
Bedah Teknikal & Fundamental BNI, Benarkah Sudah Murah?
Putu Agus Pransuamitra & Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
15 April 2020 12:36

Jakarta, CNBC Indonesia- Tekanan terhadap Bursa Efek Indonesia (BEI) membuat sejumlah saham bluechip anjlok dan meninggalkan harga wajarnya. Hal ini membuat beberapa saham dinilai sudah undervalued, atau lebih rendah dibandingkan nilai fundamentalnya.
Salah satu saham tersebut adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI yang ditutup pada level Rp 4.150 pada perdagangan, Selasa (14/4/2020). Harga saham BBNI pada 26 Maret lalu menyentuh Rp 2.970 per saham, yang merupakan level terendah dalam lebih dari 10 tahun terakhir, tepatnya sejak 16 Agustus 2010.
Berdasarkan analisa dari CNBC Indonesia, level terendah kedua BBNI dalam kurun waktu 10 tahun terakhir adalah Rp 2.975 yang disentuh pada pada 26 September 2011, sehingga Level Rp 2.970 berpeluang menjadi level dasar (bottom) sepanjang tahun ini. Selama level tersebut tidak ditembus, secara teknikal BBNI berpotensi kembali menananjak.
Apalagi melihat aksi jual yang terjadi di tahun ini merupakan faktor alam, pandemi virus corona, yang memukul semua sektor tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Ketika pandemi ini berakhir, tentunya perekonomian global perlahan bangkit, dan investor kembali masuk ke pasar saham yang memberikan imbal hasil tinggi.
Sejak akhir 2019 hingga 14 April 2020, saham BBNI sudah turun nyaris 50%, tepatnya 49,13%. Aksi jual masif terus terjadi sejak 20 Februari, hingga menyentuh level terendah 10 tahun pada 26 Maret lalu.
Penurunan tajam dalam waktu singkat tersebut tentunya terlalu berlebihan, terlihat dari indkator stochastic periode mingguan yang berada di wilayah jenuh jual atau oversold (di bawah 20), begitu juga dengan periode bulan.
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik naik.
Untuk jangka panjang, resisten terdekat berada di level Rp 4.850 per saham, jika level tersebut dilewati BBNI berpeluang terus melaju naik menuju Rp 6.000 - 6.150 per saham. Peluang ke area Rp 6.800 - 7.000 akan terbuka jika BBNI mampu melewati Rp 6.150 per saham.
Bagaimana Fundamentalnya?
Saat ini nilai buku (book value) saham BBNI saat ini berada pada level Rp 6.570. Dengan demikian, harga saham pada hari ini mencerminkan pada level 0,63 kali nilai buku (PBV).
PBV adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Valuasi ini lebih banyak digunakan untuk emiten dari industri jasa keuangan, terutama bank.
Sebelum BEI tertekan, rata-rata PBV industri perbankan di Indonesia masih di kisaran 2 kali. Sementara itu secara history, BNI dalam lima tahun terakhir memiliki rata-rata PBV di 1,45%.
Dengan demikian, harga saham BBNI saat ini cenderung murah bila dibandingkan dengan nilai fundamentalnya.
Yang perlu dicermati berikutnya terkait BBNI, adalah rentabilitas perusahaan ini ke depan. Karena book value bukan merupakan level tetap, namun naik atau turun mengikuti kinerja laba. Bila laba bersih meningkat, maka nilai buku emiten tersebut akan bergerak naik.
Nah, untuk itu perlu untuk memproyeksi profitabilitas BNI selama 2020, di tengah ancaman pelambatan ekonomi akibat virus corona.
Namun, yang pasti bank terbesar keempat di Indonesia membukukan kinerja yang baik sampai Februari 2020, yang terlihat di peningkatan laba bersih, kredit, hingga dana pihak ketiga.
Laba bersih bank BUMN ini melesat 22,27% menjadi Rp 2,58 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 2,11 triliun. Jika dibandingkan dengan industri perbankan yang hanya tumbuh 8,25% di Januari 2020, maka laba BNI tumbuh jauh lebih tinggi dibandingkan dengan industri.
Peningkatan laba bersih BBNI didorong oleh kenaikan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) hampir 16% menjadi Rp 5,92 triliun pada Februari 2020, dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 5,11 triliun. Sementara itu, pendapatan komisi dan administrasi yang tetap kuat yakni Rp 1,44 triliun.
Peningkatan pendapatan dan laba bersih ini juga dibarengi dengan kenaikan aset hampir 10% pada Februari 2020 menjadi Rp 788,72 triliun. Sementara pada Februari 2019 aset bank pelat merah ini tercatat senilai Rp 718,82 triliun. Kenaikan aset perusahaan juga didukung oleh peningkatan penyaluran kredit dan dana pihak ketiga.
Per Februari 2020, penyaluran kredit BNI melesat 11,8% menjadi Rp 529,53 triliun, dibandingkan periode yang sama 2019 senilai Rp 473,61 triliun. Sementara DPK perusahaan pun tercatat naik 9,83% menjadi Rp 573,3 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 521,97 triliun.
Head of Investment PT Avrist Asset Management Tb. Farash Farich mengatakan sebuah sinyal positif untuk bank bisa tumbuh di awal tahun. Meski tantangannya semakin berat ke depannya, terutama karena perlambatan ekonomi akibat penyebaran virus ini.
"Dari sisi valuasi BNI termasuk yg sudah sangat rendah, Price to book 0.65x, dibawah standar deviasi historisnya," kata Farash.
Menurutnya ini juga bisa menjadi momen investor untuk mengoleksi saham BNI, apalagi dengan PBV saat ini yang menandakan saham bank pelat merah ini tengah undervalue. PBV adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar, punya valuasi tinggi (overvalue) sedangkan saham dengan PBV di bawah 1 kali, punya valuasi murah.
"Kemungkinan untuk valuasi kembali lebih rendah tetap ada. Tapi paling tidak valuasi saat ini sudah cukup menarik. Namun untuk antisipasi kemungkinan harga bisa lebih turun bisa dilakukan pembelian bertahap," ujarnya.
(dob/dob) Next Article Kinerja Cemerlang, BNI Terus Didorong Go Internasional
Salah satu saham tersebut adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI yang ditutup pada level Rp 4.150 pada perdagangan, Selasa (14/4/2020). Harga saham BBNI pada 26 Maret lalu menyentuh Rp 2.970 per saham, yang merupakan level terendah dalam lebih dari 10 tahun terakhir, tepatnya sejak 16 Agustus 2010.
Berdasarkan analisa dari CNBC Indonesia, level terendah kedua BBNI dalam kurun waktu 10 tahun terakhir adalah Rp 2.975 yang disentuh pada pada 26 September 2011, sehingga Level Rp 2.970 berpeluang menjadi level dasar (bottom) sepanjang tahun ini. Selama level tersebut tidak ditembus, secara teknikal BBNI berpotensi kembali menananjak.
Sejak akhir 2019 hingga 14 April 2020, saham BBNI sudah turun nyaris 50%, tepatnya 49,13%. Aksi jual masif terus terjadi sejak 20 Februari, hingga menyentuh level terendah 10 tahun pada 26 Maret lalu.
Penurunan tajam dalam waktu singkat tersebut tentunya terlalu berlebihan, terlihat dari indkator stochastic periode mingguan yang berada di wilayah jenuh jual atau oversold (di bawah 20), begitu juga dengan periode bulan.
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik naik.
Untuk jangka panjang, resisten terdekat berada di level Rp 4.850 per saham, jika level tersebut dilewati BBNI berpeluang terus melaju naik menuju Rp 6.000 - 6.150 per saham. Peluang ke area Rp 6.800 - 7.000 akan terbuka jika BBNI mampu melewati Rp 6.150 per saham.
![]() |
Bagaimana Fundamentalnya?
Saat ini nilai buku (book value) saham BBNI saat ini berada pada level Rp 6.570. Dengan demikian, harga saham pada hari ini mencerminkan pada level 0,63 kali nilai buku (PBV).
PBV adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Valuasi ini lebih banyak digunakan untuk emiten dari industri jasa keuangan, terutama bank.
Sebelum BEI tertekan, rata-rata PBV industri perbankan di Indonesia masih di kisaran 2 kali. Sementara itu secara history, BNI dalam lima tahun terakhir memiliki rata-rata PBV di 1,45%.
Dengan demikian, harga saham BBNI saat ini cenderung murah bila dibandingkan dengan nilai fundamentalnya.
Yang perlu dicermati berikutnya terkait BBNI, adalah rentabilitas perusahaan ini ke depan. Karena book value bukan merupakan level tetap, namun naik atau turun mengikuti kinerja laba. Bila laba bersih meningkat, maka nilai buku emiten tersebut akan bergerak naik.
Nah, untuk itu perlu untuk memproyeksi profitabilitas BNI selama 2020, di tengah ancaman pelambatan ekonomi akibat virus corona.
Namun, yang pasti bank terbesar keempat di Indonesia membukukan kinerja yang baik sampai Februari 2020, yang terlihat di peningkatan laba bersih, kredit, hingga dana pihak ketiga.
Laba bersih bank BUMN ini melesat 22,27% menjadi Rp 2,58 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 2,11 triliun. Jika dibandingkan dengan industri perbankan yang hanya tumbuh 8,25% di Januari 2020, maka laba BNI tumbuh jauh lebih tinggi dibandingkan dengan industri.
Peningkatan laba bersih BBNI didorong oleh kenaikan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) hampir 16% menjadi Rp 5,92 triliun pada Februari 2020, dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 5,11 triliun. Sementara itu, pendapatan komisi dan administrasi yang tetap kuat yakni Rp 1,44 triliun.
Peningkatan pendapatan dan laba bersih ini juga dibarengi dengan kenaikan aset hampir 10% pada Februari 2020 menjadi Rp 788,72 triliun. Sementara pada Februari 2019 aset bank pelat merah ini tercatat senilai Rp 718,82 triliun. Kenaikan aset perusahaan juga didukung oleh peningkatan penyaluran kredit dan dana pihak ketiga.
Per Februari 2020, penyaluran kredit BNI melesat 11,8% menjadi Rp 529,53 triliun, dibandingkan periode yang sama 2019 senilai Rp 473,61 triliun. Sementara DPK perusahaan pun tercatat naik 9,83% menjadi Rp 573,3 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 521,97 triliun.
Head of Investment PT Avrist Asset Management Tb. Farash Farich mengatakan sebuah sinyal positif untuk bank bisa tumbuh di awal tahun. Meski tantangannya semakin berat ke depannya, terutama karena perlambatan ekonomi akibat penyebaran virus ini.
"Dari sisi valuasi BNI termasuk yg sudah sangat rendah, Price to book 0.65x, dibawah standar deviasi historisnya," kata Farash.
Menurutnya ini juga bisa menjadi momen investor untuk mengoleksi saham BNI, apalagi dengan PBV saat ini yang menandakan saham bank pelat merah ini tengah undervalue. PBV adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar, punya valuasi tinggi (overvalue) sedangkan saham dengan PBV di bawah 1 kali, punya valuasi murah.
"Kemungkinan untuk valuasi kembali lebih rendah tetap ada. Tapi paling tidak valuasi saat ini sudah cukup menarik. Namun untuk antisipasi kemungkinan harga bisa lebih turun bisa dilakukan pembelian bertahap," ujarnya.
(dob/dob) Next Article Kinerja Cemerlang, BNI Terus Didorong Go Internasional
Most Popular