Kena Profit Taking, Rupiah Belum Bisa ke Bawah Rp 14.000/US$

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 June 2020 09:15
Warga menukarkan sejumlah uang di mobil kas keliling dari sejumlah bank yang terparkir di Lapangan IRTI Monas, Jakarta, Senin (13/5/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot. Sepertinya investor mulai melakukan aksi ambil untung (profit taking) karena rupiah sudah menguat sangat tajam.

Pada Kamis (4/6/2020), US$ 1 dihargai Rp 14.100 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,36% % dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Kemarin, rupiah menguat sangat tajam di hadapan dolar AS yaitu mencapai 2,29%. Rupiah tidak hanya menjadi yang terbaik di Asia, tetapi juga mata uang terkuat di dunia.


Rupiah memang sedang trengginas. Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat 6,64% terhadap dolar AS.

Sejak awal kuartal II-2020, penguatannya lebih sangar lagi yaitu hampir 14%. Luar biasa...



Oleh karena itu, rupiah jadi rentan terpapar aksi jual. Investor sudah mendapatkan cuan gede dari rupiah, sehingga ada saatnya keuntungan ini dicairkan. Kala itu terjadi, rupiah tentu melemah.

Akan tetapi, bukan berarti prospek rupiah ke depan bakal suram. Bahkan sepertinya rupiah masih akan cenderung menguat, didukung oleh faktor eksternal dan domestik yang kondusif.

Dari dalam negeri, harus diakui fundamental rupiah memang semakin kokoh. Transaksi berjalan (current account) masih defisit, tetapi kian menipis.

Pada kuartal I-2020, Bank Indonesia (BI) melaporkan defisit transaksi berjalan sebesar 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sepanjang 2020, defisit transaksi berjalan diperkirakan di bawah 2% PDB.



Artinya, pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa semakin bagus. Ini bisa menjadi modal bagi rupiah untuk terus menguat.


Selain itu, pasar keuangan Indonesia juga masih menarik bagi investor asing. Di pasar saham, valuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang diukur dari price to earnings ratio (P/E) ada di 12,66 kali. Masih lebih rendah ketimbang KLCI Malaysia (18,28 kali), SET Thailand (15,84 kali), PSEI Filipina (14,28 kali), Nikkei 225 Jepang (20,4 kali), sampai Sensex India (18,99 kali).

Valuasi IHSG masih 'murah' sehingga punya peluang untuk terus menguat. Ini tentu akan membuat investor tertarik masuk ke pasar saham Tanah Air.

Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang tenor 10 tahun saat ini ada di 7,005%. Meski dalam tren turun, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan instrumen serupa di Singapura (0,906%), Malaysia (3%), Thailand (1,25%), Filipina (3,323%), sampai India (5,815%). Cuan bukan?

Faktor eksternal juga sedang kondusif. Investor tengah bergairah memburu aset-aset berisiko.

Tingginya risk apppetite di pasar terlihat di bursa saham New York. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat tajam 2,05%, S&P 500 terangkat 1,36%, dan Nasdaq Composite naik 0,78%.


Data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa ekonomi dunia menuju kebangkitan selepas dihajar habis-habisan oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Di AS, ADP memperkirakan jumlah lapangan kerja pada Mei menyusut 2,76 juta.

Walau masih mengkerut, tetapi jauh lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yang berkurang 19,56 juta. Angka 2,76 juta juga lebih rendah dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 9 juta.

AS sudah mulai membuka keran aktivitas masyarakat. Saat ini warga Negeri Paman Sam mulai kembali beraktivitas, meski masih harus mematuhi protokol kesehatan.

Sejauh ini penerapan new normal di AS belum membuat kasus corona melonjak. US Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona per 3 Juni adalah 1.827.425 orang. Bertambah 24.955 orang (1,38%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Sejak 18 Mei, laju penambahan kasus baru di AS terjaga di bawah 2% per hari. Jika tren ini bertahan, maka bukan tidak mungkin AS akan segera mencapai puncak pandemi dan setelah itu jumlah kasus akan mulai menurun.




"Kepercayaan bahwa AS tetap aman kala menjalani reopening semakin besar. Tidak hanya di AS, China dan Italia juga berhasil melakukan hal serupa. Tidak heran risk appetite meningkat karena keyakinan akan pemulihan ekonomi," kata Davis Carter, Chief Investment Officer di Lenox Wealth Advisors yang berbasis di New York, seperti diberitakan Reuters.

Bahkan Presiden AS Donald Trump turut menyumbang optimisme. Menurut sang presiden ke-45 Negeri Adidaya, ekonomi AS akan bangkit mulai September dan tahun depan akan menjadi periode yang indah.


Berbekal optimisme ini, pelaku pasar akan tetap berani bermain agresif. Aset-aset berisiko di negara berkembang menjadi incaran, termasuk di Indonesia. Jadi, jangan putus harapan terhadap rupiah ya...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular