Akhiri Penguatan 4 Hari Beruntun, Rupiah Alami Koreksi Sehat

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 April 2020 16:40
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (16/4/2020). Depresiasi ini akibat kurang bagusnya sentimen pasar setelah Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memprediksi resesi global yang dalam akibat penyakit virus corona (Covid-19).

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung masuk ke zona merah, melemah 0,39% di Rp 15.610/US$. Depresiasi rupiah membengkak hingga 1,29% di Rp 15.750/US$, tetapi berhasil dipangkas dan mengakhiri perdagangan di level Rp 15.600/US$ atau melemah 0,32% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Dengan pelemahan hari ini, rupiah mengakhiri rentetan penguatan 4 hari beruntun. Rupiah kemarin mengakhiri perdagangan di level Rp 15.550/US$, menguat 0,38%.

Dengan penguatan tersebut, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia, bahkan salah satu terbaik di dunia jika dilihat sejak pekan lalu total rupiah sudah menguat 5,18%.

Sehingga pelemahan rupiah hari ini bisa dimaklumi sebagai koreksi harga yang "sehat" atau wajar, melihat penguatan tajam tersebut. Apalagi mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS pada hari ini, dan rupiah bukan yang terburuk.



Hingga pukul 15:40 WIB, ringgit Malaysia menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,69%, disusul rupee India 0,32%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.



IMF dalam laporan terbaru yang diberi judul The Great Lockdown, memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Januari.

Lembaga yang berkantor pusat di Washington tersebut juga menyatakan krisis yang terjadi kali ini jauh lebih parah dibandingkan dengan krisis finansial global tahun 2008.

"Ini adalah krisis yang tidak sama dengan krisis lainnya. Sekarang begitu banyak ketidakpastian tentang bagaimana hidup dan kehidupan manusia. Kita bergantung kepada epidemologi dari sang virus, efektivitas upaya pencegahan penularan, pengembangan vaksin, yang semuanya tidak mudah untuk diprediksi," sebut Gita Gopinath, Penasihat Ekonomi IMF.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini diprediksi sangat dalam, yang cukup membuat sentimen pelaku pasar kembali menjadi kurang bagus, akibatnya dolar AS yang menyandang status safe haven kembali berjaya.

Indonesia juga tidak lepas dari "hantu" resesi, meski IMF memprediksi ekonomi Indonesia masih tumbuh 0,5% di tahun ini.



Kemungkinan terjadinya resesi tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

"Kalau kondisi berat panjang, kemungkinan akan terjadi resesi di mana dua kuartal berturut-turut PDB [produk domestik bruto] bisa negatif," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers usai sidang kabinet paripurna, Rabu (15/4/2020).

Sebelumnya Sri Mulyani juga memberikan 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat. Dalam skenario berat, PDB diprediksi tumbuh 2,3%, sementara skenario sangat pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa minus 0,4%.

"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/4/2020).



[Gambas:Video CNBC]




Dari dalam negeri yang mempengaruhi pergerakan rupiah tentunya Bank Indonesia (BI) yang selalu menjaga agar mata uang Garuda tetap stabil dengan triple intervention, yakni intervensi di pasar Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), intervensi di pasar spot, dan di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Gubernur BI, Perry Warjiyo, di setiap kesempatan selalu menegaskan BI selalu ada di pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

Selain itu, pada Selasa sore BI mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG). Gubernur Perry melalui video conference mengumumkan suku bunga (7 Day Reverse Repo rate) tetap sebesar 4,5%, lending facility menjadi 5,25% dan deposit facility 3,75%.

Tetapi Perry menegaskan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19, Bank Indonesia akan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing).

"Untuk dukung upaya pemulihan ekonomi nasional, BI melakukan pelonggaran moneter," kata Perry, Selasa (14/4/2020).

"BI menurunkan GWM rupiah sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah. Berlaku 1 Mei 2020," imbuh Perry.

Perry mengatakan, dengan penurunan GWM tersebut maka akan tersedia likuiditas tambahan hingga Rp 102 triliun.

Selain itu BI juga melakukan ekspansi operasi moneter melalui penyediaan term-repo kepada bank-bank dan korporasi dengan transaksi underlying SUN/SBSN dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.

BI juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah untuk periode 1 (satu) tahun, mulai berlaku 1 Mei 2020.



Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu (16/4/2020) melaporkan nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 14,09%. Turun tipis -0,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski terkontraksi (tumbuh negatif), tetapi lebih landai dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu -6,5%.

Sementara nilai impor tercatat US$ 13,35 miliar, turun -0,75% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Juga lebih landai ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di angka -8,24%.

Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 740 juta. Lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar US$ 544 juta.
Kabar baiknya lainnya, data BPS menunjukkan ekspor China ke Indonesia pada Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar dibandingkan Februari 2020. Pada Februari impor dari China tercatat US$ 1,98 miliar dan meningkat di Maret menjadi US$ 2,98 miliar.

Dengan total nilai impor Maret tersebut, maka ada kenaikan impor sebesar 50,43% dibandingkan bulan sebelumnya.

"Peningkatan terbesar berasal dari Tiongkok. Recovery di sana cepat, sehingga impor dari Tiongkok Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar," jelas Kepala BPS Suhariyanto, Rabu (15/4/2020).

Bangkitnya perekonomian China tentunya memberikan bukti setelah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) perekonomian global bisa segera keluar dari resesi.

China sudah sukses meredam penyebaran virus corona, meski kini sedang menghadapi penyebaran dari kasus "impor" atau mudiknya orang-orang China yang tinggal di luar negeri, tetapi jumlahnya tidak signifikan dibandingkan penyebaran lokal yang terjadi sejak awal tahun. Aktivitas ekonomi Negeri Tiongkok pun berangsur-angsur pulih kembali.



Akhir Maret lalu, Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan Februari 35,7.  Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi.

Kemudian, data neraca perdagangan Negeri Tiongkok yang dirilis Selasa kemarin memberikan gambaran yang sama. Memang ekspor dan impor Negeri Tiongkok menunjukkan penurunan, tetapi tidak seburuk prediksi.

Ekspor China denominasi dolar AS pada bulan Maret turun 6,6% year-on-year (YoY) jauh lebih baik dibandingkan prediksi Reuters yakni penurunan sebesar 14% YoY. Sementara impor pada periode yang sama turun 0,9% YoY, lebih bagus daripada prediksi penurunan 9,5% YoY.

Akibatnya neraca dagang China mengalami surplus US$ 19,9 miliar, lebih tinggi ketimbang prediksi US$ 18,55 miliar.

Rilis data yang lebih baik dari prediksi menunjukkan roda perekonomian China mulai berputar kembali pasca dihantam pandemi virus corona.


TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular