China vs AS-Australia-Hong Kong, Emas Siap Terbang Lagi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 May 2020 19:44
Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia terkoreksi pada perdagangan pekan ini setelah sempat mendekati level tertinggi 8 tahun.

Kondisi global saat ini mulai dari kemerosotan ekonomi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19), kemudian kebijakan moneter bank sentral dan kebijakan fiskal pemerintah di berbagai negara, plus peningkatan tensi China dengan Amerika Serikat (AS) sebenarnya menopang penguatan emas. Tetapi posisinya yang sudah tinggi tentunya memicu aksi ambil untung (profit taking) yang memicu koreksi harga di pekan ini.

Sepanjang pekan ini, emas membukukan pelemahan 0,4% ke US$ 1.734,07/troy ons berdasarkan data Refinitiv. Sebelumnya di hari Selasa (18/5/2020) emas menyentuh level US$ 1.764,55/troy ons yang merupakan level tertinggi sejak 12 Oktober 2012.

Meski terkoreksi di pekan ini, sepanjang tahun logam mulia ini sudah melesat 14,31%. Faktor utama penguatan di tahun ini adalah pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian global menuju jurang resesi.



Akibatnya bank sentral di berbagai negara menerapkan kebijakan ultra longgar dengan memangkas suku bunga bahkan menerapkan kebijakan yang tidak biasa (unconventional) seperti program pembelian aset (quantitative easing/QE).

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang paling agresif, di bawah pimpinan Jerome Powell suku bunga dibabat habis hingga menjadi 0-0,25%, kemudian mengaktifkan kembali program QE dengan nilai tanpa batas. Berapapun akan digelontorkan agar likuiditas di perekonomian AS tidak mengetat akibat pandemi Covid-19 yang membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti.

Di tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, The Fed dan bank sentral lainnya di Eropa menerapkan kebijakan yang sama, suku bunga rendah serta QE, dampaknya harga emas terus bergerak naik hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun 2011 di US$ 1.920/troy ons. 

Itu baru The Fed, bank sentral lainnya juga menerapkan kebijakan yang sama, bank sentral Australia misalnya, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah menerapkan program QE.

Shaun Djie, co-founder Digix, memprediksi kebijakan tersebut membuat perekonomian banjir likuiditas, dan emas diramal akan terus melaju naik 10 tahun ke depan, sebagaimana dilansir Kitco.

Belum lagi kebijakan fiskal pemerintah di berbagai negara, yang membuat perekonomian global banjir likuiditas, lagi-lagi kondisi yang menguntungkan bagi emas.

Kini, panasnya hubungan China dengan AS bisa menjadi katalis bagi berlanjutnya penguatan emas. Tidak hanya dengan AS, China juga sedang berseteru dengan Australia dan Hong Kong sehingga peluang penguatan emas semakin membesar.

Memanasnya hubungan China dengan AS terjadi akibat Presiden Donald Trump mendesak agar China bertanggung jawab atas terjadinya pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian AS bahkan global merosot menuju jurang resesi.

"Kami punya banyak informasi, dan itu tidak bagus. Apakah (virus corona) datang dari laboratorium atau dari kelelawar, pokoknya berasal dari China. Mereka semestinya bisa menghentikan itu dari sumbernya," kata Trump dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.

Beredar kabar pemerintahan Trump akan membuat Undang-undang (UU) yang mengharuskan China bertanggung jawab atas penyebaran virus corona. Seorang anggota Senat AS mengungkapkan, pemerintah sedang mematangkan Rancangan Undang-undang Pertanggungjawaban Covid-19 (Covid-19 Accountability Act).



Selain AS, Australia kini turut menekan China. Perdana Menteri Scott Morrison mendesak China bertanggung jawab atas penyebaran virus corona yang menjadi pandemi global.

"Sekarang sangat wajar jika dunia ingin ada kajian independen tentang bagaimana ini semua bisa terjadi. Jadi ke depan kita bisa mencegah situasi serupa terulang kembali," kata Scott Morrison, Perdana Menteri Australia, seperti diwartakan oleh Reuters.

China merespon keras pernyataan PM Morrison dengan menaikkan beberapa bea masuk importasi produk asal Australia. Tindakan China tersebut berisiko memburuk ke depannya.

Di tengah kisruh China dengan AS dan Australia akibat pandemi Covid-19, pemerintah Negeri Tiongkok berusaha melakukan intervensi ke Hong Kong.
Pemerintahan Presiden Xi Jinping berencana memberlakukan UU keamanan baru di wilayah administratifnya tersebut karena tahun lalu terjadi instabilitas akibat aksi demonstrasi selama berbulan-bulan.

AS kembali ikut campur masalah dalam negeri China tersebut.

"AS mengutuk rencana sepihak UU keamanan nasional di Hong Kong. AS mendesak Beijing agar mengkaji ulang proposal yang mengerikan ini dengan memperhatikan tanggung jawab dan menghormati otonomi serta institusi demokrasi Hong Kong," kata Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, seperti diberitakan Reuters.


[Gambas:Video CNBC]



Sekedar mengingatkan, pada tahun lalu terjadi demo berkepanjangan di Hong Kong. Awal mulanya saat Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lim memperkenalkan sebuah rancangan undang-undang (RUU) terkait ekstradisi. Pada intinya, jika disahkan, RUU ini akan memberi kuasa kepada Hong Kong untuk menahan orang yang sedang berada di sana (baik itu warga negara maupun bukan) untuk kemudian dikirim dan diadili di China.

RUU ini tentu dipandang sebagai masalah besar oleh masyarakat Hong Kong, beserta juga kalangan internasional. Pasalnya, kebebasan berpendapat yang selama ini menjadi salah satu pembeda utama antara China dan Hong Kong bisa musnah karenanya. 

Demo berdarah pun berlangsung selama berbulan-bulan di Hong Kong pada tahun lalu. China bahkan sempat mengirimkan pasukan militernya guna meredam demo di Hong Kong. 

Kini dengan rencana UU keamanan baru yang akan diterapkan China, memunculkan demo di Hong Kong, apalagi dengan AS ikut campur, sehingga harga emas berpotensi kembali menguat. 



"Sikap agresif China kepada Hong Kong dapat memperburuk hubungannya dengan AS, sehingga mendorong aksi beli (emas) para investor" kata Tai Wong, kepala strategi trading logam mulia di BMO, sebagaimana dilansir CNBC International. 

Ketegangan geopolitik bisa membuat emas melesat dalam jangka panjang, tetapi kebijakan moneter dan fiskal tetap menjadi penopang utama untuk jangka panjang. 

Ole Hansen, Kepala Ahli Strategi Komoditas di Saxo Bank lebih dulu memprediksi harga emas akan ke US$ 4.000/US$ dalam jangka panjang. 
Hansen mengatakan pelaku pasar belum paham sepenuhnya bagaimana dampak kebijakan bank sentral dan pemerintah di berbagai negara ke pasar finansial.

"Dari perspektif investasi emas, ini bukan mengenai apa yang terjadi hari ini, besok, atau bulan depan, tetapi apa yang akan terjadi 6 sampai 12 bulan ke depan atau lebih dari itu" kata Hansen, sebagaimana dikutip Kitco.

Sebelum mencapai level US$ 4.000/troy ons, Hansen memprediksi di akhir tahun ini harga emas berada di US$ 1.800/troy ons, kemudian mencetak rekor tertinggi di 2021. 


TIM RISET CNBC INDONESIA 





(pap/roy) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular