Mengukur Kemampuan BNI Hadapi Ketidakpastian COVID-19

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
11 May 2020 12:17
Memaksimalkan Physical Distancing, BNI Alihkan Layanan Sebagian Kantor Cabang
Foto: Memaksimalkan Physical Distancing, BNI Alihkan Layanan Sebagian Kantor Cabang
Sebagai bank dengan total asset terbesar keempat, kondisi PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) sejalan dengan industri, bahkan lebih baik.

Hal itu tercermin pada laporan keuangan hingga Februari 2020 yang tercatat kredit masih tumbuh 11,8* menjadi Rp 529,53 triliun, dibandingkan periode yang sama 2019 senilai Rp 473,61 triliun. DPK pun tercatat naik 9,83% menjadi Rp 573,3 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 521,97 triliun.

Faktor positif lain adalah profitabiltas BNI semakin membaik di 2 bulan pertama 2020. Laba bersih bank BUMN ini melesat 22,27% menjadi Rp 2,58 triliun, dibandingkan Februari 2019 senilai Rp 2,11 triliun. Hal ini penting karena profitabilitas menjadi bantalan ketika diperlukan peningkatan pencadangan akibat meningkatnya NPL.

Apalagi, NPL BNI masih terjaga di level 2,27% pada akhir 2019, masa-masa sebelum COVID-19 menular ke Indonesia. Loan to deposit ratio (LDR) BNI pada akhir 2019 juga masih dalam posisi yang sehat yakni 92,4%, dibandingkan dengan industri 93,4%.



Selain itu, manajemen BNI pun telah mengantisipasi potensi tekanan likuiditas pada debitur, yang berpotensi meningkatan tantangan gagal bayar dan likuiditas bagi BNI. Manajamen pun akan mengambil langkah ketat tentang kebijakan liabilitas aset di tengah ketidakpastian ini.

Selain itu dengan kepolutusan Bank Indonesia yang mengurangi 200bps untuk bank umum konvensional per 1 Mei 2020, membuat BNI menghasilkan tambahan likuiditas kurang lebih Rp 11 triliun. Jika diperlukan, pencadangan likuiditas backstop pun telah diamankan.

Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee juga sepakat BNI memiliki kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian, terutama karena portofolio kreditnya sebagian besar di segmen korporasi.

Biarpun ada tantangan cashflow, menurutnya asumsi too big to fail berlaku untuk BNI terutama dengan kondisi fundamentalnya yang kuat.

"BNI akan lebih bagus dibandingkan bank lain yang fokus ke ritel, karena korporasi akan lebih kuat daya tahannya dibandingkan yang fokus ke ritel atau UMKM," kata Hans kepada CNBC Indonesia, belum lama ini

Selain itu menurutnya, dari sisi performa perbankan pun masih akan bagus karena dengan restrukturisasi kredit yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo juga tidak akan berdampak signifikan ke NPL. Sehingga BNI tak perlu menambahkan pencadangan (CKPN) yang besar, yang dapat menggerus labanya.

Dalam penyaluran kredit meski BNI agresif namun penyaluran kreditnya terbilang prudent yang disertai besaran NPL Coverage Ratio.

"BNI valuasi juga sudah murah, dan saya selalu call beli buat BBNI. Walaupun saham perbankan agak lebih lama recoverynya, karena ada step-step dalam perbaikan," kata Hans.

Sementara itu, Analis Buana Capital Suria Dharma mengatakan tahun ini ada potensi penurunan laba pada emiten bank, termasuk BNI. Hal ini disebabkan oleh pandemi COVID-19 yang membuat sektor riil terhambat, dan juga berimbas pada industri perbankan terutama karena adanya kebijakan restrukturisasi kredit.

"Kalau ada restrukturisasi kan besarannya berbeda-beda, mereka berarti tidak ada pemasukan pembayaran bunga dan pokok selama satu tahun. Baru tahun depan dapat pendapatan bunga lagi, artinya tagun ini penghasilan bunga turun maka laba bersihnya juga tertekan," kata Suria.


Dari sisi perbankan sendiri menurutnya justru memiliki cadangan modal yang kuat, terutama sejak diberlakukannya PSAK 71 sehingga bisa dikatakan kondisi bank lebih prima. Namun jika tidak ada penurunan pendapatan bunga, tetap saja pendapatan bank dan laba bersihnya akan tertekan.

"Kalau bisa pada bunga nasabah yang tidak dibayar kalau bisa disubsidi pemerintah, karena bukan pada kekuatan banknya. Banknya sih sehat, tapi bisa ada penurunan laba kalau pemerintah tidak membantu karena pendapatnya berkurang,"ujarnya.

Pada kondisi ini nasabah perbankan tidak bisa beroperasi penuh karena COVID-19 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kalaupun PSBB sudah dibuka, tetap akan ada penyesuaian yang berlangsung dan membutuhkan waktu.

"Tahun depan harapannya sudah normal, tetapi ini kan berandai-andai. Yang jelas kuartal II-2020 ini resultnya tidak bagus karena baru mulai terasa dampak pandemi ini," kata Suria. (dob/dob)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular