
Ekonomi AS 'Hancur-hancuran', Kenapa Dolar Masih Garang?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 May 2020 16:50

Dolar merupakan mata uang global, mayoritas ekspor dan impor berbagai negara menggunakan dolar AS. Dengan kata lain, dolar AS diterima di berbagai negara di dunia ini. Selain itu, berdasarkan data dari IMF, pada kuartal IV-2019 dolar AS berkontribusi sebesar 60% dari total cadangan devisa bank sentral di seluruh dunia.
Ahli strategi mata uang senior di Rabobank, Jane Foley, mengatakan dominasi dolar AS di sistem pembayaran dunia menjadi semakin kuat sejak krisis finansial global 2008, dan permintaannya mengalami peningkatan drastis semenjak saat itu.
"Sejak dolar AS menjadi semakin penting bagi banyak orang, tidak akan mengejutkan jika permintaan dolar AS akan meningkat sebagai safe haven," kata Foley sebagaimana dilansir Market Watch.
Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak investor akan mengamankan asetnya dalam bentuk dolar AS saat kondisi ekonomi global dipenuhi ketidakpastian seperti saat ini. Status safe haven yang disandang dolar AS tersebut membuatnya perkasa meski perekonomian AS sedang nyungsep.
Namun, dengan status safe haven yang dimiliki, dolar AS justru nantinya akan tertekan ketika roda perekonomian kembali berputar, dan perekonomian tumbuh kembali.
Pergerakan di bulan Maret bisa memberikan gambaran bagaimana dolar AS menguat tajam begitu terjadi kepanikan global akibat pandemi Covid-19, tetapi begitu pelaku pasar menjadi lebih kalem, dolar kembali merosot.
Pada periode 9-20 Maret lalu, indeks dolar AS melesat 8,35% ke 102,817, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2017. Rupiah menjadi salah satu korbannya, mata uang Garuda merosot hingga menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Saat itu pandemi Covid-19 sedang memicu kepanikan global, membuat pasar finansial bergejolak hebat, aksi jual terjadi di semua instrumen, mulai dari saham hingga emas. Tingginya kepanikan global tersebut tercermin dari volatility index (VIX) yang melesat naik hingga ke atas level 85 yang merupakan level tertinggi sejak krisis finansial 2008. Tetapi setelahnya, bank sentral di berbagai negara menggelontorkan stimulus moneter, dan pemerintah mengeluarkan stimulus fiskal guna menghadapi Covid-19 dan meminimalisir dampaknya ke perekonomian, pasar pun menjadi lebih tenang.
Indeks VIX akhirnya menurun, yang berarti tingkat kepanikan global mereda. Mengikuti pergerakan VIX, indeks dolar pada periode 21-27 Maret mengalami koreksi 4,33% ke 99,35. Setelahnya indeks dolar cenderung bergerak sideways atau menyamping.
Melihat pergerakan tersebut, ketika kondisi perekonomian berangsur-angsur normal kembali, dolar AS akan menjadi kurang menarik, pelaku pasar akan kembali masuk ke aset-aset berisiko yang memberikan imbal hasil tinggi.
Rupiah sebagai salah satu aset yang memberikan imbal hasil tinggi, bisa jadi kembali menjadi incaran pelaku pasar. Hal tersebut sudah terlihat di bulan April, saat kondisi pasar keuangan global mulai stabil, rupiah sudah menguat lebih dari 9% melawan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Ahli strategi mata uang senior di Rabobank, Jane Foley, mengatakan dominasi dolar AS di sistem pembayaran dunia menjadi semakin kuat sejak krisis finansial global 2008, dan permintaannya mengalami peningkatan drastis semenjak saat itu.
"Sejak dolar AS menjadi semakin penting bagi banyak orang, tidak akan mengejutkan jika permintaan dolar AS akan meningkat sebagai safe haven," kata Foley sebagaimana dilansir Market Watch.
Namun, dengan status safe haven yang dimiliki, dolar AS justru nantinya akan tertekan ketika roda perekonomian kembali berputar, dan perekonomian tumbuh kembali.
Pergerakan di bulan Maret bisa memberikan gambaran bagaimana dolar AS menguat tajam begitu terjadi kepanikan global akibat pandemi Covid-19, tetapi begitu pelaku pasar menjadi lebih kalem, dolar kembali merosot.
Pada periode 9-20 Maret lalu, indeks dolar AS melesat 8,35% ke 102,817, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2017. Rupiah menjadi salah satu korbannya, mata uang Garuda merosot hingga menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Saat itu pandemi Covid-19 sedang memicu kepanikan global, membuat pasar finansial bergejolak hebat, aksi jual terjadi di semua instrumen, mulai dari saham hingga emas. Tingginya kepanikan global tersebut tercermin dari volatility index (VIX) yang melesat naik hingga ke atas level 85 yang merupakan level tertinggi sejak krisis finansial 2008. Tetapi setelahnya, bank sentral di berbagai negara menggelontorkan stimulus moneter, dan pemerintah mengeluarkan stimulus fiskal guna menghadapi Covid-19 dan meminimalisir dampaknya ke perekonomian, pasar pun menjadi lebih tenang.
Indeks VIX akhirnya menurun, yang berarti tingkat kepanikan global mereda. Mengikuti pergerakan VIX, indeks dolar pada periode 21-27 Maret mengalami koreksi 4,33% ke 99,35. Setelahnya indeks dolar cenderung bergerak sideways atau menyamping.
Melihat pergerakan tersebut, ketika kondisi perekonomian berangsur-angsur normal kembali, dolar AS akan menjadi kurang menarik, pelaku pasar akan kembali masuk ke aset-aset berisiko yang memberikan imbal hasil tinggi.
Rupiah sebagai salah satu aset yang memberikan imbal hasil tinggi, bisa jadi kembali menjadi incaran pelaku pasar. Hal tersebut sudah terlihat di bulan April, saat kondisi pasar keuangan global mulai stabil, rupiah sudah menguat lebih dari 9% melawan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular