
Sama-sama Bikin Vaksin Corona, AstraZeneca & Gilead Merger?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan farmasi asal Inggris, AstraZeneca PLC dikabarkan menjajaki pendekatan dengan Gilead Sciences Inc, perusahaan biofarmasi pembuat obat remdesivir asal AS, soal potensi merger. Jika terealisasi, maka deal ini berpotensi menjadi aksi korporasi terbesar di sektor farmasi.
Sumber Bloomberg mengungkapkan, AstraZeneca dilaporkan mendekati manajemen Gilead pada bulan lalu tentang potensi merger tetapi tidak memberikan spesifik tentang transaksi.
Namun perusahaan tidak dalam diskusi formal dan Gilead tampaknya tidak tertarik untuk menjual atau bergabung dengan perusahaan farmasi besar lainnya. Seorang juru bicaraAstraZeneca mengatakan kepadaBloomberg bahwa mereka tidak mengomentari "rumor atau spekulasi.
pasar."
AstraZeneca memiliki kapitalisasi sekitar US$ 140 miliar atau setara Rp 1.960 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) dan Gilead, yang sedang mengerjakan obat antivirus yang disebut remdesivir untuk mengobati pasien coronavirus, bernilai US$ 96 miliar atau Rp 1.344 triliun.
Sebelumnya, AstraZeneca, yang tercatat di Bursa New York Stock Exchange (NYSE) dan London Stock Exchange, berencana memproduksi 2 miliar dosis vaksin virus corona baru penyebab Covid-19, termasuk 400 juta untuk AS dan Inggris, serta 1 miliar untuk masyarakat di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
CEO AstraZeneca Pascal Soriot, melalui telepon kepada CNBC International, mengatakan perusahaan berencana mulai mendistribusikan vaksin ke AS dan Inggris pada September atau Oktober mendatang, dengan kesiapan pengiriman secara stabil pada awal 2021.
AstraZeneca mengatakan telah menandatangani perjanjian lisensi dengan Serum Institute of India untuk mengirim 1 miliar dosis kepada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana 400 juta di antaranya akan dikirimkan pada akhir tahun 2020.
Vaksin, bernama AZD1222, pada awalnya dikembangkan oleh Universitas Oxford di Inggris dan AstraZeneca bekerjasama dengan mitra industri farmasi untuk memproduksi dan mendistribusikan obat.
Situs resmi perusahaan mencatat, AstraZeneca adalah perusahaan farmasi yang didirikan pada 6 April 1999 dan merupakan hasil merger dari perusahaan Swedia Astra AB dan perusahaan Britania, Zeneca Group PLC.
Hingga 31 Desember 2019, pekerjanya mencapai 70.600, di mana 48,3% berada di pasar berkembang termasuk China, Rusia, Amerika Selatan dan Tengah, Timur Tengah dan Afrika, serta Asia Pasifik, lalu sebesar 26,5% di Eropa, 18,1% di AS, dan 7,1% di Jepang, Kanada, Australia dan Selandia Baru.
AstraZeneca diperdagangkan di tiga bursa sekaligus yakni London Stock Exchange, Stockholm Stock, dan New York Stock Exchange (NYSE) dengan kode saham AZN di tiga bursa tersebut.
Penjualan produk naik terus dalam 3 tahun terakhir. Pada 2019 penjualan produk perusahaan mencapai US$ 23,6 miliar atau Rp 330 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$), naik 15% dari tahun sebelumnya. Pada 2018, penjualan produk juga naik 4% menjadi US$ 21 miliar, sementara pada 2017 penjualan sempat turun 5% menjadi US$ 20,2 miliar.
![]() |
Saham AstraZeneca PLC dengan kode AZN di London Stock Exchange ditutup minus 0,77% di level 8.530 pounsterling per saham pada Kamis (4/6/2020). Sahamnya berkapitalisasi pasar US$ 139 miliar.
Di NYSE, saham berkode AZN juga minus 2,05% di level US$ 53,87/saham dengan kapitalisasi pasar US$ 141,4 miliar pada penutupan Kamis malam, atau Jumat waktu Indonesia.
Sementara itu, Gilead Sciences Inc, kabarnya akan bekerjasama dengan mitra internasional untuk memperluas produksi obat virus corona (Covid-19) yakni remdesivir.
Perusahaan pun berharap bisa memproduksi 1 juta remdesivir pada Desember 2020. "Direncanakan untuk dapat menghasilkan beberapa juta pada 2021," tulis Reuters mengutip Gilead, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (1/4/2020).
Di akhir Mei, Gilead berharap bisa memproduksi 140.000. Nantinya obat akan diberikan melalui infus rumah sakit. Sebelumnya, AS menegaskan remdesivir efektif secara klinis mengobati pasien corona. Remdesivir adalah antivirus untuk merawat pasien Ebola.
Dari uji klinis Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) AS, sekitar 31% pasien yang diberi remdesivir dengan dosis tertentu, bisa sembuh. Dalam uji coba dengan 1.063 pasien, pasien sembuh dalam 11 hari.
Ini lebih efektif dibanding obat lainnya seperti plasebo. Pasien memerlukan waktu lebih lama untuk sembuh yakni 15 hari dengan obat tersebut.
![]() Chief Executive Officer (CEO) Gilead Sciences Daniel O'Day, |
Chief Executive Officer (CEO) Gilead Sciences Daniel O'Day, mengatakan perusahaannya sudah memiliki lebih dari 50.000 obat hasil eksperimental yang siap untuk didistribusikan begitu otoritas AS mengeluarkan izin untuk penggunaan darurat.
O'Day juga mengatakan perusahaan telah menjalin komunikasi yang konstan dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS, dan komunikasi ini telah meningkat intensitasnya dalam beberapa hari terakhir ketika hasil uji coba besar mulai keluar.
Gilead Sciences adalah perusahaan biofarmasi yang berbasis di Foster City, California, Amerika Serikat (AS) yang meneliti, mengembangkan dan mengkomersialkan obat-obatan. Perusahaan ini berfokus terutama pada obat antivirus yang digunakan dalam pengobatan HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan influenza, termasuk dua obat hepatitis C yakni Harvoni dan Sovaldi.
Mengacu situs resminya, perusahaan ini pertama kali tercatat di Bursa Nasdaq, AS, pada Januari 1992 dengan kode saham GILD. Harga sahamnya menguat 1,03% di level US$ 84/saham pada penutupan perdagangan Kamis waktu AS (30/4/2020) atau Jumat pagi waktu Indonesia.
Saat ini, data perusahaan mencatat, Gilead Sciences didukung lebih dari 11.000 karyawan. Kantor pusatnya berlokasi di 333 Lakeside Drive, Foster City, California, 94404. Foster City adalah kota yang terletak di San Mateo County, California. Gilead awalnya didirikan di Negara Bagian Delaware.
Berdasarkan data laporan keuangan 2018, yang dikutip dalam program CNBC Exclusive, tayang Januari 2020, dari jumlah penjualan perusahaan, terbesar dari penjualan obat HIV sebesar US$ 14,6 miliar atau setara dengan Rp 226 triliun (asumsi kurs Rp 15.500/US$), lalu obat hepatitis C senilai US$ 3,7 miliar (Rp 57 triliun) dan obat limfoma US$ 264 juta (Rp 4 triliun).
Sementara itu, obat dalam uji coba fase ketiga yakni HIV & AIDS, obat penyakit hati, corona, penyakit paru-paru, limfoma, colitis (radang usus besar), dan arthritis (radang sendi).
(tas/sef) Next Article Laris Manis, 4 Negara Ini Bakal Pesan Vaksin Covid-19
