Konsumen RI Masih Optimistis, Rupiah Masa Gak Bisa Menguat?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 April 2020 14:16
Konsumen RI Masih Optimistis, Rupiah Masa Gak Bisa Menguat?
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (6/4/2020), meski ada kabar bagus dari risiko penyebaran virus corona (Covid-19) dan konsumen dalam negeri.

Rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 16.400/US$. Tetapi tidak lama rupiah langsung melemah 0,3% ke Rp 16.450/US$, dan tertahan di level tersebut hingga pukul 13:00 WIB.

Mayoritas mata uang utama Asia memang sedang melemah melawan dolar AS pada hari ini, hanya dolar Singapura dan won Korea Selatan yang menguat. Ini berarti the greenback memang sedang perkasa di pasar Asia.

Sementara itu dari dalam negeri, ada kabar bagus dari risiko penyebaran COVID-19. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah merampungkan penelitian terkait dengan pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran virus corona (Covid-19).


Penelitian ini melibatkan 11 Doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kajian itu berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tentang Pengaruh Cuaca dan Iklim dalam Penyebaran COVID-19.

Hasilnya Covid-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah (1 - 9 °C), dengan kelembapan 60-90%. Sementara Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30 derajat celcius. Adapun kelembapan udara berkisar antara 70 - 95%, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk penyebaran COVID-19.


Namun demikian, fakta menunjukkan, kasus gelombang ke-2 Covid-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.

"Meningkatnya kasus pada gelombang ke dua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam siaran persnya, Minggu (5/4/2020).

Laporan Tim BMKG-UGM merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat, maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.

Hal ini tentunya menjadi kabar bagus, artinya ada harapan penyebaran corona di Indonesia tidak akan separah Eropa atau Amerika Serikat.

Sementara itu Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Maret 2020 sebesar 113,8, turun dari bulan sebelumnya 117,7. Konsumen masih pede, karena nilai indeks di atas 100.

Angka indeks di bulan Maret 2020 adalah yang terendah sejak September 2016, meski demikian setidaknya masih ada optimisme di benak konsumen, sehingga belanja tidak akan menurun drastis. Dengan perekonomian global yang dibuat merosot hingga ke jurang resesi oleh COVID-19, sikap optimistis konsumen meski menurun, bisa menjadi kabar bagus.

IKK adalah salah satu indikator permulaan (leading indicator) untuk meneropong arah perekonomian ke depan. Ketika konsumen masih yakin dan berniat untuk meningkatkan konsumsi, maka prospek ekonomi akan cerah. Sebaliknya jika konsumen pesimistis maka prospek pertumbuhan ekonomi juga mendung, karena konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 60% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Meski demikian, dolar AS masih terlalu perkasa bagi rupiah dan negara-negara emerging market lainnya. Terbukti hingga siang ini, hanya dolar Singapura dan won Korea Selatan yang merupakan mata uang negara maju yang bisa menguat melawan dolar AS.

Mata uang negara emerging market tentunya lebih berisiko dibandingkan negara maju, dengan kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan menuju resesi akibat corona, dolar AS masih menjadi pilihan utama para pelaku pasar.

[Gambas:Video CNBC]




Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR sebenarnya berpeluang menguat melihat indikator Stochastic yang berada di wilayah jenuh beli (overbought) dalam waktu yang cukup lama.

Posisi overbought (di atas level 80) dalam waktu lama artinya dolar AS terus menguat tersebut mengkonfirmasi pernyataan BI yang menyebut nilai tukar rupiah masih di bawah nilai fundamentalnya (undervalue).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah jenuh beli, maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik turun. Dalam hal ini, perdagangan rupiah melawan dolar AS disimbolkan USD/IDR yang berarti dolar AS sudah jenuh beli sehingga berpeluang melemah.

Beberapa pola candle stick sebenarnya bisa mendukung penguatan rupiah. Pada perdagangan Selasa (24/3/2020), rupiah membentuk pola Black Marubozu.

Begitu perdagangan Selasa dibuka, rupiah langsung menguat 0,31% ke level Rp 16.500/US$. Setelahnya penguatan rupiah semakin menebal hingga 0,6% ke Rp 16.450/US$ di akhir perdagangan.

Level pembukaan rupiah itu sekaligus menjadi titik terlemah intraday, sementara level penutupan menjadi titik terkuat rupiah pada hari Selasa. Dengan demikian, secara teknikal rupiah membentuk pola Black Marubozu.

Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrument akan mengalami penurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah. Dengan kata lain, rupiah berpotensi melanjutkan penguatan.

Konsumen RI Masih Optimistis, Rupiah Masa Gak Bisa Menguat? Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Sumber: Refinitiv


Kemudian pada Jumat (27/3/2020) lalu rupiah juga membentuk pola Gravestone Doji, di mana harga pembukaan sama dengan harga penutupan perdagangan, dengan ekor yang panjang di atas. Pola yang sama juga terbentuk Selasa (31/3/2020).

Pola ini kerap kali dijadikan sinyal jika harga suatu instrumen akan berbalik turun, dalam hal ini USD/IDR bergerak turun atau rupiah menguat melawan dolar AS.

Kemudian terakhir, Kamis (2/4/2020) kemarin terbentuk pola shooting star, yang juga menjadi sinyal pembalikan arah atau USD/IDR akan bergerak turun, dengan kata lain rupiah berpeluang menguat. Pola ini sebelumnya juga sudah muncul pada 20 Maret lalu, tetapi sayangnya pandemi COVID-19 terus mempengaruhi sentimen pelaku pasar yang membuat rupiah sulit menguat.

Faktor fundamental memang akan lebih mempengaruhi pergerakan rupiah selama pandemi COVID-19 belum bisa dihentikan.

Rupiah sejak hari Selasa lalu bergerak di atas Rp 16.200/US$, yang bisa menjadi kunci pergerakan rupiah secara teknikal. Dalam jangka pendek, potensi penguatan rupiah masih ke level tersebut.

Peluang penguatan rupiah baru akan terbuka lebih lebar jika mampu menembus ke bawah Rp 16.200/US$ dengan meyakinkan. Target penguatan ke Rp 16.000 sampai Rp 15.900/US$.

Namun, selama tertahan di atas Rp 16.200/US$, pelemahan rupiah berpotensi berlanjut, menuju Rp Rp16.500 sampai Rp 16.620/US$.

Ke depannya jika dua level tersebut mulus dilewati, rupiah berisiko mencapai level terlemah sepanjang sejarah Rp 16.800/US$, bahkan sampai Rp 17.000/US$.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular