
Sentimen Pekan Depan: Dari Harga Minyak Hingga AS Vs China
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 May 2020 20:00

Rupiah sepanjang pekan ini menguat 0,4% bahkan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.
Rupiah sebenarnya mulai menguat sejak awal April, bahkan membukukan penguatan empat pekan beruntun sebelum terhenti pada pekan lalu. Sehingga dalam enam pekan terakhir hingga pekan ini, rupiah menguat sebanyak lima kali. Sepanjang April, rupiah bahkan mencatat penguatan lebih dari 9%.
Penguatan tersebut sejalan dengan taruhan (bet) para investor global terhadap rupiah. Hal tersebut tercermin dari hasil survei dua mingguan yang dilakukan Reuters yang menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi short (jual) rupiah sejak awal April.
Pengurangan posisi short tersebut artinya bearish bet (taruhan rupiah bakal melemah) berkurang.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (14/5/2020) lalu menunjukkan angka 0,21, turun jauh dari rilis sebelumnya 30 April sebesar 0,58. Angka tersebut menunjukkan penurunan dalam 4 survei beruntun, yang sejalan dengan penguatan rupiah di sejak bulan April.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Semakin rendahnya angkat positif di hasil survei tersebut menunjukkan pelaku pasar semakin menurunkan posisi long dolar AS, yang berarti perlahan-lahan rupiah kembali diburu pelaku pasar, yang membuatnya menjadi perkasa.
Di bulan Maret, rupiah mengalami gejolak, hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Hasil survei Reuters kala itu menunjukkan angka 1,57, artinya posisi jual rupiah sedang tinggi.
Sementara itu sebelum bulan Maret, hasil survei Reuters tersebut selalu menunjukkan angka minus (-) yang berarti pelaku pasar mengambil posisi short dolar AS dan long rupiah. Ketika itu rupiah masih membukukan penguatan secara year-to-date (YTD) melawan dolar AS.
Di bulan Januari, rupiah bahkan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.
Tetapi, konflik antara Amerika Serikat (AS) dengan China bisa memperburuk sentimen pelaku pasar, pada akhirnya membebani pergerakan aset-aset dalam negeri. Penyebabnya, asal-usul virus corona yang dikatakan berasal dari laboratorium di China.
Dalam pernyataannya kepada media, Presiden AS Donal Trump tak segan menyebut kemungkinan memutus hubungan dengan China. Alasannya, karena China gagal menahan pandemi Covid-19.
"Mereka seharusnya tidak membiarkan ini terjadi," kata Trump dikutip Reuters.
"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa memutus seluruh hubungan (dengan China)," tegasnya.
Trump yang terus menyerang China memicu kecemasan akan kemungkinan terjadi babak baru perang dagang, bahkan yang lebih parah kemungkinan perang dunia III.
Reuters mengabarkan, China Institutes of Contemporary International Relations (CICIR) yang merupakan lembaga think tank dengan afiliasi ke Kementerian Pertahanan Negeri Tirai Bambu, membuat laporan bahwa Beijing berisiko diterpa sentimen kebencian dari berbagai negara. Skenario terburuknya, China harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya konfrontasi bersenjata alias perang.
Sejauh ini pemerintah China belum memberikan konfirmasi mengenai laporan CICIR tersebut. "Saya tidak punya informasi yang relevan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China kala dikonfirmasi oleh Reuters.
Apabila hubungan China dengan AS (dan negara-negara lainnya) terus memburuk, maka risiko perang bisa semakin meningkat. Semakin panas hubungan kedua negara, tentunya sentimen pelaku pasar akan semakin memburuk, dan menekan aset-aset pasar keuangan dalam negeri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Rupiah sebenarnya mulai menguat sejak awal April, bahkan membukukan penguatan empat pekan beruntun sebelum terhenti pada pekan lalu. Sehingga dalam enam pekan terakhir hingga pekan ini, rupiah menguat sebanyak lima kali. Sepanjang April, rupiah bahkan mencatat penguatan lebih dari 9%.
Penguatan tersebut sejalan dengan taruhan (bet) para investor global terhadap rupiah. Hal tersebut tercermin dari hasil survei dua mingguan yang dilakukan Reuters yang menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi short (jual) rupiah sejak awal April.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (14/5/2020) lalu menunjukkan angka 0,21, turun jauh dari rilis sebelumnya 30 April sebesar 0,58. Angka tersebut menunjukkan penurunan dalam 4 survei beruntun, yang sejalan dengan penguatan rupiah di sejak bulan April.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Semakin rendahnya angkat positif di hasil survei tersebut menunjukkan pelaku pasar semakin menurunkan posisi long dolar AS, yang berarti perlahan-lahan rupiah kembali diburu pelaku pasar, yang membuatnya menjadi perkasa.
Di bulan Maret, rupiah mengalami gejolak, hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Hasil survei Reuters kala itu menunjukkan angka 1,57, artinya posisi jual rupiah sedang tinggi.
Sementara itu sebelum bulan Maret, hasil survei Reuters tersebut selalu menunjukkan angka minus (-) yang berarti pelaku pasar mengambil posisi short dolar AS dan long rupiah. Ketika itu rupiah masih membukukan penguatan secara year-to-date (YTD) melawan dolar AS.
Di bulan Januari, rupiah bahkan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.
Tetapi, konflik antara Amerika Serikat (AS) dengan China bisa memperburuk sentimen pelaku pasar, pada akhirnya membebani pergerakan aset-aset dalam negeri. Penyebabnya, asal-usul virus corona yang dikatakan berasal dari laboratorium di China.
Dalam pernyataannya kepada media, Presiden AS Donal Trump tak segan menyebut kemungkinan memutus hubungan dengan China. Alasannya, karena China gagal menahan pandemi Covid-19.
"Mereka seharusnya tidak membiarkan ini terjadi," kata Trump dikutip Reuters.
"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa memutus seluruh hubungan (dengan China)," tegasnya.
Trump yang terus menyerang China memicu kecemasan akan kemungkinan terjadi babak baru perang dagang, bahkan yang lebih parah kemungkinan perang dunia III.
Reuters mengabarkan, China Institutes of Contemporary International Relations (CICIR) yang merupakan lembaga think tank dengan afiliasi ke Kementerian Pertahanan Negeri Tirai Bambu, membuat laporan bahwa Beijing berisiko diterpa sentimen kebencian dari berbagai negara. Skenario terburuknya, China harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya konfrontasi bersenjata alias perang.
Sejauh ini pemerintah China belum memberikan konfirmasi mengenai laporan CICIR tersebut. "Saya tidak punya informasi yang relevan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China kala dikonfirmasi oleh Reuters.
Apabila hubungan China dengan AS (dan negara-negara lainnya) terus memburuk, maka risiko perang bisa semakin meningkat. Semakin panas hubungan kedua negara, tentunya sentimen pelaku pasar akan semakin memburuk, dan menekan aset-aset pasar keuangan dalam negeri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Pages
Most Popular