
Waduh! Sudah 583.000 Debitur Leasing Minta Libur Cicil Kredit
Yuni Astutik & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
29 April 2020 12:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mencatat ada 583 ribu debitur yang mengajukan restrukturisasi kepada perusahaan pembiayaan imbas dari pandemi virus corona.
Ketua APPI Suwandi Wiratno mengatakan untuk itu ada sekitar 183 perusahaan pembiayaan atau leasing yang terus memantau debitur tersebut.
"Dengan jumlah kontrak permohonan yang masih proses kurang lebih 358 ribu dan sudah disetujui sebanyak 203 ribu. Situasi ini terus berjalan dan kami terus melakukan pendataan setiap hari, dan melaporkannya kepada OJK [Otoritas Jasa Keuangan]," jelas Suwandi dalam video conference, Selasa (28/4/2020).
Terkait dengan apa yang disampaikan oleh Presiden RI, Joko Widodo mengenai penundaan membayar cicilan kredit atau restrukturisasi kredit, dia meminta segenap otoritas memberikan informasi yang benar.
Dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, serta industri pembiayaan lainnya diharapkan meluruskan pernyataan Jokowi tersebut. Sebab, banyak diantaranya masyarakat atau debitur yang menerima informasi salah terkait restrukturisasi tersebut.
"Masyarakat multitafsir, [...] yang paling populer adalah tafsiran dari masyarakat boleh libur cicilan selama satu tahun. Padahal dalam POJK 11/2020, maksimal satu tahun itu maksudnya adalah konsep-konsep restrukturisasi itu sendiri, yaitu penurunan bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok utang dan sebagainya," kata Suwandi.
Apabila hal ini terus berlanjut, maka akan mengganggu likuiditas perusahaan jika seluruh debitur mengajukan penundaan. Padahal, pendapatan perusahaan pembiayaan yang paling utama berasal dari pembayaran bunga dan arus kas dari pembayaran pokok utang.
Akan berat bagi perusahaan pembiayaan untuk memenuhi kewajiban membayar bunga dan pokok utang ke perbankan, namun debitur menunda pembayaran. Inilah yang membuat perusahaan pembiayaan bakal kesulitan likuiditas.
Dia menyebut, restrukturisasi ini adalah bagian dari tantangan. Persoalan lainnya adalah bagaimana kedepannya untuk memberikan pinjaman baru. Dia juga mencatat saat ini terhitung 80% perusahaan pembiayaan yang berhenti memberikan pinjaman.
"Ada yang hanya berhenti melakukan pinjaman hanya karena ingin, tapi banyak juga khawatir jika memberikan pinjaman lagi, debiturnya mengklaim terkena dampak dan akan jadi macet kembali dan minta untuk direstrukturisasi," tuturnya.
Kesulitan yang menjadi persoalan selanjutnya adalah perbankan memberhentikan penyaluran pinjamannya kepada perusahaan pembiayaan. Padahal masih ada plafon kredit yang tersedia.
"Ini situasi di mana kita harus melihat posisinya. Jika ingin recover terhadap ekonomi. Sebaiknya bukan hanya memikirkan hari ini restrukturisasi dengan proses yang baik. Tapi likuiditas juga tersedia buat perusahaan pembiayaan. Jika tidak, ada domino effect yang berat di perusahaan pembiayaan," pungkasnya.
Ketua APPI Suwandi Wiratno mengatakan untuk itu ada sekitar 183 perusahaan pembiayaan atau leasing yang terus memantau debitur tersebut.
"Dengan jumlah kontrak permohonan yang masih proses kurang lebih 358 ribu dan sudah disetujui sebanyak 203 ribu. Situasi ini terus berjalan dan kami terus melakukan pendataan setiap hari, dan melaporkannya kepada OJK [Otoritas Jasa Keuangan]," jelas Suwandi dalam video conference, Selasa (28/4/2020).
Dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, serta industri pembiayaan lainnya diharapkan meluruskan pernyataan Jokowi tersebut. Sebab, banyak diantaranya masyarakat atau debitur yang menerima informasi salah terkait restrukturisasi tersebut.
"Masyarakat multitafsir, [...] yang paling populer adalah tafsiran dari masyarakat boleh libur cicilan selama satu tahun. Padahal dalam POJK 11/2020, maksimal satu tahun itu maksudnya adalah konsep-konsep restrukturisasi itu sendiri, yaitu penurunan bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok utang dan sebagainya," kata Suwandi.
Apabila hal ini terus berlanjut, maka akan mengganggu likuiditas perusahaan jika seluruh debitur mengajukan penundaan. Padahal, pendapatan perusahaan pembiayaan yang paling utama berasal dari pembayaran bunga dan arus kas dari pembayaran pokok utang.
Akan berat bagi perusahaan pembiayaan untuk memenuhi kewajiban membayar bunga dan pokok utang ke perbankan, namun debitur menunda pembayaran. Inilah yang membuat perusahaan pembiayaan bakal kesulitan likuiditas.
Dia menyebut, restrukturisasi ini adalah bagian dari tantangan. Persoalan lainnya adalah bagaimana kedepannya untuk memberikan pinjaman baru. Dia juga mencatat saat ini terhitung 80% perusahaan pembiayaan yang berhenti memberikan pinjaman.
"Ada yang hanya berhenti melakukan pinjaman hanya karena ingin, tapi banyak juga khawatir jika memberikan pinjaman lagi, debiturnya mengklaim terkena dampak dan akan jadi macet kembali dan minta untuk direstrukturisasi," tuturnya.
Kesulitan yang menjadi persoalan selanjutnya adalah perbankan memberhentikan penyaluran pinjamannya kepada perusahaan pembiayaan. Padahal masih ada plafon kredit yang tersedia.
"Ini situasi di mana kita harus melihat posisinya. Jika ingin recover terhadap ekonomi. Sebaiknya bukan hanya memikirkan hari ini restrukturisasi dengan proses yang baik. Tapi likuiditas juga tersedia buat perusahaan pembiayaan. Jika tidak, ada domino effect yang berat di perusahaan pembiayaan," pungkasnya.
(dob/dob) Next Article Leasing Milik Sinarmas Rilis Obligasi Rp 732 M, untuk Apa?
Most Popular