
Tak Cuma RI, Prospek Negara Ini Juga Direvisi Turun S&P

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat S&P Global Ratings yang bermarkas di New York, Amerika Serikat pada hari Jumat kemarin (17/4/2020) telah merevisi turun prospek utang jangka panjang Indonesia menjadi 'negatif' dari semula 'stabil' pada 31 Mei 2019 lalu.
Perubahan proyeksi ini mempertimbangkan kenaikan risiko eksternal dan fiskal akibat meningkatnya kewajiban luar negeri dan beban utang pemerintah untuk membiayai penanganan pandemi COVID-19.
Kendati demikian, Indonesia tidak sendirian. S&P Global Ratings juga melakukan hal serupa terhadap beberapa negara lain seperti Australia, Kongo, Kolombia, Jamaika dan Sri Lanka. Alasannya juga sama, yakni merebaknya pandemi virus corona (strain baru).
Menanggapi keputusan S&P tersebut, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menyatakan, "Outlook negatif ini diyakini bukan cerminan dari permasalahan ekonomi yang bersifat fundamental, tetapi lebih dipicu oleh kekhawatiran S&P terhadap risiko pemburukan kondisi eksternal dan fiskal akibat pandemi COVID-19 yang bersifat temporer."
Keyakinan ini didasarkan pada fakta bahwa, sampai dengan beberapa saat sebelum COVID-19 meluas ke seluruh dunia, kepercayaan investor dan lembaga pemeringkat internasional terhadap prospek dan ketahanan ekonomi Indonesia masih sangat tinggi.
Didukung oleh konsistensi pemerintah dan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi struktural, kepercayaan tersebut antara lain tampak pada aliran masuk modal asing yang sangat deras dan rangkaian kenaikan peringkat yang diberikan kepada Indonesia oleh berbagai lembaga pemeringkat terkemuka di dunia.
Hingga triwulan I 2020, kepercayaan sebagian besar lembaga pemeringkat terhadap Indonesia tetap kuat, bahkan membaik. Fitch pada Januari dan Moody's pada Februari mempertahankan peringkat Indonesia pada status layak investasi (investment grade) yakni pada BBB dengan outlook Stabil dan Baa2 dengan outlook Stabil.
JCRA dan R&I, masing-masing pada Januari dan Maret, bahkan kembali menaikkan peringkat Indonesia menjadi BBB+ dengan outlook Stabil.
Gubernur BI mengakui ketidakpastian ekonomi dan keuangan mendera Indonesia sebagaimana dialami banyak negara lain. Semua negara berlomba-lomba mengambil kebijakan fiskal dan moneter untuk mengatasi dampak negatif penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Pasar keuangan dan pasar saham Tanah Air tengah mendapat tekanan cukup berat karena investor global tengah menghadapi ketidakpastian yang begitu tinggi akibat dampak virus corona (COVID-19) yang berimbas juga ke Indonesia.
"Meskipun otoritas di hampir seluruh negara mengeluarkan stimulus fiskal dan bank-bank sentral melakukan penurunan suku bunga dan injeksi likuiditas dalam jumlah besar, tetap saja resesi ekonomi dunia tidak dapat dihindari," papar Perry.
Kepanikan yang melanda investor keuangan global membuat dana-dana asing keluar (capital outflow) dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pasar obligasi pun tertekan karena mereka melepas portofolionya berupa Surat Berharga Negara (SBN).
"Akibatnya, para investor global melepas aset-aset investasinya dari seluruh dunia termasuk dari Indonesia, apakah obligasi, saham ataupun emas, dan menukarkannya ke simpanan tunai dalam mata uang dolar AS. Harga saham dunia anjlok, yield (imbal hasil) obligasi meningkat, dan harga emas juga sempat turun, sementara mata uang dolar AS semakin menguat dan nilai tukar berbagai mata uang negara lain melemah," tuturnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(har) Next Article Corona Picu Resesi Global, Obligasi AS Diborong Investor