Pekan ini, pasar keuangan Indonesia ditutup bervariasi. Bagaimana dengan pekan depan? Sentimen apa saja yang perlu dicermati investor?
. Tidak perlu gusar, karena hampir seluruh indeks saham utama Asia pun bernasib serupa. Bahkan ada yang penurunannya lebih tajam ketimbang IHSG.
. Meski penguatannya relatif terbatas, tetapi rupiah sudah mampu menjadi mata uang terbaik kedua di Asia.
. Penurunan
menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Oke, yang lalu biarlah berlalu. Sekarang mari kita menatap masa depan. Kira-kira sentimen apa yang akan mewarnai pasar keuangan pekan depan?
Sepertinya pekan depan lebih banyak berfokus kepada sentimen eksternal. Akan sejumlah rilis data penting yang bisa mempengaruhi
mood pasar.
Pertama, investor wajib memantau rapat Komite Pengambil Kebijakan Bank Sentral AS (
Federal Open Market Commitee/FOMC) pada 29 April waktu Washington untuk menentukan suku bunga acuan. Mengutip CME FedWatch, probabilitas Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega mempertahankan Federal Funds Rate di 0-0,25% adalah 100%. Mutlak, tidak ada yang menebak ada perubahan.
Meski suku bunga acuan hampir pasti ditahan, tetapi pasar tetap perlu memperhatikan 'suasana kebatinan' dalam diri Powell dan sejawat. Bagaimana nada (
tone) kalimatnya, bagaimana posisi (
stance) kebijakannya, bagaimana pembacaan (
outlook) untuk prospek ke depannya, dan lain-lain.
Selain suku bunga acuan, menarik juga untuk melihat apakah ada peluang The Federal Reserve/The Fed akan menggulirkan stimulus lanjutan. Pada 9 April lalu, The Fed mengumumkan akan menyediakan fasilitas pinjaman bagi usaha mikro, kecil, dan menengah serta pemerintah negara bagian yang membutuhkan. Paket stimulus itu bernilai US$ 2,3 miliar.
Sentimen kedua, masih dari Negeri Paman Sam, adalah pengumuman angka pembacaan awal (
advance reading) pertumbuhan ekonomi AS kuartal I-2020. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan ekonomi AS pada Januari-Maret 2020 terkontraksi (tumbuh negatif) -4% secara kuartalan. Kalau terwujud, maka akan menjadi catatan terendah sejak Depresi Besar pada 1930-an.
"Para ekonom zaman sekarang tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi saat Depresi Besar pada 1930-an. Namun saat ini mereka sudah bisa mendapatkan gambarannya," kata Chris Rupkey, Kepala Ekonom MUFG yang berbasis di New York, sebagaimana dikutip dari
Reuters. Jika data ekonomi AS betul-betul terpuruk seperti yang diperkirakan, maka tentu akan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global. Investor mana yang berani bermain di aset-aset berisiko kalau peluang resesi (bahkan depresi) semakin besar? Apabila sentimen negatif mendominasi dan
risk appeite investor lenyap, maka IHSG, rupiah, dan obligasi pemerintah bakal sulit untuk menguat.
Sentimen ketiga, pada akhir pekan depan, April akan resmi berakhir dan kita akan memasuki Mei. Saat bulan baru tiba, maka ada rilis rutin yang dinanti oleh pelaku pasar yaitu
Purchasing Managers' Index (PMI) yang memberi gambaran aktivitas ekonomi pada masa mendatang berdasarkan pembelian bahan baku pada saat ini.
PMI manufaktur China versi Biro Stastik Nasional (NBS) akan dirilis pada 30 April. Konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memperkiakan PMI manufaktur China pada April sebesar 51. Turun dibandingkan Maret yang sebesar 52, tetapi karena masih di atas 50 berarti industriawan diperkirakan bakal melakukan ekspansi.
Sedangkan PMI manufaktur AS periode April untuk versi IHS Markit dan ISM akan dirilis pada 1 Mei malam waktu Indonesia. Untuk versi IHS Markit dan ISM, konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memperkirakan masing-masing di 36,9 dan 36,7.
Menariknya, PMI di China yang sempat anjlok seanjlok-anjloknya pada Februari berhasil melesat pada Maret. April pun diperkirakan masih berada di zona ekspansi.
Sementara PMI di AS masih saja terjebak di area kontraksi. Bahkan semakin parah gara-gara pandemi virus corona (
Coronavirus Disease/Covid-19) yang menghantam industri manufaktur dari sisi pasokan bahan baku, kekurangan tenaga kerja, sampai penurunan permintaan.
Ini memunculkan tanda tanya. Jangan-jangan AS tidak bisa menangani pandemi virus corona sebaik China...
"Jujur, saya mulai meragukan kapasitas AS dalam mengendalikan pandemi ini. Saat ini sudah tidak ada kasus parah di Wuhan (kota asal penyebaran virus corona), apakah Kota New York bisa mencapai hal serupa pada 2020? Namun Presiden (Donald) Trump masih sangat optimistis dan membanggakan kinerjanya walau lebih dari 1.000 orang meninggal setiap harinya. Menarik," cuit Hu Xijin, Pemimpin Redaksi harian
Global Times yang berafiliasi dengan pemerintah China.
Sentimen keempat, ini mungkin yang paling utama, jangan lupa terus memperbarui berita dan data mengenai pandemi virus corona. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia mencapai 2.719.897 orang per 25 April 2020. Bertambah 93.716 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Sementara jumlah pasien meninggal dunia tercatat 187.705 orang. Bertambah 5.767 orang.
Rencananya, sejumlah negara bagian AS akan melanjutkan pelonggaran
social distancing dan
lockdown untuk membangkitkan kembali ekonomi yang mati suri. Beberapa negara Eropa seperti Jerman, Italia, dan Spanyol juga akan menempuh kasus serupa karena laju penyebaran virus corona yang semakin melambat.
Investor (dan seluruh warga dunia) perlu memantau perkembangan di negara-negara yang mulai melakukan pelonggaran
social distancing dan
lockdown. Perlu dicatat bahwa masih ada risiko penyebaran virus, sehingga jangan-jangan pelonggaran ini malah bisa menyebabkan serangan fase kedua (
second outbreak).
Stephan Ludwig, Virolog di Universitas Muenster (Jerman), menilai pelonggaran
social distancing dan
lockdown masih terlalu berisiko jika diterapkan sekarang. Masalahnya, tanda perlambatan penyebaran virus masih sangat awal, ada kemungkinan perlambatan ini adalah alarm palsu (
false alarm).
"Kita seperti sedang bermain api, kecil jadi kawan tetapi besar menjadi lawan. Hanya karena Anda sudah boleh pergi ke pertokoan bukan berarti tidak ada pembatasan dan bisa mengabaikan protokol kesehatan," tegas Ludwig, seperti dikutip dari Reuters.
Jadi, boleh saja kita bersuka-cita karena sepertinya badai sudah berlalu dan ekonomi siap bersemi kembali. Namun, risiko untuk datangnya badai kedua masih ada jika kita tidak pandai menjaga diri. Jangan terlalu larut dalam euforia dan tetap waspada.
TIM RISET CNBC INDONESIA