Mengukur Kemampuan BNI Hadapi Ketidakpastian COVID-19

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
11 May 2020 12:17
Dok: BNI
Jakarta, CNBC Indonesia- Pandemi COVID-19 membuat IMF (Dana Moneter Internasional) merevisi pertumbuhan yang sebelumnya dikeluarkan pada Januari lalu. IMF meramalkan akan ada kontraksi atau pertumbuhan yang negatif tahun ini -3%, turun 6,3 poin persentase dibanding proyeksi Januari lalu yang 3,3%.

"Tahun ini sepertinya ekonomi global akan menghadapi resesi terburuk sejak Great Depression, krisis keuangan global yang terjadi beberapa dekade lalu," kata Gita Gopinath, Kepala Ekonom IMF, dalam Outlook Ekonomi Global: The Great Lockdown.

Meski demikian IMF masih melihat kecenderungan positif di "emerging Asia". Indonesia sendiri diperkirakan tumbuh 0,5%, dari sebelumnya 5,0% di 2019. Namun pertumbuhan diproyeksi bisa membaik di 2021, dengan perkiraan 8,2%.

"Beberapa negara di kawasan ini diperkirakan akan tumbuh pada tingkat yang rendah, sementara lainnya akan mengalami kontraksi besar," kata lembaga itu dalam catatannya dikutip Rabu (15/4/2020).


Nyatanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia jatuh ke 2,97% pada kuartal I-2020. Ini merupakan pertumbuhan ekonomi terendah sejak kuartal IV 2001.

Hasil produk domestik bruto (PDB) di kuartal I tersebut jauh lebih rendah dari ramalan sejumlah lembaga, termasuk Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan

Realisasi itu membuat BI segera menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 menjadi di bawah 2,3%. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun memasukan proyeksi 2,3% sebagai skenario berat terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

"Kemungkinan skenario sangat berat mungkin terjadi atau minus 0,4%. Ini kalau kuartal III-2020 kita tidak bisa recover atau pandemi terus berjalan. Kalau itu dilakukan, kita masuk ke skenario berat," jelas Sri Mulyani di Gedung DPR, Rabu (6/5/2020).

Meski demikian, sejalan dengan prediksi IMF, sebenarnya ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara lain.


Misal, China yang terkontraksi 6,8% di Kuartal I meskipun sebelumnya masih tumbuh 6%. Amerika Serikat (AS), mencatatkan minus 4,8%, sementara Prancis minus 5,8% di periode yang sama.


Uniknya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rendah belum tercermin di industri perbankan pada kuartal I-2020. Total kredit masih tumbuh 7,95% secara year on year, lebih tinggi dibandingkan keseluruhan 2019 yang tercatat hanya 6,08%.

Hal ini mencerminkan dunia usaha masih terus menggeliat pada masa-masa awal Pandemi COVID-19 di Tanah Air.

Berikutnya, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan masih tumbuh sebesar 9,54% yoy. Pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dari kredit memberikan ruang tambahan likuiditas, yang merupakan darah bagi perbankan.

Risiko industri bank juga relatif terjaga yang tercemin pada NPL bruto di level 2,77%, sementara secara netto sangat rendah di 0,98%. Sementara rasio kecukupan modal bank atau Capital Adequacy Ratio (CAR) tercatat sebesar 21,77%. CAR akan menjadi bantalan ketika terjadi peningkatan risiko.

Kinerja Perbankan Nasional

 

Kuartal I-2020

Kuartal I-2019

Pertumbuhan

Kredit

Rp 5.712,04 triliun

Rp 5.291,12 triliun

7,95%

DPK

Rp 6.214,31 triliun

Rp 5.672.89 triliun

9,54%

NPL

2,77%

2,51%

0,26%

CAR

21,77%

23,42%

(-1,65%)

Sumber: OJK, diolah

Secara keseluruhan, industri perbankan di Indonesia jelas tidak kebal terhadap dampak pandemi COVID-19. Namun, kondisi keuangan pada Kuartal-I mencerminkan industri ini masih memiliki imunitas yang cukup tinggi.

Berbeda dengan pernyakit COVID-19 yang ditemukan obat manjurnya, bagi industri perbankan 'obat' terhadap dampak negatif pelambatan ekonomi telah disiapkan regulator. Baik dari relaksasi likuiditas hingga risiko memburuknya kualitas kredit.





Sebagai bank dengan total asset terbesar keempat, kondisi PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) sejalan dengan industri, bahkan lebih baik.

Hal itu tercermin pada laporan keuangan hingga Februari 2020 yang tercatat kredit masih tumbuh 11,8* menjadi Rp 529,53 triliun, dibandingkan periode yang sama 2019 senilai Rp 473,61 triliun. DPK pun tercatat naik 9,83% menjadi Rp 573,3 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 521,97 triliun.

Faktor positif lain adalah profitabiltas BNI semakin membaik di 2 bulan pertama 2020. Laba bersih bank BUMN ini melesat 22,27% menjadi Rp 2,58 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 2,11 triliun. Hal ini penting karena profitabilitas menjadi bantalan ketika diperlukan peningkatan pencadangan akibat meningkatnya NPL.

Apalagi, NPL BNI masih terjaga di level 2,27% pada akhir 2019, masa-masa sebelum COVID-19 menular ke Indonesia. Loan to deposit ratio (LDR) BNI pada akhir 2019 juga masih dalam posisi yang sehat yakni 92,4%, dibandingkan dengan industri 93,4%.




Selain itu, manajemen BNI pun telah mengantisipasi potensi tekanan likuiditas pada debitur, yang berpotensi meningkatan tantangan gagal bayar dan likuiditas bagi BNI. Manajamen pun akan mengambil langkah ketat tentang kebijakan liabilitas aset di tengah ketidakpastian ini.

Selain itu dengan kepolutusan Bank Indonesia yang mengurangi 200bps untuk bank umum konvensional per 1 Mei 2020, membuat BNI menghasilkan tambahan likuiditas kurang lebih Rp 11 triliun. Jika diperlukan, pencadangan likuiditas backstop pun telah diamankan.

Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee juga sepakat BNI memiliki kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian, terutama karena portofolio kreditnya sebagian besar di segmen korporasi.

Biarpun ada tantangan cashflow, menurutnya asumsi too big to fail berlaku untuk BNI terutama dengan kondisi fundamentalnya yang kuat.

"BNI akan lebih bagus dibandingkan bank lain yang fokus ke ritel, karena korporasi akan lebih kuat daya tahannya dibandingkan yang fokus ke ritel atau UMKM," kata Hans kepada CNBC Indonesia, belum lama ini

Selain itu menurutnya, dari sisi performa perbankan pun masih akan bagus karena dengan restrukturisasi kredit yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo juga tidak akan berdampak signifikan ke NPL. Sehingga BNI tak perlu menambahkan pencadangan (CKPN) yang besar, yang dapat menggerus labanya.

Dalam penyaluran kredit meski BNI agresif namun penyaluran kreditnya terbilang prudent yang disertai besaran NPL Coverage Ratio.

"BNI valuasi juga sudah murah, dan saya selalu call beli buat BBNI. Walaupun saham perbankan agak lebih lama recoverynya, karena ada step-step dalam perbaikan," kata Hans.

Sementara itu, Analis Buana Capital Suria Dharma mengatakan tahun ini ada potensi penurunan laba pada emiten bank, termasuk BNI. Hal ini disebabkan oleh pandemi COVID-19 yang membuat sektor riil terhambat, dan juga berimbas pada industri perbankan terutama karena adanya kebijakan restrukturisasi kredit.

"Kalau ada restrukturisasi kan besarannya berbeda-beda, mereka berarti tidak ada pemasukan pembayaran bunga dan pokok selama satu tahun. Baru tahun depan dapat pendapatan bunga lagi, artinya tagun ini penghasilan bunga turun maka laba bersihnya juga tertekan," kata Suria.


Dari sisi perbankan sendiri menurutnya justru memiliki cadangan modal yang kuat, terutama sejak diberlakukannya PSAK 71 sehingga bisa dikatakan kondisi bank lebih prima. Namun jika tidak ada penurunan pendapatan bunga, tetap saja pendapatan bank dan laba bersihnya akan tertekan.

"Kalau bisa pada bunga nasabah yang tidak dibayar kalau bisa disubsidi pemerintah, karena bukan pada kekuatan banknya. Banknya sih sehat, tapi bisa ada penurunan laba kalau pemerintah tidak membantu karena pendapatnya berkurang,"ujarnya.

Pada kondisi ini nasabah perbankan tidak bisa beroperasi penuh karena COVID-19 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kalaupun PSBB sudah dibuka, tetap akan ada penyesuaian yang berlangsung dan membutuhkan waktu.

"Tahun depan harapannya sudah normal, tetapi ini kan berandai-andai. Yang jelas kuartal II-2020 ini resultnya tidak bagus karena baru mulai terasa dampak pandemi ini," kata Suria.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular