
'Hantu' Perang Dagang Muncul Lagi, Apa Kabar Pasar Hari Ini?

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati dan mengkaji sejumlah sentimen yang akan mewarnai perdagangan hari ini. Pertama tentu saja perkembangan dari pandemi virus corona itu sendiri yang menjadi fokus utama investor.
Mengacu data dari Worldometers, jumlah pasien terpapar virus corona di seluruh dunia mencapai lebih dari 4,7 juta orang, sementara jumlah korban jiwa lebih dari 313 ribu orang.
Di Indonesia saat ini, ada 17.514 orang terinfeksi positif virus corona dan korban jiwa tercatat sebanyak 1.148 orang. Ada kenaikan jumlah kasus per 17 April 2020, dengan penambahan 489 kasus dengan 59 korban jiwa. Situasi ini bisa mempengaruhi psikologis investor.
Sentimen yang mewarnai perdagangan hari ini pun kurang mendukung aset-aset berisiko untuk menguat. Pasalnya sejak dibuka kembali aktivitas bisnis di banyak negara pekan justru menimbulkan terjadinya lonjakan kasus baru seperti di Amerika, China, Jepang dan Korea Selatan.
Lonjakan kasus baru setelah pembukaan kembali (reopening) membuat pelaku pasar khawatir akan munculnya gelombang kedua serangan pandemi corona. Jika memang second wave outbreak benar-benar datang dan lockdown beserta segala pembatasan sosial lainnya diterapkan kembali, maka perekonomian pun bisa semakin terpuruk dan aset-aset berisiko kembali ditinggalkan investor.
Sentimen kedua, pelaku pasar juga masih terus memantau perkembangan terbaru hubungan antara dua perekonomian terbesar di dunia yaitu AS dan China. Saat ini AS menjadi satu-satunya negara di dunia dengan kasus infeksi Covid-19 melebihi 1 juta orang.
Wabah yang merebak di AS membuat ekonomi Negeri Adidaya terkoyak. Angka pengangguran melesat ke 14,7%. Klaim tunjangan pengangguran melonjak tinggi mencapai 36,5 juta sejak pertengahan Maret hingga kontraksi ekonomi sebesar 4,8% (annualized) pada kuartal I-2020 adalah realita pahit yang harus diterima AS.
Melihat hal ini Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi gusar. Trump bahkan secara terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya dan menuding China sebagai penyebab semua ini terjadi.
"Kami punya banyak informasi, dan itu tidak bagus. Apakah (virus corona) datang dari laboratorium atau dari kelelawar, pokoknya berasal dari China. Mereka semestinya bisa menghentikan itu dari sumbernya," kata Trump dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.
Kekecewaan Trump membuat Presiden AS ke-45 itu menjadi tak berselera untuk membahas negosiasi dagang dengan Beijing yang sebelumnya dikabarkan akan ditindaklanjuti tahun ini.
"Saya sangat kecewa terhadap China, mereka seharusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi. Kami sudah membuat kesepakatan (dagang) yang luar biasa, tetapi sekarang rasanya sudah berbeda. Tinta belum kering, dan wabah ini datang. Rasanya tidak lagi sama," keluh Trump.
Tak sampai di situ saja, Trump bahkan kembali menabuh genderang perang dengan China. Ide paling kontroversialnya adalah Trump ingin memutus hubungan dengan China. Saking geramnya Trump, bahkan beredar kabar AS tengah mempersiapkan sebuah Undang Undang yang bertujuan untuk menjegal China.
China harus bertanggungjawab atas semua kekacauan yang terjadi hari ini. Seorang anggota Senat AS mengungkapkan, pemerintah sedang mematangkan Rancangan Undang-undang Pertanggungjawaban Covid-19 (Covid-19 Accountability Act).
Bukan hanya itu, kedua negara juga makin intensif menerjunkan militer di Laut China Selatan. China memang dikabarkan bersitegang dengan sejumlah negara karena tumpang tindih kepemilikan kawasan ini.
Apabila hubungan China dengan AS (dan negara-negara lainnya) terus memburuk, maka risiko perang terbuka memang sulit untuk dikesampingkan. Hal ini setidaknya diutarakan seorang profesor hukum Turki, mengutip Anadolu Agency.
Epidemi, kata dia, telah membangkitkan konflik perdagangan AS-China. Ini bisa saja tereskalasi ke ranah militer.
"Jadi Perang Dunia III dimulai antara kekuatan besar, dan duel abad ke-21 akan menjadi duel terakhir antara Washington dan Beijing," ujarnya.
Potensi munculnya gelombang kedua pandemi corona dan ketegangan hubungan bilateral AS-China cukup membuat selera risiko (risk appetite) investor menurun. Aset-aset berisiko seperti saham cenderung dihindari di tengah ketidakpastian ini. Akibatnya kinerja saham berjatuhan. (har/sef)