
OJK Jelaskan Bank Jangkar, Masihkah Saham Bank Dilepas Asing?
Ratu Rina & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
18 May 2020 08:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan pemerintah membentuk bank jangkar (anchor bank) sempat membuat saham-saham bank besar terkoreksi pekan lalu karena tekanan jual investor asing. Investor asing sempat khawatir dengan risiko yang akan ditanggung oleh bank tersebut karena diberikan tanggungjawab menyediakan liuiditas untuk bank-bank yang bermasalah.
Dalam sepekan saham bank PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) tercatat turun 13,51%. Dimana net sell (jual bersih) investor asing mencapai Rp 1,3 triliun dalam periode tersebut.
Demikian pula saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 8,77% dalam sepekan, dengan nilai net sell asing mencapai Rp 501,8 miliar dalam sepekan. Lalu saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) terkoreksi 10,48%, dengan nilai net sell Rp 157,3 miliar.
Ekonom Senior PT Samuel Sekuritas Indonesia, Ahmad Mikail mengatakan kebijakan ini jika tidak dijelaskan secara rinci bakal menjadi sentimen negatif ke investor karena ketidakjelasan siapa yang akan menanggung risiko kalau asset backed securities (efek beragun aset) dari bank-bank kecil yang pinjam dana ke Bank Peserta tadi gagal bayar selamanya.
Dia menjelaskan, meskipun OJK menyatakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan menjamin risiko kredit dari penempatan likuiditas ke Bank Pelaksana oleh Bank Jangkar, hal ini tetap akan meningkatkan risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di dalam Jank Jangkar.
Selain risiko yang bakal ditanggung bank besar yang menjadi Bank Peserta, Bank Peserta ini pun mendapat tekanan lain yakni restrukturisasi kredit yang jumlahnya begitu banyak, terutama bank-bank besar BUMN alias bank yang tergabung dalam Himbara (Himpunan Bank-bank Milik Negara)
"Siapa yang harus menanggung? Sedangkan di saat bersamaan bank-bank Himbara itu juga sedang melakukan restrukturisasi kredit yang begitu banyak, jadi mereka seakan akan dibebankan dengan banyak kredit bermasalah dari internal mereka sendiri, dan harus merekstrukturisasi banyak NPL [kredit bermasalah]," kata Ahmad, kepada CNBC Indonesia, Sabtu (16/5/2020).
"Ini yang harus dilihat lagi detailnya, karena investor melihat detail siapa yang menanggung ujungnya apakah bank Himbara, Bank Jangkar atau pemerintah atau LPS [Lembaga Penjamin Simpanan], ini harus di-clear-kan," katanya.
Dia menilai bank Himbara kini berada dalam posisi 'double' karena harus menjadi Bank Jangkar dan juga mengurusi restrukturisasi kredit internal bank masing-masing BUMN.
"Karena bank himbara ujungnya ada di tengah-tengah, bingung juga pasti. Makanya beberapa bank yang bilang kalau bisa dia ngga ikut sebagai Bank Peserta. Karena khawatir menanggung risikonya."
Tekanan jual tersebut kemungkinan akan berkurang setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan mekanisme bantuan likuiditas yang dijelaskan Bank Jangkar atau dalam aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun disebut dengan Bank Peserta.
Jadi bank-bank yang selama ini menjadi supplier di pasar uang antarbank (PUAB) nantinya akan menjadi bank anchor atau Bank Jangkar. Tujuan penunjukan Bank Jangkar ini adalah sebagai penyedia likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas akibat Covid-19.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan Bank Jangkar alias Bank Peserta ini akan menjadi bank yang menerima penempatan dana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Mekanisme bantuan likuiditas ini akan didapatkan Bank Pelaksana dengan menggadaikan kreditnya kepada Bank Jangkar. Hal ini dilakukan jika bank tersebut sudah mentok dari sisi likuiditas dan kondisinya sudah tak memungkinkan lagi melakukan gadai atau repurchase agreement (repo) SBN (surat berharga negara) yang dimilikinya kepada Bank Indonesia (BI).
Wimboh menjelaskan, mekanisme penyangga likuiditas ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam PP itu disebutkan, penanganan kebutuhan likuiditas dipenuhi dari kapasitas internal bank terlebih dahulu melalui PUAB/Repo/PLJP (pinjaman likuiditas jangka pendek) Bank Indonesia sebelum mengajukan permintaan bantuan likuiditas dari pemerintah.
Pemerintah kemudian menempatkan dana yang ditujukan untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan di Bank Peserta alias Bank Jangkar ini.
Risiko yang ditanggung pemerintah terhadap bank di mana pemerintah menempatkan dananya itu dijamin oleh LPS.
Kemudian Bank Pelaksana mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Peserta. Khusus Perusahaan Pembiayaan dan BPR (bank perkreditan rakyat) juga bisa mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Pelaksana.
Risiko kredit dari penempatan likuiditas ke Bank Pelaksana dimitigasi dengan agunan kredit lancar dan dijamin LPS.
"Di dalam PP 23 itu, disebutkan Bank Peserta ini nanti bisa memberikan ruang pinjaman ke bank lain atau Bank Pelaksana dengan underlying-nya atau dengan jaminannya kredit-kredit yang direstrukturisasi tadi," kata Wimboh, dalam teleconference, Jumat (15/5/2020).
Jadi simpelnya, mekanisme bantuan likuiditas ini akan didapatkan Bank Pelaksana dengan menggadaikan kreditnya kepada Bank Peserta. Hal ini dilakukan jika bank tersebut sudah mentok dari sisi likuiditas dan kondisinya sudah tak memungkinkan lagi melakukan repo SBN ke BI.
Sementara itu, Kemenkeu nantinya akan menempatkan sejumlah dana menjadi deposito di bank-bank jangkar. Dana ini bersumber dari penerbitan surat utang yang akan diserap oleh Bank Indonesia.
Adanya Bank Jangkar ini ternyata direspons negatif oleh pelaku pasar pada penutupan perdagangan Jumat kemarin (15/5/2020), ditambah memang ada sentimen dari penurunan kinerja sektor perbankan di kuartal I dari bank-bank pemerintah, dan data neraca perdagangan RI yang buruk.
(hps/hps) Next Article Isu Bank Jangkar Sensitif, Begini Penjelasan Sri Mulyani
Dalam sepekan saham bank PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) tercatat turun 13,51%. Dimana net sell (jual bersih) investor asing mencapai Rp 1,3 triliun dalam periode tersebut.
Demikian pula saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 8,77% dalam sepekan, dengan nilai net sell asing mencapai Rp 501,8 miliar dalam sepekan. Lalu saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) terkoreksi 10,48%, dengan nilai net sell Rp 157,3 miliar.
Ekonom Senior PT Samuel Sekuritas Indonesia, Ahmad Mikail mengatakan kebijakan ini jika tidak dijelaskan secara rinci bakal menjadi sentimen negatif ke investor karena ketidakjelasan siapa yang akan menanggung risiko kalau asset backed securities (efek beragun aset) dari bank-bank kecil yang pinjam dana ke Bank Peserta tadi gagal bayar selamanya.
Dia menjelaskan, meskipun OJK menyatakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan menjamin risiko kredit dari penempatan likuiditas ke Bank Pelaksana oleh Bank Jangkar, hal ini tetap akan meningkatkan risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di dalam Jank Jangkar.
Selain risiko yang bakal ditanggung bank besar yang menjadi Bank Peserta, Bank Peserta ini pun mendapat tekanan lain yakni restrukturisasi kredit yang jumlahnya begitu banyak, terutama bank-bank besar BUMN alias bank yang tergabung dalam Himbara (Himpunan Bank-bank Milik Negara)
"Siapa yang harus menanggung? Sedangkan di saat bersamaan bank-bank Himbara itu juga sedang melakukan restrukturisasi kredit yang begitu banyak, jadi mereka seakan akan dibebankan dengan banyak kredit bermasalah dari internal mereka sendiri, dan harus merekstrukturisasi banyak NPL [kredit bermasalah]," kata Ahmad, kepada CNBC Indonesia, Sabtu (16/5/2020).
"Ini yang harus dilihat lagi detailnya, karena investor melihat detail siapa yang menanggung ujungnya apakah bank Himbara, Bank Jangkar atau pemerintah atau LPS [Lembaga Penjamin Simpanan], ini harus di-clear-kan," katanya.
Dia menilai bank Himbara kini berada dalam posisi 'double' karena harus menjadi Bank Jangkar dan juga mengurusi restrukturisasi kredit internal bank masing-masing BUMN.
"Karena bank himbara ujungnya ada di tengah-tengah, bingung juga pasti. Makanya beberapa bank yang bilang kalau bisa dia ngga ikut sebagai Bank Peserta. Karena khawatir menanggung risikonya."
Tekanan jual tersebut kemungkinan akan berkurang setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan mekanisme bantuan likuiditas yang dijelaskan Bank Jangkar atau dalam aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun disebut dengan Bank Peserta.
Jadi bank-bank yang selama ini menjadi supplier di pasar uang antarbank (PUAB) nantinya akan menjadi bank anchor atau Bank Jangkar. Tujuan penunjukan Bank Jangkar ini adalah sebagai penyedia likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas akibat Covid-19.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan Bank Jangkar alias Bank Peserta ini akan menjadi bank yang menerima penempatan dana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Mekanisme bantuan likuiditas ini akan didapatkan Bank Pelaksana dengan menggadaikan kreditnya kepada Bank Jangkar. Hal ini dilakukan jika bank tersebut sudah mentok dari sisi likuiditas dan kondisinya sudah tak memungkinkan lagi melakukan gadai atau repurchase agreement (repo) SBN (surat berharga negara) yang dimilikinya kepada Bank Indonesia (BI).
Wimboh menjelaskan, mekanisme penyangga likuiditas ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dalam PP itu disebutkan, penanganan kebutuhan likuiditas dipenuhi dari kapasitas internal bank terlebih dahulu melalui PUAB/Repo/PLJP (pinjaman likuiditas jangka pendek) Bank Indonesia sebelum mengajukan permintaan bantuan likuiditas dari pemerintah.
Pemerintah kemudian menempatkan dana yang ditujukan untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan di Bank Peserta alias Bank Jangkar ini.
Risiko yang ditanggung pemerintah terhadap bank di mana pemerintah menempatkan dananya itu dijamin oleh LPS.
Kemudian Bank Pelaksana mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Peserta. Khusus Perusahaan Pembiayaan dan BPR (bank perkreditan rakyat) juga bisa mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Pelaksana.
Risiko kredit dari penempatan likuiditas ke Bank Pelaksana dimitigasi dengan agunan kredit lancar dan dijamin LPS.
"Di dalam PP 23 itu, disebutkan Bank Peserta ini nanti bisa memberikan ruang pinjaman ke bank lain atau Bank Pelaksana dengan underlying-nya atau dengan jaminannya kredit-kredit yang direstrukturisasi tadi," kata Wimboh, dalam teleconference, Jumat (15/5/2020).
Jadi simpelnya, mekanisme bantuan likuiditas ini akan didapatkan Bank Pelaksana dengan menggadaikan kreditnya kepada Bank Peserta. Hal ini dilakukan jika bank tersebut sudah mentok dari sisi likuiditas dan kondisinya sudah tak memungkinkan lagi melakukan repo SBN ke BI.
Sementara itu, Kemenkeu nantinya akan menempatkan sejumlah dana menjadi deposito di bank-bank jangkar. Dana ini bersumber dari penerbitan surat utang yang akan diserap oleh Bank Indonesia.
Adanya Bank Jangkar ini ternyata direspons negatif oleh pelaku pasar pada penutupan perdagangan Jumat kemarin (15/5/2020), ditambah memang ada sentimen dari penurunan kinerja sektor perbankan di kuartal I dari bank-bank pemerintah, dan data neraca perdagangan RI yang buruk.
(hps/hps) Next Article Isu Bank Jangkar Sensitif, Begini Penjelasan Sri Mulyani
Most Popular