yang berbasis di Seattle, seperti diberitakan Reuters.

"Pelaku pasar berpandangan bagaimana pun tahun depan kemungkinan besar lebih baik dari sekarang. Memang jalan menuju pemulihan total akan memakan waktu bertahun-tahun, tetapi kita semua berjuang untuk sampai ke sana," tambah Rich Meckler, Partner di Cherry Lane Investments yang berbasis di New Jersey, seperti dikutip dari Reuters.

Optimisme ini yang kemudian menular ke Asia. Sentimen pasar yang cenderung positif membuat aset-aset berisiko kembali diminati, termasuk di Indonesia. Hasilnya, rupiah pun menguat.

Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan data perdagangan internasional periode Mei 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi (tumbuh negatif) -19,015%. Sementara impor turun lebih dalam yaitu -24,55% sehingga neraca perdagangan diproyeksi surplus US$ 405,85 juta.

Surplus neraca perdagangan membawa harapan bahwa transaksi berjalan (current account) pada kuartal II-2020 akan terus membaik. Pada kuartal sebelumnya, transaksi berjalan mencatatkan defisit 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terendah sejak 2017.

Perbaikan transaksi berjalan akan membuat fundamental rupiah semakin kuat. Sebab pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa kian membaik.

Ditambah lagi dengan proyeksi inflasi yang rendah. Berdasarkan Survei Pemantauan Harga minggu kedua, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi Juni hanya 0,02% month-to-month (MtM). Ini membuat inflasi tahunan (year-on-year/YoY) ada di 0,93%, masih di bawah 1%.

Meski rendahnya inflasi bisa diartikan sebagai pelemahan daya beli, tetapi di sisi lain membuat berinvestasi di rupiah menjadi menguntungkan. Nilai riil rupiah tetap menarik karena tidak banyak 'termakan' oleh inflasi.

Akan tetapi, rupiah patut hati-hati karena sentimen negatif belum berhenti datang. Utamanya karena kekhawatiran akan pandemi virus corona.

Sempat jinak di China, virus corona kembali menyerang. Puluhan kasus baru tercatat di Beijing, kluster penyebaran diduga berasal dari sebuah pasar tradisional.

Kemarin, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di Negeri Tirai Bambu adalah 84.729 orang. Bertambah 58 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menjadi penambahan harian tertinggi sejak 17 April.


Di AS, kecemasan yang sama juga terjadi. US Centers of Disease Control and Prevention melaporkan, jumlah pasien positif corona di Negeri Adidaya per 13 Juni adalah 2.038.344 orang. Bertambah 22.317 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya dan merupakan kenaikan harian tertinggi sejak 7 Juni.

Oleh karena itu, ketakutan terhadap gelombang serangan kedua (second wave outbreak) datang lagi. Kekhawatiran ini beralasan mengingat aktivitas masyarakat di berbagai negara mulai diperbolehkan, sesuatu yang menimbulkan risiko penyebaran virus.

Akan tetapi, sepertinya kekhawatiran ini tidak akan bertahan lama. Sebab tidak seperti flu Spanyol, pandemi virus corona terjadi pada masa damai. Segala upaya bisa dikerahkan untuk meredam penyebaran virus, sesuatu yang sulit terjadi kala pagebluk flu Spanyol yang mewabah saat Perang Dunia I.

Selain itu, berbagai negara relatif sudah punya pengalaman untuk menangani virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. Pengalaman yang akan sangat berguna untuk menghadapi masalah serupa.

"Kami memperkirakan second wave bahkan lebih terkendali ketimbang yang pertama, karena sekarang sudah ada pengalaman. Pelonggaran kebijakan juga membuat negara-negara di Asia punya pijakan yang lebih baik," sebut riset Morgan Stanley.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular