Sentimen Pekan Depan: Dari Harga Minyak Hingga AS Vs China

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 May 2020 20:00
Ilustrasi: Fasilitas minyak terlihat di Danau Maracaibo di Cabimas, Venezuela, 29 Januari 2019. REUTERS / Isaac Urrutia
Foto: Infografis/Perang Dagang AS-China/Edward Ricardo
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri bergerak bervariasi pada pekan ini. Rupiah dan obligasi menguat sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah. Pada pekan depan, pergerakan harga minyak mentah, pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) hingga konflik AS-China akan memengaruhi sentimen investor yang akan menggerakkan pasar dalam negeri.

Di awal pekan, minyak mentah akan menjadi perhatian, ada risiko harga akan akan minus kembali khususnya jenis West Texas Intermediate (WTI).

Berdasarkan data Refinitiv, Jumat (15/5/2020) lalu, minyak WTI melesat 6,79% ke US$ 29,43/barel, sementara jenis Brent menguat 4,4% ke US$ 32,5/barel. Dalam sepekan, WTI bahkan melesat 18,23%, sementara Brent menguat 5,27% sehingga kedua jenis minyak ini sah membukukan penguatan tiga pekan beruntun.

Selain itu minyak WTI kini berada di level tertinggi 2 bulan sementara Brent tertinggi 5 pekan.



Meski sedang terus menguat, Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas (Commodity Futures Trading Commission/CFTC) Amerika Serikat (AS) justru memberikan peringatan harga minyak WTI berisiko kembali minus, bahkan mungkin di pekan depan saat kontrak berjangka bulan Juni mengalami expired.

Regulator perdagangan berjangka tersebut memberitahukan kepada broker, bursa berjangka, hingga lembaga kliring untuk bersiap dengan kemungkinan kontrak minyak kembali mengalami volatilitas ekstrim, likuiditas rendah, dan kemungkinan harga negatif, sebagaimana dilansir oilprice.com.

Harga minyak WTI minus untuk pertama kalinya pada Senin (20/4/2020), saat itu WTI ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau turun 305,97%. Saat itu amblesnya harga minyak mentah turun menyeret turun bursa saham global, sehingga patut dicermati pergerakan harga minyak WTI.

Kemudian di hari Selasa (19/5/2020), BI akan mengumumkan suku bunga dan kebijakan moneter. Rupiah yang belakangan ini stabil bahkan cenderung menguat tentunya membuka ruang bagi BI untuk kembali melonggarkan kebijakan moneter. Apalagi, perekonomian Indonesia sedang merosot tajam akibat pandemi Covid-19 sehingga perlu lebih banyak stimulus.

Pemerintah saat ini berencana untuk memutar kembali roda perekonomian. Kampanye untuk hidup berdampingan dengan Covid-19 selama vaksin belum ditemukan gencar disuarakan. Hidup berdampingan dengan virus corona dinyatakan Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan.

Tetapi menurut Jokowi, hidup berdampingan dengan Covid-19 bukan berarti menyerah dan pesimistis, justru itu menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat atau yang disebut new normal.

Presiden Jokowi ingin agar masyarakat kembali produktif, artinya bisa bisa kembali beraktivitas tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

"Kita harus melihat kondisi masyarakat saat ini, yang kena PHK, yang tidak berpenghasilan, ini harus dilihat. Kita ingin masyarkat produktif dan tetap aman dari Covid-19" kata Jokowi.

"Berdampingan itu justru kita tidak menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan virus Covid tersebut dengan mengedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat yang harus kita laksanakan," lanjutnya.

Pemerintah saat ini sudah mengizinkan karyawan berusia di bawah 45 tahun di 11 sektor yang saat ini dikecualikan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk kembali bekerja.



Terbaru, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merilis Surat Menteri BUMN Nomor S-336/MBU/05/2020 tertanggal 15 Mei 2020. Bersama dengan surat tersebut disampaikan simulasi tahapan pemulihan kegiatan #CovidSafe BUMN yang dilakukan dalam beberapa fase.

Kembali diputarnya roda perekonomian tentunya memberikan sentimen positif ke pasar, meski harus berhati-hati agar tidak terjadi lonjakan kasus Covid-19.

[Gambas:Video CNBC]



Rupiah sepanjang pekan ini menguat 0,4% bahkan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.

Rupiah sebenarnya mulai menguat sejak awal April, bahkan membukukan penguatan empat pekan beruntun sebelum terhenti pada pekan lalu. Sehingga dalam enam pekan terakhir hingga pekan ini, rupiah menguat sebanyak lima kali. Sepanjang April, rupiah bahkan mencatat penguatan lebih dari 9%.

Penguatan tersebut sejalan dengan taruhan (bet) para investor global terhadap rupiah. Hal tersebut tercermin dari hasil survei dua mingguan yang dilakukan Reuters yang menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi short (jual) rupiah sejak awal April.

Pengurangan posisi short tersebut artinya bearish bet (taruhan rupiah bakal melemah) berkurang.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (14/5/2020) lalu menunjukkan angka 0,21, turun jauh dari rilis sebelumnya 30 April sebesar 0,58. Angka tersebut menunjukkan penurunan dalam 4 survei beruntun, yang sejalan dengan penguatan rupiah di sejak bulan April.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.



Semakin rendahnya angkat positif di hasil survei tersebut menunjukkan pelaku pasar semakin menurunkan posisi long dolar AS, yang berarti perlahan-lahan rupiah kembali diburu pelaku pasar, yang membuatnya menjadi perkasa.

Di bulan Maret, rupiah mengalami gejolak, hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Hasil survei Reuters kala itu menunjukkan angka 1,57, artinya posisi jual rupiah sedang tinggi.

Sementara itu sebelum bulan Maret, hasil survei Reuters tersebut selalu menunjukkan angka minus (-) yang berarti pelaku pasar mengambil posisi short dolar AS dan long rupiah. Ketika itu rupiah masih membukukan penguatan secara year-to-date (YTD) melawan dolar AS.

Di bulan Januari, rupiah bahkan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.

Tetapi, konflik antara Amerika Serikat (AS) dengan China bisa memperburuk sentimen pelaku pasar, pada akhirnya membebani pergerakan aset-aset dalam negeri. Penyebabnya, asal-usul virus corona yang dikatakan berasal dari laboratorium di China.

Dalam pernyataannya kepada media, Presiden AS Donal Trump tak segan menyebut kemungkinan memutus hubungan dengan China. Alasannya, karena China gagal menahan pandemi Covid-19.

"Mereka seharusnya tidak membiarkan ini terjadi," kata Trump dikutip Reuters.

"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa memutus seluruh hubungan (dengan China)," tegasnya.



Trump yang terus menyerang China memicu kecemasan akan kemungkinan terjadi babak baru perang dagang, bahkan yang lebih parah kemungkinan perang dunia III.

Reuters mengabarkan, China Institutes of Contemporary International Relations (CICIR) yang merupakan lembaga think tank dengan afiliasi ke Kementerian Pertahanan Negeri Tirai Bambu, membuat laporan bahwa Beijing berisiko diterpa sentimen kebencian dari berbagai negara. Skenario terburuknya, China harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya konfrontasi bersenjata alias perang.

Sejauh ini pemerintah China belum memberikan konfirmasi mengenai laporan CICIR tersebut. "Saya tidak punya informasi yang relevan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China kala dikonfirmasi oleh Reuters.

Apabila hubungan China dengan AS (dan negara-negara lainnya) terus memburuk, maka risiko perang bisa semakin meningkat. Semakin panas hubungan kedua negara, tentunya sentimen pelaku pasar akan semakin memburuk, dan menekan aset-aset pasar keuangan dalam negeri.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular