Beralih ke bursa saham Amerika Serikat (AS) yakni Wall Street, pada penutupan perdagangan Jumat kemarin (Sabtu pagi waktu Indonesia) berbalik menguat setelah laporan survei dari Universitas Michigan menunjukkan bahwa indeks sentimen konsumen AS bulan Mei membaik lebih dari yang diperkirakan.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 60,08 poin atau 0,3% menjadi 23.685,42. Nasdaq naik 70,84 poin atau 0,8% menjadi 9.014,56 dan S&P 500 naik 11,20 poin atau 0,4% menjadi 2.863,70.
Indeks survei sentimen konsumen naik menjadi 73,7 dalam tiga minggu yang berakhir 13 Mei, dari 71,8 untuk empat minggu sebelumnya. Ekonom yang disurvei oleh The Wall Street Journal memperkirakan untuk pembacaan 65,0.
Optimisme indeks mencerminkan pandangan beragam di antara konsumen AS, kata Richard Curtin, kepala ekonom survei, melansir dari Dow Jones Newswires.
"Peningkatan pandangan tentang kondisi pembelian adalah karena potongan harga dan suku bunga rendah, meskipun dampaknya sebagian diimbangi oleh ketidakpastian tentang prospek pekerjaan dan pendapatan," katanya. Namun, Curtin mengatakan indeks ekspektasi "masih menunjukkan bahwa tidak ada pemulihan ekonomi yang belum diantisipasi oleh konsumen."
Kendati menguat pada perdagangan akhir pekan, namun untuk sepekan kemarin, indeks DJIA jatuh 2,7, sedangkan Nasdaq Composite dan S&P 500 masing-masing turun 1,1% dan 2,2%.
Saham mencatat penurunan persentase mingguan terbesar mereka dalam kurun hampir dua bulan, sebuah pertanda bahwa kenaikan baru-baru ini hanya sebagian kecil dari apa yang dikatakan banyak analis akan menjadi pemulihan yang panjang dan menyakitkan, melansir dari Dow Jones Newswires.
Sementara banyak investor tetap berharap bahwa langkah-langkah stimulus dari bank sentral dan pemerintah akan mengurangi tekanan pada ekonomi dunia, ada kepercayaan yang berkembang bahwa dampak dari pandemi virus corona akan bertahan lebih lama dari yang diperkirakan.
Hal tersebut memicu kehati-hatian bahwa prospek lockdown bisa bertahan atau langkah-langkah stimulus bisa terbukti tidak cukup untuk mengimbangi kerugian yang terjadi di pasar tenaga kerja dan penutupan bisnis.
“Mengingat banyaknya ketidakpastian tentang krisis yang masih membayangi ini, kita seharusnya tidak terkejut dengan penurunan yang kita lihat di pasar minggu ini,” kata Scott Knapp, kepala strategi pasar di CUNA Mutual Group, melansir dari CNBC Internasinal.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati dan mengkaji sejumlah sentimen yang akan mewarnai perdagangan hari ini. Pertama tentu saja perkembangan dari pandemi virus corona itu sendiri yang menjadi fokus utama investor.
Mengacu data dari Worldometers, jumlah pasien terpapar virus corona di seluruh dunia mencapai lebih dari 4,7 juta orang, sementara jumlah korban jiwa lebih dari 313 ribu orang.
Di Indonesia saat ini, ada 17.514 orang terinfeksi positif virus corona dan korban jiwa tercatat sebanyak 1.148 orang. Ada kenaikan jumlah kasus per 17 April 2020, dengan penambahan 489 kasus dengan 59 korban jiwa. Situasi ini bisa mempengaruhi psikologis investor.
Sentimen yang mewarnai perdagangan hari ini pun kurang mendukung aset-aset berisiko untuk menguat. Pasalnya sejak dibuka kembali aktivitas bisnis di banyak negara pekan justru menimbulkan terjadinya lonjakan kasus baru seperti di Amerika, China, Jepang dan Korea Selatan.
Lonjakan kasus baru setelah pembukaan kembali (reopening) membuat pelaku pasar khawatir akan munculnya gelombang kedua serangan pandemi corona. Jika memang second wave outbreak benar-benar datang dan lockdown beserta segala pembatasan sosial lainnya diterapkan kembali, maka perekonomian pun bisa semakin terpuruk dan aset-aset berisiko kembali ditinggalkan investor.
Sentimen kedua, pelaku pasar juga masih terus memantau perkembangan terbaru hubungan antara dua perekonomian terbesar di dunia yaitu AS dan China. Saat ini AS menjadi satu-satunya negara di dunia dengan kasus infeksi Covid-19 melebihi 1 juta orang.
Wabah yang merebak di AS membuat ekonomi Negeri Adidaya terkoyak. Angka pengangguran melesat ke 14,7%. Klaim tunjangan pengangguran melonjak tinggi mencapai 36,5 juta sejak pertengahan Maret hingga kontraksi ekonomi sebesar 4,8% (annualized) pada kuartal I-2020 adalah realita pahit yang harus diterima AS.
Melihat hal ini Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi gusar. Trump bahkan secara terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya dan menuding China sebagai penyebab semua ini terjadi.
"Kami punya banyak informasi, dan itu tidak bagus. Apakah (virus corona) datang dari laboratorium atau dari kelelawar, pokoknya berasal dari China. Mereka semestinya bisa menghentikan itu dari sumbernya," kata Trump dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.
Kekecewaan Trump membuat Presiden AS ke-45 itu menjadi tak berselera untuk membahas negosiasi dagang dengan Beijing yang sebelumnya dikabarkan akan ditindaklanjuti tahun ini.
"Saya sangat kecewa terhadap China, mereka seharusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi. Kami sudah membuat kesepakatan (dagang) yang luar biasa, tetapi sekarang rasanya sudah berbeda. Tinta belum kering, dan wabah ini datang. Rasanya tidak lagi sama," keluh Trump.
Tak sampai di situ saja, Trump bahkan kembali menabuh genderang perang dengan China. Ide paling kontroversialnya adalah Trump ingin memutus hubungan dengan China. Saking geramnya Trump, bahkan beredar kabar AS tengah mempersiapkan sebuah Undang Undang yang bertujuan untuk menjegal China.
China harus bertanggungjawab atas semua kekacauan yang terjadi hari ini. Seorang anggota Senat AS mengungkapkan, pemerintah sedang mematangkan Rancangan Undang-undang Pertanggungjawaban Covid-19 (Covid-19 Accountability Act).
Bukan hanya itu, kedua negara juga makin intensif menerjunkan militer di Laut China Selatan. China memang dikabarkan bersitegang dengan sejumlah negara karena tumpang tindih kepemilikan kawasan ini.
Apabila hubungan China dengan AS (dan negara-negara lainnya) terus memburuk, maka risiko perang terbuka memang sulit untuk dikesampingkan. Hal ini setidaknya diutarakan seorang profesor hukum Turki, mengutip Anadolu Agency.
Epidemi, kata dia, telah membangkitkan konflik perdagangan AS-China. Ini bisa saja tereskalasi ke ranah militer.
"Jadi Perang Dunia III dimulai antara kekuatan besar, dan duel abad ke-21 akan menjadi duel terakhir antara Washington dan Beijing," ujarnya.
Potensi munculnya gelombang kedua pandemi corona dan ketegangan hubungan bilateral AS-China cukup membuat selera risiko (risk appetite) investor menurun. Aset-aset berisiko seperti saham cenderung dihindari di tengah ketidakpastian ini. Akibatnya kinerja saham berjatuhan. Sentimen ketiga, investor patut mencermati perkembangan dari Wall Street yang positif. Semoga optimisme di New York berhasil menyeberangi Samudra Atlantik dan menular ke Asia, termasuk Indonesia.
Laporan survei dari Universitas Michigan menunjukkan bahwa indeks sentimen konsumen AS bulan Mei membaik lebih dari yang diperkirakan memberikan topangan kenaikan bursa Wall Street.
Indeks survei sentimen konsumen naik menjadi 73,7 dalam tiga minggu yang berakhir 13 Mei, dari 71,8 untuk empat minggu sebelumnya. Ekonom yang disurvei oleh The Wall Street Journal memperkirakan untuk pembacaan 65,0.
Sentimen kelima, investor minggu ini akan memantau data klaim pengangguran mingguan untuk indikator terbaru pengangguran AS, serta indeks manajer pembelian IHS Markit yang menilai aktivitas di sektor jasa dan manufaktur di sektor ekonomijuga akan menjadi fokus pasar.
Keempat, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menginformasikan penerbitan Surat Menteri BUMN Nomor S-336/MBU/05/2020 tertanggal 15 Mei 2020.
Bersama dengan surat tersebut disampaikan simulasi tahapan pemulihan kegiatan #CovidSafe BUMN yang dilakukan dalam beberapa fase.
Fase pertama mulai 25 Mei sektor yang diizinkan beroperasi terbatas yakni sektor industri dan jasa, sementara sektor kesehatan full operasi. Fase kedua sektor jasa retail mulai beroperasi pada 1 Juni. Fase 3 mulai 8 Juni sektor jasa wisata dan pendidikan mulai beroperasi. Fase 4 mulai 29 Juni pembukaan kegiatan ekonomi seluruh sektor. Dan fase 5 pada 13 dan 20 Juli merupakan evaluasi fase 4.
Kembali beraktivitasnya perekonomian Indonesia, tentunya dengan hidup new normal bisa memberikan nilai plus. Kemerosotan ekonomi yang dialami Indonesia bisa sedikit diredam, syukur-syukur bisa bangkit meski perlahan, setelah nyungsep di kuartal I-2020.
Sentimen kelima, melansir dari Dow Jones Newswires, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat pada Jumat malam waktu setempat mengumumkan rancangan undang-undang senilai US$3 triliun atau hampir senilai Rp 45 ribu triliun (asumsi kurs Rp 14.900/US$) sebagai paket bantuan terkait pandemi virus Corona.
Proposal atau Rancangan Undang-Undang (RUU) DPR ini mencakup sekitar US$ 1 triliun dalam bantuan langsung ke negara bagian dan lokalitas, termasuk hibah dan bantuan pendidikan, untuk menangani dampak pandemi. Ini akan menempatkan babak baru pembayaran tunai satu kali ke rekening bank Amerika, memperpanjang durasi tunjangan pengangguran yang meningkat, membantu menutupi beberapa sewa dan hipotek dan mengirimkan pembayaran premi kepada pekerja penting di berbagai bidang seperti kesehatan.
"Rencana yang akan kami pilih hari ini akan membuat perbedaan yang luar biasa tidak hanya dalam anggaran di negara bagian, tetapi dalam kehidupan rakyat Amerika," kata Ketua DPR Nancy Pelosi. "Kami pikir ini adalah investasi besar dalam kehidupan rakyat Amerika dan dalam anggaran negara bagian dan daerah kami."
Sedangkan petinggi Partai Republik, Steve Scalise, mendesak anggotanya untuk menolak RUU itu dengan menyebutnya bagi-bagi uang ala sosialis. Dia juga menyalahkan Cina, yang menjadi tempat penyebaran virus Corona dan menginfeksi semua negara.
Namun, sejumlah politikus Partai Republik di Senat justru mendukung rancangan undang-undang ini, yang merupakan paket stimulus untuk membantu keuangan pemerintah lokal dan negara bagian.
Sementara penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett mengatakan dalam sebuah wawancara Jumat dengan The Wall Street Journal bahwa Trump terbuka untuk pendanaan lebih banyak untuk pemerintah negara bagian dan lokal, selama uang itu tidak digunakan untuk "menyelamatkan negara-negara yang belum tentu memiliki tindakan serupa."
Paket bantuan ini, tentu bisa memberikan harapan pelaku pasar untuk tetap optimis bahwa langkah-langkah stimulus pada akhirnya akan mendukung laba perusahaan, terlepas dari berapa lama krisis berlangsung. Harapan-harapan itu akan terus ditimbang terhadap data baru yang menggambarkan kerusakan ekonomi. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Mei 2020
- Laporan Penjualan Sepeda Motor April 2020 (10:30 WIB)
- Sentimen Bisnis Kuartal I-2020(12:00 WIB)
- Indeks Harga Properti Kuartal I-2020 (17:00 WIB)
- RUPS PT XL Axiata Tbk (EXCL)
- RUPS PT HM Sampoerna Tbk (HMSP)
- RUPS PT Kalbe Farma Tbk (KLBF)
- RUPS PT Tower Bersama Infrastucture Tbk (TBIG)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (April 2020 YoY) | 2,67% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2020) | 4,5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -1,76% PDB |
Transaksi berjalan (2019) | -2,72% PDB |
Cadangan devisa (April 2020) | US$ 127,88 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA