Jakarta, CNBC Indonesia- PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) telah melewati berbagai zaman sejak berdiri pada 1946. Tak ketinggalan beberapa kali krisis yang terjadi pun telah dilewati.
Mulai dari krisis 1997-1998 yang mungkin tak akan terlupakan bagi industri perbankan, hingga krisis 2008 yang dipicu oleh subprime mortgage di Amerika Serikat.
Bagaimana cerita BNI melewati semua krisis ini? berikut ini perjalanan BNI melewati berbagai krisis sejak 1997-1998 hingga saat ini:
1997-1998
Kawasan Asia pernah dilanda krisis hebat pada krisis keuangan pada 1997-1998, dimana Indonesia menjadi salah satu negara yang menderita akibat krisis tersebut. Indonesia mengalami penurunan rupiah paling parah dan jangka waktu pemulihan paling lama.
Begitu pemerintah melepas nilai tukar sesuai harga pasar, rupiah semakin lemah. Kala itu mata uang rupiah memang terpuruk. Bahkan Rupiah sempat amblas dari Rp 16.800/US$.
Sementara rasio kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL) pun meroket. Per akhir 1998, NPL perbankan Indonesia mencapai 48,6%. Artinya, hampir setengah dari kredit yang disalurkan perbankan pada saat itu bermasalah.
Ketakutan pun melanda masyarakat karena bank-bank tempat mereka menyimpan dananya mengalami kesulitan likuiditas. Mereka lantas berbondong-bondong menarik dana di bank atau yang dikenal dengan istilah bank rush. Anjloknya nilai rupiah pun mulai memukul sendi perekonomian ketika swasta kesulitan membayar kewajiban jangka pendeknya sehingga memicu PHK yang berujung pada problem sosial.
Pada masa itu, BNI menjadi Bank BUMN pertama yang menjadi perusahaan publik setelah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada 1996.
Seperti bank lainnya, BNI juga terkena dampak negatif krisis ini yang tercermin dari menurunnya indikator kinerja finansial secara tajam. Ini merupakan salah satu periode paling kelam dalam sejarah BNI.
Namun tak beberapa lama setelah krisis mencapai bottom, kinerja BNI pun berangsur membaik. Pada 1999 BNI memperkuat struktur keuangan dan daya saingnya di tengah industri perbankan nasional. BNI pun melakukan sejumlah aksi korporasi, antara lain proses rekapitalisasi oleh Pemerintah.
BNI pun bangkit dan semakin kuat menghadapi krisis yang menghadang kemudian. Pada 2001 Bank BNI pun berhasil mengurangi jumlah NPL menjadi sebesar 19,54% dari total pinjaman atau senilai Rp 6,91 triliun. Kondisi ini jauh lebih rendah dibandingkan posisi tahun 2000 yang mencapai Rp 7,96 triliun atau 24,90% dari total pinjaman.
Krisis Mini 2005
Setelah perlahan membaik, industri keuangan global harus menerima goncangan lagi pada 2005. Penyebab cukup kompleks, yakni kenaikan harga minyak dunia dan meningkatnya nilai tukar dolar akibat kenaikan suku bunga acuan The Fed. Hal ini ditambah lagi dengan spekulasi global yang memperparah nilai tukar Rupiah.
Namun, bekal dari pelajaran 1997-1998, kali ini BNI lebih siap. Hal tersebut tercermin pada laba bersih masih terjaga di level Rp 1,42 triliun, dengan pendapatan bunga bersih di level Rp 6,9 triliun.
Likuiditas BNI juga tergolong sangat longgar dengan LDR di level 54,24%. Meski demikian ada kenaikan ke level 13,7%. Selain itu ROA pun tetap stabil di level 1,61% dan ROE 12,64%, dan NIM tercatat 5,35%, serta CAR di level 16%.
Hal ini juga memberikan pengalaman bagi BNI dalam menghadapi periode-periode menantang berikutnya.
Pasca 2005 sebenarnya ada masalah tersembunyi bagi finansial global, yakni kenaikan The Fed Funds Rate. Kenaikan suku bunga acuan ini menyebabkan pasar properti di Amerika Serikat runtuh.
Sebanyak 3,9 juta rumah di AS tak terjual dan pengajuan pembangunan rumah baru anjlok 28%. Harga rumah sebagaimana dilaporkan National Association of Realtors turun 1,7% atau yang terparah dalam 11 tahun. Harga rumah sampai turun!
Hal ini kemudian menjalar ke bursa derivatif yakni subprime mortgage loan (KPR kelas dua). Lehman Brothers, yang dibangun tiga bersaudara Henry, Mayer, dan Emanuel Lehman adalah salah satu yang menjual KPR tersebut, yang telah dikemas ulang menjadi efek baru, yakni instrumen derivatif.
Awalnya, efek ini dibuat untuk menjadi alat lindung nilai (hedging) pasar properti, semacam exchange traded fund (ETF) yang mengumpulkan efek dari berbagai aset agar risiko satu atau beberapa aset yang berkinerja buruk di dalamnya tertutupi oleh aset lain yang berkinerja baik.
Namun, ketika semua aset itu memburuk, Lehman pun kesulitan. Ketika angkat tangan dan dinyatakan pailit pada 15 September 2008.
Krisis ini sempat menjalar ke Indonesia yang tercermin dari kenaikan nilai tukar dolar yang cukup signifikan. Kurs rupiah pun terlempar ke Rp 12.600/dolar AS, setelah bertahun-tahun relatif stabil di bawah Rp 10.000/dolar AS.
Pasar modal pun jatuh hingga 60% dari posisi tertingginya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun ke 1.146.
Meski demikian, secara historis dampak krisis subprime mortgage ke BNI ternyata cukup rendah.
Laba bersih pada 2008 meningkat menjadi Rp 1,22 triliun, naik 36% dibandingkan setahun sebelumnya. Bahkan laba pada 2009 meningkat 2 kali lipat menjadi Rp 2,48 triliun.
Dari sisi kredit, NPL neto malah membaik dari 4% pada 2007 menjadi 1,7% pada 2008 dan 0,8% pada 2009.
Pada tahun-tahun ini, BNI pun tetap berekspansi yang tercermin dari total aset yang meningkat dari Rp 183,34 triliun pada 2007 menjadi Rp 201,74 triliun pada 2008 dan Rp 227,5 triliun pada 2009.
Ekspansi juga terlihat dari jumlah kantor cabang yang mencapai 1.076 unit pada 2009 dibandingkan 983 unit pada 2007.
Kini pada 2020 dunia kembali diuji dengan krisis model baru, krisis kesehatan akibat Virus Corona (COVID-19). Virus yang berukuran sekitar 500 mikrometer ini telah membuat pusing seluruh pengambil kebijakan di seluruh dunia.
China telah mengalaminya dengan ekonomi terkontraksi minus 6,8% pada kuartal I-2020. Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath memperkirakan, outlook perekonomian global sepanjang April 2020 akan terkoreksi cukup tajam minus 3 persen akibat pandemi menjadikan yang terburuk sejak krisis finansial global pada 2008-2009 yang minus 0,1%.
Tahun ini, IMF bahkan memperkirakan ekonomi Indonesia sepanjang tahun ini hanya akan tumbuh 0,5% dari proyeksi sebelumnya 5% di tahun 2019. Namun pertumbuhan diproyeksi bisa membaik di 2021, dengan perkiraan 8,2%.
Sementara dari lembaga lainnya juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2020 akan terkontraksi. JP Morgan memperkirakan ekonomi dunia minus 1,1%, sementara Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi untuk minus 2,2%, sedangkan Fitch memproyeksikan ekonomi dunia untuk minus 1,9%.
Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik untuk tahun 2020 dari 5,0%-5,4% menjadi 4,2%-4,6%. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi domestik untuk rebound pada 2021 menjadi 5,2%-5,6% setelah Covid-19 berlalu dan pemulihan selanjutnya dalam iklim investasi.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ada beberapa skenario dalam pertumbuhan ekonomi. Bila dampak Corona cukup berat maka ekonomi Indonesia bisa turun ke 2,3%, sementara bila sangat berat maka bisa minus 0,4%.
Hingga saat ini belum ada yang tahu sampai kapan wabah Corona berakhir dan kapan puncaknya? Yang pasti semuanya bersiap untuk berbagai skenario yang ada.
Nah bila melihat laporan keuangan terakhir BNI pada Februari 2020, terlihat kondisinya masih cukup sehat. Laba bersih masih naik 22,7% menjadi Rp 2,58 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 2,11 triliun.
Sementara itu, aset naik hampir 10% menjadi Rp 788,72 triliun dan penyaluran kredit BNI naik 11,8% menjadi Rp 529,53 triliun. Adapun rasio NPL pada akhir Desember masih terjaga di 1,25% dan CAR 19,735.
Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus krisis yang tengah dialami berbagai negara saat ini berbeda dengan yang sebelumnya, karenanya penyebabnya adalah wabah. Pandemi COVID-19 ini bukan hanya memukul sektor kesehatan, tetapi juga perbankan, pasar modal, hingga sektor riil.
Bahkan pandemi COVID-19 ini masih belum bisa diukur kapan akan selesainya. Setelah IHSG sempat mencapai titik terendahnya, dan sekarang perlahan naik kembali, kenaikan ini belum mencapai puncaknya. Begitu juga dengan harga saham-saham yang jatuh akibat penurunan IHSG beberapa waktu lalu.
Nicodemus mengatakan sektor perbankan merupakan salah satu sektor yang mendukung dan selalu menjadi primadona setiap tahun. Selain itu secara jangka panjang, BBNI salah satu saham yang konsisten untuk mengalami kenaikkan.
"Dalam jangka waktu menengah dan panjang, ada potensi yang cukup besar bagi BBNI untuk mengalami kenaikkan, tentu hal ini sebagai sesuatu yang baik," kata Nicodemus saat dihubungi CNBC, Senin (20/04/2020).
Dengan kinerja BBNI yang positif di Februari, juga menjadi modal bagi bank pelat merah ini untuk terus menanjak. Meski demikian, dia mengingatkan seberapa jauh sentimen corona saat ini. Jika sentimen corona lebih kuat, tentu BBNI pun akan mengalami penurunan secara harga saham ataupun kinerja.
"Hanya saja tidak akan sedalam yang lain karena punya sentimen positif yang menopang, yakni kinerjanya," kata Nicodemus.