
Ekonomi AS 'Hancur-hancuran', Kenapa Dolar Masih Garang?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 May 2020 16:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) sedang memburuk bahkan bisa dikatakan ambruk akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Tingkat pengangguran terbang tinggi, sementara pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi alias minus.
Meski demikian, dalam kondisi tersebut nyatanya mata uang dolar AS justru masih tetap perkasa. Hal tersebut terlihat dari indeks dolar AS (DXY) sepanjang tahun ini hingga Jumat (8/5/2020) pekan lalu mencatat penguatan lebih dari 3%.
Indeks dolar dibentuk dari enam mata uang yakni euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss. Indeks ini juga dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang lainnya.
Jumat pekan lalu waktu setempat Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang bulan April terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 20,5 juta orang, dan tingkat pengangguran melonjak menjadi 14,7%, yang merupakan level tertinggi sejak Perang Dunia II.
Kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan social distancing di AS guna meredam penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menjadi penyebab ambruknya pasar tenaga kerja. Meski demikian, rilis tersebut masih lebih baik dibandingkan prediksi para ekonomi yang disurvei Dow Jones yang memprediksi berkurangnya 21,5 juta tenaga kerja dengan tingkat pengangguran sebesar 16%.
Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin, bahkan memprediksi tingkat pengangguran Negeri Paman Sam akan mencapai 25%, sebelum akhirnya membaik.
"Ini bukan salah dunia usaha AS, bukan salah pekerja, ini adalah dampak dari virus. Angka pengangguran kemungkinan akan semakin buruk sebelum kembali membaik. Tahun depan akan menjadi tahun yang jauh lebih bagus" kata Mnuchin sebagaimana dilansir CNBC International, Minggu (10/5/2020).
Di triwulan I-2020, Produk Domestik Bruto (PDB) AS mengalami kontraksi alias minus 4,8%. Tidak hanya itu, sepanjang tahun ini, PDB AS juga diprediksi mengalami kontraksi 5,9% oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Meski demikian, sama dengan pernyataan Mnuchin, IMF memprediksi di tahun depan PDB AS akan tumbuh 4,7%. Bisa dikatakan proyeksi tersebut menjadi yang paling optimis di tahun ini, sebab banyak ekonom memprediksi Negeri Paman Sam akan mengalami resesi yang agak panjang, bahkan mengalami depresi.
Risiko terjadinya depresi diungkapkan oleh Nouriel Roubini, profesor di New York University's Stern School of Business yang juga chairman dari Roubini Macro Associates LLC. Roubini merupakan orang yang memprediksi tahun 2008 akan terjadi krisis finansial global.
"Sayangnya, saya khawatir ada beberapa tren besar... yang saya sebut '10 Deadly D' yang akan membawa kita memasuki masa depresi di dekade ini." kata Roubini dalam sebuah wawancara di Bloomberg.
Yang dimaksud '10 Deadly D' oleh Roubini diantaranya debt, deficit, deglobalization, currency devaluation, hingga environment disruption.
Dengan rilis data ekonomi yang "hancur-hancuran" dan prediksi yang suram tersebut, dolar AS nyatanya masih tetap perkasa.
Bahkan saat ini bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sudah membabat habis suku bunga acuannya menjadi 0-0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas, begitu juga Pemerintah AS yang menggelontorkan stimulus fiskal lebih dari US$ 2 triliun. Kebijakan tersebut tentunya membuat perekonomian AS banjir likuiditas dan seharusnya menekan nilai tukar dolar AS, tetapi the greenback justru tetap berjaya.
Dolar merupakan mata uang global, mayoritas ekspor dan impor berbagai negara menggunakan dolar AS. Dengan kata lain, dolar AS diterima di berbagai negara di dunia ini. Selain itu, berdasarkan data dari IMF, pada kuartal IV-2019 dolar AS berkontribusi sebesar 60% dari total cadangan devisa bank sentral di seluruh dunia.
Ahli strategi mata uang senior di Rabobank, Jane Foley, mengatakan dominasi dolar AS di sistem pembayaran dunia menjadi semakin kuat sejak krisis finansial global 2008, dan permintaannya mengalami peningkatan drastis semenjak saat itu.
"Sejak dolar AS menjadi semakin penting bagi banyak orang, tidak akan mengejutkan jika permintaan dolar AS akan meningkat sebagai safe haven," kata Foley sebagaimana dilansir Market Watch.
Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak investor akan mengamankan asetnya dalam bentuk dolar AS saat kondisi ekonomi global dipenuhi ketidakpastian seperti saat ini. Status safe haven yang disandang dolar AS tersebut membuatnya perkasa meski perekonomian AS sedang nyungsep.
Namun, dengan status safe haven yang dimiliki, dolar AS justru nantinya akan tertekan ketika roda perekonomian kembali berputar, dan perekonomian tumbuh kembali.
Pergerakan di bulan Maret bisa memberikan gambaran bagaimana dolar AS menguat tajam begitu terjadi kepanikan global akibat pandemi Covid-19, tetapi begitu pelaku pasar menjadi lebih kalem, dolar kembali merosot.
Pada periode 9-20 Maret lalu, indeks dolar AS melesat 8,35% ke 102,817, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2017. Rupiah menjadi salah satu korbannya, mata uang Garuda merosot hingga menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Saat itu pandemi Covid-19 sedang memicu kepanikan global, membuat pasar finansial bergejolak hebat, aksi jual terjadi di semua instrumen, mulai dari saham hingga emas. Tingginya kepanikan global tersebut tercermin dari volatility index (VIX) yang melesat naik hingga ke atas level 85 yang merupakan level tertinggi sejak krisis finansial 2008. Tetapi setelahnya, bank sentral di berbagai negara menggelontorkan stimulus moneter, dan pemerintah mengeluarkan stimulus fiskal guna menghadapi Covid-19 dan meminimalisir dampaknya ke perekonomian, pasar pun menjadi lebih tenang.
Indeks VIX akhirnya menurun, yang berarti tingkat kepanikan global mereda. Mengikuti pergerakan VIX, indeks dolar pada periode 21-27 Maret mengalami koreksi 4,33% ke 99,35. Setelahnya indeks dolar cenderung bergerak sideways atau menyamping.
Melihat pergerakan tersebut, ketika kondisi perekonomian berangsur-angsur normal kembali, dolar AS akan menjadi kurang menarik, pelaku pasar akan kembali masuk ke aset-aset berisiko yang memberikan imbal hasil tinggi.
Rupiah sebagai salah satu aset yang memberikan imbal hasil tinggi, bisa jadi kembali menjadi incaran pelaku pasar. Hal tersebut sudah terlihat di bulan April, saat kondisi pasar keuangan global mulai stabil, rupiah sudah menguat lebih dari 9% melawan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Mata Uang Terbaik Bulan Juli Jatuh Kepada......
Meski demikian, dalam kondisi tersebut nyatanya mata uang dolar AS justru masih tetap perkasa. Hal tersebut terlihat dari indeks dolar AS (DXY) sepanjang tahun ini hingga Jumat (8/5/2020) pekan lalu mencatat penguatan lebih dari 3%.
Indeks dolar dibentuk dari enam mata uang yakni euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss. Indeks ini juga dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang lainnya.
Kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan social distancing di AS guna meredam penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menjadi penyebab ambruknya pasar tenaga kerja. Meski demikian, rilis tersebut masih lebih baik dibandingkan prediksi para ekonomi yang disurvei Dow Jones yang memprediksi berkurangnya 21,5 juta tenaga kerja dengan tingkat pengangguran sebesar 16%.
Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin, bahkan memprediksi tingkat pengangguran Negeri Paman Sam akan mencapai 25%, sebelum akhirnya membaik.
"Ini bukan salah dunia usaha AS, bukan salah pekerja, ini adalah dampak dari virus. Angka pengangguran kemungkinan akan semakin buruk sebelum kembali membaik. Tahun depan akan menjadi tahun yang jauh lebih bagus" kata Mnuchin sebagaimana dilansir CNBC International, Minggu (10/5/2020).
Di triwulan I-2020, Produk Domestik Bruto (PDB) AS mengalami kontraksi alias minus 4,8%. Tidak hanya itu, sepanjang tahun ini, PDB AS juga diprediksi mengalami kontraksi 5,9% oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Meski demikian, sama dengan pernyataan Mnuchin, IMF memprediksi di tahun depan PDB AS akan tumbuh 4,7%. Bisa dikatakan proyeksi tersebut menjadi yang paling optimis di tahun ini, sebab banyak ekonom memprediksi Negeri Paman Sam akan mengalami resesi yang agak panjang, bahkan mengalami depresi.
Risiko terjadinya depresi diungkapkan oleh Nouriel Roubini, profesor di New York University's Stern School of Business yang juga chairman dari Roubini Macro Associates LLC. Roubini merupakan orang yang memprediksi tahun 2008 akan terjadi krisis finansial global.
"Sayangnya, saya khawatir ada beberapa tren besar... yang saya sebut '10 Deadly D' yang akan membawa kita memasuki masa depresi di dekade ini." kata Roubini dalam sebuah wawancara di Bloomberg.
Yang dimaksud '10 Deadly D' oleh Roubini diantaranya debt, deficit, deglobalization, currency devaluation, hingga environment disruption.
Dengan rilis data ekonomi yang "hancur-hancuran" dan prediksi yang suram tersebut, dolar AS nyatanya masih tetap perkasa.
Bahkan saat ini bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sudah membabat habis suku bunga acuannya menjadi 0-0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas, begitu juga Pemerintah AS yang menggelontorkan stimulus fiskal lebih dari US$ 2 triliun. Kebijakan tersebut tentunya membuat perekonomian AS banjir likuiditas dan seharusnya menekan nilai tukar dolar AS, tetapi the greenback justru tetap berjaya.
Dolar merupakan mata uang global, mayoritas ekspor dan impor berbagai negara menggunakan dolar AS. Dengan kata lain, dolar AS diterima di berbagai negara di dunia ini. Selain itu, berdasarkan data dari IMF, pada kuartal IV-2019 dolar AS berkontribusi sebesar 60% dari total cadangan devisa bank sentral di seluruh dunia.
Ahli strategi mata uang senior di Rabobank, Jane Foley, mengatakan dominasi dolar AS di sistem pembayaran dunia menjadi semakin kuat sejak krisis finansial global 2008, dan permintaannya mengalami peningkatan drastis semenjak saat itu.
"Sejak dolar AS menjadi semakin penting bagi banyak orang, tidak akan mengejutkan jika permintaan dolar AS akan meningkat sebagai safe haven," kata Foley sebagaimana dilansir Market Watch.
Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak investor akan mengamankan asetnya dalam bentuk dolar AS saat kondisi ekonomi global dipenuhi ketidakpastian seperti saat ini. Status safe haven yang disandang dolar AS tersebut membuatnya perkasa meski perekonomian AS sedang nyungsep.
Namun, dengan status safe haven yang dimiliki, dolar AS justru nantinya akan tertekan ketika roda perekonomian kembali berputar, dan perekonomian tumbuh kembali.
Pergerakan di bulan Maret bisa memberikan gambaran bagaimana dolar AS menguat tajam begitu terjadi kepanikan global akibat pandemi Covid-19, tetapi begitu pelaku pasar menjadi lebih kalem, dolar kembali merosot.
Pada periode 9-20 Maret lalu, indeks dolar AS melesat 8,35% ke 102,817, yang merupakan level tertinggi sejak Januari 2017. Rupiah menjadi salah satu korbannya, mata uang Garuda merosot hingga menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Saat itu pandemi Covid-19 sedang memicu kepanikan global, membuat pasar finansial bergejolak hebat, aksi jual terjadi di semua instrumen, mulai dari saham hingga emas. Tingginya kepanikan global tersebut tercermin dari volatility index (VIX) yang melesat naik hingga ke atas level 85 yang merupakan level tertinggi sejak krisis finansial 2008. Tetapi setelahnya, bank sentral di berbagai negara menggelontorkan stimulus moneter, dan pemerintah mengeluarkan stimulus fiskal guna menghadapi Covid-19 dan meminimalisir dampaknya ke perekonomian, pasar pun menjadi lebih tenang.
Indeks VIX akhirnya menurun, yang berarti tingkat kepanikan global mereda. Mengikuti pergerakan VIX, indeks dolar pada periode 21-27 Maret mengalami koreksi 4,33% ke 99,35. Setelahnya indeks dolar cenderung bergerak sideways atau menyamping.
Melihat pergerakan tersebut, ketika kondisi perekonomian berangsur-angsur normal kembali, dolar AS akan menjadi kurang menarik, pelaku pasar akan kembali masuk ke aset-aset berisiko yang memberikan imbal hasil tinggi.
Rupiah sebagai salah satu aset yang memberikan imbal hasil tinggi, bisa jadi kembali menjadi incaran pelaku pasar. Hal tersebut sudah terlihat di bulan April, saat kondisi pasar keuangan global mulai stabil, rupiah sudah menguat lebih dari 9% melawan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Mata Uang Terbaik Bulan Juli Jatuh Kepada......
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular