Newsletter

IHSG Mungkin Masih Profit Taking, Tapi Ada Potensi Rebound

Tri Putra, CNBC Indonesia
11 June 2020 06:25
IHSG MELEMAH
Foto: CNN Indonesia/Safir Makki

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Rabu (10/6/20) terkapar di zona merah. Tertekan sejak awal perdagangan, IHSG anjlok 2,27% ke level 4.920,68.

Aksi profit taking para investor setelah IHSG reli panjang selama dua pekan menjadi penyebab. Investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih sebanyak Rp 517 miliar di pasar reguler hari ini.

Sebenarnya, aksi profit taking juga terjadi di bursa saham kiblat dunia, Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa lalu (9/6/2020). Wall Street Saham, yang semula menguat akibat sentimen pelonggaran karantina wilayah (lockdown), kini berguguran,

Seperti misalnya saham di sektor penerbangan, perhotelan, finansial, industri, dan energi. Indeks maskapai penerbangan juga tumbang 7,5%.

"Penjualan besar-besaran hari ini adalah hasil dari reli panjang selama sepekan kemarin, tidak ada berita besar yang menunjukkan akan turunnya kembali pasar. Akan tetapi begitu juga sebaliknya, selain data pengangguran yang dirilis pekan kemarin, tidak ada juga berita besar yang akan mendorong pasar," Ujar Mike Zigmont, kepala tim riset Harvest Volatility Management dikutip CNBC International.

"Poin data baru-baru ini seperti angka lapangan kerja dan update perusahaan yang tak-seburuk-yang -dikhawatirkan memicu pandangan bahwa penurunan yang terburuk telah di belakang kita," tulis RBC Capital Markets dalam laporan riset ditulis laman yang sama.

Departemen Tenaga Kerja AS Jumat pekan lalu mengumumkan tambahan 2,5 juta lapangan kerja pada Mei, atau jauh lebih baik dari polling Dow Jones yang sebelumnya memprediksi sebanyak 8 juta tenaga kerja hilang.

Namun, Bank Dunia membuyarkan hawa positif tersebut pada Senin dengan merilis prediksi bahwa pertumbuhan ekonomi dunia bakal anjlok 5,2% yang merupakan resesi terburuk sejak Perang Dunia kedua.

Kemarin (10/6/20) nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di perdagangan pasar spot. US$ 1 setara dengan Rp 13.920 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,58% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Sementara itu harga obligasi rupiah pemerintah Indonesia pada hari Rabu ini (10/6/2020) juga terkoreksi. Data Refinitiv menunjukkan koreksi harga surat utang negara (SUN) tercermin dari tiga seri acuan (benchmark). 

Ketiga seri tersebut adalah  FR0081 bertenor 5 tahun, FR0082 bertenor 10 tahun dan FR0080 bertenor 1tahun. Sementara FR0083 bertenor 20 tahun justru mengalami penguatan.

Seri acuan yang paling melemah hari ini adalah FR0081 yang bertenor 5 tahun dengan kenaikan yield 7,60 basis poin (bps) menjadi 6,81%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

 

[Gambas:Video CNBC]



Dari Bursa saham kiblat dunia, Amerika Serikat (AS) anjlok pada perdagangan Rabu (10/6/2020), setelah investor melanjutkan aksirealisasi keuntungan (profit taking). Indeks Dow Jones anjlok 1,04% atau turun 282,31 poin ke level 26.989,99.

Selanjutnya S&P 500 yang juga ikut terdepresiasi 0,53% atau amblas17,04 poin ke level 3.190,14. Sementara Nasdaq berhasil menanjak sebesar 0,67% atau terbang 66,60 poin ke level 10.020,35. 

Nasib Indeks Dow Jones dan Nasdaq bak bumi dan langit. Dow Jones terpaksa terlempar dari angka psikologisnya 27.000. Sedangkan Nasdaq berhasil membukukan rekor penutupan tertinggi sepanjang masa (all time high) menembus angka 10.000.

Saham-saham di sektor teknologi yang banyak menjadi konstituen indeks nasdaq berhasil mengalami kenaikan, sedangkan saham-saham di sektor energi dan keuangan yang melantai di New York Street Exchange masih terkena aksi profit taking para investor yang memberatkan laju indeks Dow.

Harga saham Apple berhasil menanjak 2,5% sementara pabrikan chip asal Negara Paman Sam NVIDIA berhasil menanjak 3,5%. Sementara itu produsen mobil listrik milik Elon Musk, Tesla berhasil menanjak 8,9%. Tesla juga menyentuh rekor tertinggi sahamnya sepanjang masa.

Sementara pabrikan minyak Chevron harus terkoreksi 3,9%, bahkan di sektor yang sama Exxon harus terkoreksi 5,3%. Sektor ini terdampak setelah harga minyak amblas, dan munculnya data stok minyak mentah AS yang naik 5,7 juta barel pada 5 Juni sedangkan konsensus hanya memprediksi kenaikan sebesar 1,7 juta barel.

Hal ini menyebabkan harga kontrak berjangka minyak mentah WTI ambles 2,24% setelah rilis data tersebut. Bahkan EIA telah memberi sinyal bahwa harga akan terus turun. Tercatat harga minya mentah WTI kontrak berjangka Juni diperdagangkan dengan harga sekitar US$ 38 per barel.

"Harga minyak mentah seharusnya diperdagangkan mendekati harga $30, bukan $40," ujar analis komoditas Investing.com Barani Krishnan, dikutip dari Investing.com.

Akan tetapi menurun Krishnan ada bukti bahwa produksi minyak mentah benar-benar turun. Produksi hari ini diestimasi sekitar 11,1 juta barel per hari atau 2 juta barel per hari lebih rendah dari rekor produksi 13,1 juta barel per hari 3 bulan lalu.

Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) The Fed juga menjadi penggerak pasar Wall Street kemarin. Maklum rapat ini tidak hanya ditunggu oleh pelaku pasar Paman Sam tapi pelaku pasar di seluruh dunia.

Sesuai konsensus The Fed tidak menaikkan atau menurunkan suku bunga, sehingga tetapi di angka 0% ke 0,25%.

"Kita tidak berpikir untuk menaikkan suku bunga, bahkan kita tidak berpikir untuk berpikir untuk menaikkan suku bunga, yang kita pikirkan itu bagaimana kita akan menyokong perekonomian, akan tetapi kita pikir hal ini akan memerlukan waktu," ujar Gubernur The Fed Jerome Powell.

Rendahnya suku bunga ini akan berlanjut, menurut The Fed suku bunga ini akan dijaga sampai pada tahun 2022. Sementara itu outlook suku bunga untuk tahun 2020, 2021, dan 2022 turun 0,1% dari proyeksi bulan Desember.

"Komite akan mempertahankan target ini sampai kita benar-benar percaya bahwa ekonomi sudah tidak terdampak masalah (virus corona) ini lagi dan sudah menuju tingkat tenaga kerja yang maksimum dan stabilitas harga," ujar The Fed.

Keputusan ini datang setelah bank sentral ini terus melanjutkan program peminjaman dananya untuk menyokong perekonomian yang sudah resmi masuk ke fase resesi sejak Februari lalu.

Data tenaga kerja pada bulan May yang kemarin berhasil membuat investor berharap akan terjadinya perbaikan ekonomi yang cepat ternyata berbeda dengan tanggapan The Fed yang memotong proyeksi pertumbuhan AS untuk tahun-tahun ke depan setelah ketidakpastian global akibat pandemi ini.

Produk Domestik Bruto (GDP) AS diprediksi akan terkontraksi sebesar 6,5% di tahun 2020, jauh dari target sebelumnya yaitu 2%. Akan tetapi The Fed berekspektasi bahwa ekonomi tahun depan akan berekspansi 5% dan di tahun 2022 akan tumbuh 3,5%, naik tinggi dari prediksi sebelumnya yaitu 1,8 di tahun 2021 dan 1,9 di tahun 2022.

Tingkat pengangguran tahun ini di prediksi akan berada di level 9,3% naik dari prediksi sebelumnya 3,5%. Tetapi akan turun ke level 5,5% di tahun 2022.

Inflasi yang menjadi penggerak kebijakan moneter untuk kedepanya diprediksi akan turun ke level 0,8%. Angka ini turun dari proyeksi sebelumnya di angka 1,9%.

Total stimulus yang disuntikkan The Fed juga menyebabkan total neraca The Fed naik menjadi US$ 7 triliun naik dari US$ 4 triliun sebelum diserang pandemi Covid-19 Maret lalu. Akan tetapi The Fed tidak berencana untuk mengurangi kebijakan pelonggaran kuantitatifnya (QE), dengan berjanji untuk tetap menjaga kecepatan pembelian obligasi dalam bulan-bulan ke depan untuk menyokong aliran kredit ke rumah tangga dan bisnis.

Sementara itu sentimen negatif datang dari Benua Biru melalui peringatan The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa pandemi corona akan mengakibatkan resesi terburuk dalam 100 tahun terakhir, dan pandemi corona jilid 2 akan mengakibatkan ekonomi dunia terkontraksi sebesar 7,6% di tahun 2020

Dari dalam negeri, rilis data Juru Bicara Pemerintah Khusus untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto pada Rabu lalu (10/6/20) menunjukkan bahwa terjadinya penambahan harian kasus positif virus nCov-19 yang kembali memecahkan rekor baru yaitu 1.241 orang positif dalam sehari dengan total 34.316 pasien positif.

Kenaikan ini sangat mengkhawatirkan mengingat akan dibukanya pusat perbelanjaan alias mal pekan depan yang akan menarik kerumunan masyarakat.

Rilis data ini tentunya akan mendatangkan ketakutan bagi para pelaku pasar akan munculnya gelombang kedua virus Covid-19. Apalagi banyak yang berpendapat bahwa gelombang pertama virus corona saja belum berhasil dilewati.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Data Produksi Industri Italia Bulan April (15:00 WIB)
  • Data Permintaan Subsidi Pengangguran Amerika Serikat pada 6 Juni (19:30 WIB)
  • Data Indeks Harga Produsen Bulan May (19:30 WIB)
  • RUPST PT United Tractors Tbk (UNTR)
  • RUPST PT Timah Tbk (TINS)
  • RUPST PT Tembaga Mulia Semanam Tbk (TBMS)
  • RUPST PT Jasa Marga Tbk (JSMR)
  • RUPST PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW)
  • RUPST PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (Mei 2020 YoY)

2,19%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-5,07% PDB

Transaksi berjalan (1Q20)

-1,4% PDB

Cadangan devisa (April 2020)

US$ 127,88 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular