
Mantap Rupiah! Kurs Poundsterling Kini di Bawah Rp 18.000/US$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 May 2020 14:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sedang perkasa pada perdagangan hari ini, Rabu (20/5/2020), semua mata uang dilibas termasuk poundsterling (GBP) Inggris hingga ke bawah Rp 18.000/US$. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia yang menipis memberikan momentum penguatan bagi rupiah.
Pada pukul 14:05 WIB, GBP 1 setara Rp 17.990,33, poundsterling melemah 0,44% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Poundsterling kini berada di dekat level terlemah dalam dua bulan terakhir. Di awal April, kurs poundsterling menyentuh level Rp 20.409,62/GBP, itu artinya hingga hari ini mata uang Negeri Ratu Elizabeth ini sudah merosot 11,85%.
Bank Indonesia (BI) pagi tadi melaporkan defisit transaksi berjalan (CAD) kuartal I-2020 setara dengan 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,8% PDB. Defisit tersebut merupakan yang terendah sejak kuartal II-2017.
"Perbaikan surplus neraca perdagangan barang disebabkan oleh penurunan impor seiring dengan permintaan domestik yang melambat, sehingga mengurangi dampak penurunan ekspor akibat kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia," papar keterangan tertulis BI yang dirilis Rabu (20/5/2020).
"Defisit neraca jasa juga membaik dipengaruhi oleh penurunan defisit jasa transportasi sejalan dengan penurunan impor barang, di tengah penurunan surplus jasa travel akibat berkurangnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Di samping itu, perbaikan defisit neraca pendapatan primer sejalan dengan aktivitas ekonomi domestik, turut mendorong penurunan defisit transaksi berjalan," tulis BI.
Penurunan CAD tersebut membuat pasokan devisa di perekonomian nasional semakin membaik. Ini menjadi modal bagi rupiah kembali menguat pada hari ini.
Sementara itu, poundsterling sedang mendapat banyak tekanan akibat perekonomian Inggris yang diprediksi akan mengalami kontraksi terburuk dalam tiga abad terakhir, kemudian suku bunga negatif, risiko Brexit
Office for National Statistic Rabu (13/5/2020) melaporkan PDB Inggris berkontraksi alias minus 2% di triwulan I-2020 dibandingkan triwulan IV-2019. Kontraksi tersebut menjadi yang terdalam sejak krisis finansial global 2008. Meski demikian rilis tersebut masih lebih baik ketimbang prediksi Reuters minus 2,5%.
Di triwulan II-2020, perekonomian Inggris diprediksi lebih suram lagi. Pada Kamis (7/5/2020) pekan lalu, Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) memberikan "skenario ilustratif" perekonomian Inggris di tahun ini, yang diprediksi menjadi yang terburuk dalam lebih dari 300 tahun terakhir.
Sepanjang triwulan II-2020, pertumbuhan ekonomi Inggris diprediksi minus alias berkontraksi 25%. Dampaknya sepanjang tahun 2020 kontraksi diramal sebesar 14%, atau yang terburuk sejak tahun 1706, berdasarkan data historis yang dimiliki BoE.
Sementara itu Wakil Gubernur BoE, Ben Broadbent, mengatakan ada kemungkinan suku bunga negatif akan diterapkan saat rapat dewan gubernur selanjutnya.
"Para komite pembuat kebijakan (Monetary Policy Committee/MPC) siap melakukan apapun yang diperlukan karena risiko kemerosotan ekonomi masih ada," kata Broadbent sebagaimana dilansir CNBC International.
"Ya, sangat mungkin pelonggaran moneter (suku bunga negatif) diperlukan saat itu," ujarnya.
Sementara itu, di tengah kemerosotan ekonomi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19), Inggris harus menyelesaikan perundingan Brexit dengan Uni Eropa.
Saat ini, Inggris dalam masa transisi Brexit yang akan berlangsung hingga akhir tahun ini, dan Pemerintah Inggris sejauh ini menolak untuk memperpanjang masa transisi. Jika kedua belah pihak gagal mencapai kesepakatan, maka Inggris akan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun, yang dikhawatirkan membawa ekonomi Inggris semakin merosot.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Pada pukul 14:05 WIB, GBP 1 setara Rp 17.990,33, poundsterling melemah 0,44% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Poundsterling kini berada di dekat level terlemah dalam dua bulan terakhir. Di awal April, kurs poundsterling menyentuh level Rp 20.409,62/GBP, itu artinya hingga hari ini mata uang Negeri Ratu Elizabeth ini sudah merosot 11,85%.
Bank Indonesia (BI) pagi tadi melaporkan defisit transaksi berjalan (CAD) kuartal I-2020 setara dengan 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,8% PDB. Defisit tersebut merupakan yang terendah sejak kuartal II-2017.
"Defisit neraca jasa juga membaik dipengaruhi oleh penurunan defisit jasa transportasi sejalan dengan penurunan impor barang, di tengah penurunan surplus jasa travel akibat berkurangnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Di samping itu, perbaikan defisit neraca pendapatan primer sejalan dengan aktivitas ekonomi domestik, turut mendorong penurunan defisit transaksi berjalan," tulis BI.
Penurunan CAD tersebut membuat pasokan devisa di perekonomian nasional semakin membaik. Ini menjadi modal bagi rupiah kembali menguat pada hari ini.
Sementara itu, poundsterling sedang mendapat banyak tekanan akibat perekonomian Inggris yang diprediksi akan mengalami kontraksi terburuk dalam tiga abad terakhir, kemudian suku bunga negatif, risiko Brexit
Office for National Statistic Rabu (13/5/2020) melaporkan PDB Inggris berkontraksi alias minus 2% di triwulan I-2020 dibandingkan triwulan IV-2019. Kontraksi tersebut menjadi yang terdalam sejak krisis finansial global 2008. Meski demikian rilis tersebut masih lebih baik ketimbang prediksi Reuters minus 2,5%.
Di triwulan II-2020, perekonomian Inggris diprediksi lebih suram lagi. Pada Kamis (7/5/2020) pekan lalu, Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) memberikan "skenario ilustratif" perekonomian Inggris di tahun ini, yang diprediksi menjadi yang terburuk dalam lebih dari 300 tahun terakhir.
Sepanjang triwulan II-2020, pertumbuhan ekonomi Inggris diprediksi minus alias berkontraksi 25%. Dampaknya sepanjang tahun 2020 kontraksi diramal sebesar 14%, atau yang terburuk sejak tahun 1706, berdasarkan data historis yang dimiliki BoE.
Sementara itu Wakil Gubernur BoE, Ben Broadbent, mengatakan ada kemungkinan suku bunga negatif akan diterapkan saat rapat dewan gubernur selanjutnya.
"Para komite pembuat kebijakan (Monetary Policy Committee/MPC) siap melakukan apapun yang diperlukan karena risiko kemerosotan ekonomi masih ada," kata Broadbent sebagaimana dilansir CNBC International.
"Ya, sangat mungkin pelonggaran moneter (suku bunga negatif) diperlukan saat itu," ujarnya.
Sementara itu, di tengah kemerosotan ekonomi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19), Inggris harus menyelesaikan perundingan Brexit dengan Uni Eropa.
Saat ini, Inggris dalam masa transisi Brexit yang akan berlangsung hingga akhir tahun ini, dan Pemerintah Inggris sejauh ini menolak untuk memperpanjang masa transisi. Jika kedua belah pihak gagal mencapai kesepakatan, maka Inggris akan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun, yang dikhawatirkan membawa ekonomi Inggris semakin merosot.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular