
COVID-19 Mengerikan untuk Ekonomi RI, Saham Ini Layak Pilih
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 April 2020 10:45

Sebelum sektor riil diserang COVID-19, sektor keuangan sudah terlebih dahulu merasakan efek buruknya. Bursa saham global dibuat babak belur, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ambles.
Sepanjang kuartal I-2020, IHSG mencatat kemerosotan nyaris 28%. Aksi jual paling parah terjadi di bulan Maret yang ambles 16,76%. Bahkan pada 24 Maret lalu lalu IHSG menyentuh 3.911,716 yang merupakan level terendah sejak Agustus 2013.
Ketika IHSG ambles, saham-saham defensif akan semakin banyak dilirik. Dari semua sektor, emiten dari sektor barang konsumsi yang paling mampu menahan gejolak yang ditimbulkan oleh COVID-19.
Maklum saja, meskipun aktivitas masyarakat dibatasi, tetapi konsumsi tentunya masih tetap berjalan. Memang emiten-emiten barang konsumsi juga tidak lepas dari aksi jual, tetapi pelemahannya tidak separah sektor lainnya.
Salah satu emiten yang tahan banting yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), sepanjang bulan Maret hanya melemah 7,53%, sementara dalam tiga bulan pertama tahun ini melemah 9,19%.
Pelemahan tersebut bisa dibilang "hanya" melihat kinerja emiten-emiten sektor lainnya yang ambles puluhan persen.
Kemudian ada PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang hanya melemah 4,04% di bulan Maret saat IHSG sedang babak belur. Tetapi sepanjang kuartal I-2019, saham UNVR melemah sekitar 15%.
Saham-saham farmasi juga kinerjanya tidak buruk. Saham PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) di bulan Maret turun 7,45%, tetapi sepanjang kuartal I merosot sekitar 27%.
Dari sektor finansial, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) pelemahannya cukup tajam, sekitar 15% sepanjang bulan Maret dan 18% dalam tiga bulan pertama tahun ini. Itu artinya, aksi jual di sektor finansial mulai masif terjadi di bulan Maret. Meski demikian, pelemahan saham BBCA masih lebih bagus dibandingkan saham sektor finansial lainnya yang ambles lebih dari 30%.
Menilik performa tersebut, saham defensif memang cukup tahan banting, tetapi tetap tidak lepas dari pelemahan. Maklum saya, pandemi semacam COVID-19 ini belum pernah terjadi dimuka bumi era modern saat ini.
Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE sudah ada 180 negara/wilayah yang terpapar COVID-19, dengan jumlah kasus semakin mendekati 1 juta orang. 47.208 diantaranya meninggal dunia, dan 193.700 orang dinyatakan sembuh.
Meski dunia sedang diselimuti awan mendung yang tebal, secercah sinar sudah muncul. Pandemi COVID-19 memang benar-benar menghancurkan perekonomian dunia, dan meluluh lantakkan pasar finansial global. Tetapi ketika COVID-19 berhasil diredam dan dihentikan, perekonomian akan pulih dengan sangat cepat.
China bisa menjadi contoh nyata. Negara asal COVID-19 ini langsung bangkit setelah sukses meredam penyebaran virus dalam watu sekitar 3 bulan. Sektor manufaktur Negeri Tiongkok bangkit lebih cepat dari prediksi. Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan Februari 35,7, dan jauh di atas prediksi di Forex Factory sebesar 44,9.
Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi.
Ketika sektor manufaktur mulai berekspansi kembali maka roda perekonomian akan kembali berputar, dan pasar finansial global akan kembali bangkit.
Kini tinggal menunggu kapan dunia mampu menghentikan penyebaran COVID-19. Pemerintah AS, yang kini menjadi episentrum penyebaran, menargetkan mampu meredam virus ini di akhir bulan ini. Sementara di Indonesia, puncak pandemi COVID 19 diprediksi pada bulan April ini dan Mei.
Sehingga dalam 2 bulan ke depan, pasar finansial dalam negeri masih akan tertekan. (pap/pap)
Sepanjang kuartal I-2020, IHSG mencatat kemerosotan nyaris 28%. Aksi jual paling parah terjadi di bulan Maret yang ambles 16,76%. Bahkan pada 24 Maret lalu lalu IHSG menyentuh 3.911,716 yang merupakan level terendah sejak Agustus 2013.
Ketika IHSG ambles, saham-saham defensif akan semakin banyak dilirik. Dari semua sektor, emiten dari sektor barang konsumsi yang paling mampu menahan gejolak yang ditimbulkan oleh COVID-19.
Salah satu emiten yang tahan banting yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), sepanjang bulan Maret hanya melemah 7,53%, sementara dalam tiga bulan pertama tahun ini melemah 9,19%.
Pelemahan tersebut bisa dibilang "hanya" melihat kinerja emiten-emiten sektor lainnya yang ambles puluhan persen.
Kemudian ada PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang hanya melemah 4,04% di bulan Maret saat IHSG sedang babak belur. Tetapi sepanjang kuartal I-2019, saham UNVR melemah sekitar 15%.
Saham-saham farmasi juga kinerjanya tidak buruk. Saham PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) di bulan Maret turun 7,45%, tetapi sepanjang kuartal I merosot sekitar 27%.
Dari sektor finansial, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) pelemahannya cukup tajam, sekitar 15% sepanjang bulan Maret dan 18% dalam tiga bulan pertama tahun ini. Itu artinya, aksi jual di sektor finansial mulai masif terjadi di bulan Maret. Meski demikian, pelemahan saham BBCA masih lebih bagus dibandingkan saham sektor finansial lainnya yang ambles lebih dari 30%.
Menilik performa tersebut, saham defensif memang cukup tahan banting, tetapi tetap tidak lepas dari pelemahan. Maklum saya, pandemi semacam COVID-19 ini belum pernah terjadi dimuka bumi era modern saat ini.
Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE sudah ada 180 negara/wilayah yang terpapar COVID-19, dengan jumlah kasus semakin mendekati 1 juta orang. 47.208 diantaranya meninggal dunia, dan 193.700 orang dinyatakan sembuh.
Meski dunia sedang diselimuti awan mendung yang tebal, secercah sinar sudah muncul. Pandemi COVID-19 memang benar-benar menghancurkan perekonomian dunia, dan meluluh lantakkan pasar finansial global. Tetapi ketika COVID-19 berhasil diredam dan dihentikan, perekonomian akan pulih dengan sangat cepat.
China bisa menjadi contoh nyata. Negara asal COVID-19 ini langsung bangkit setelah sukses meredam penyebaran virus dalam watu sekitar 3 bulan. Sektor manufaktur Negeri Tiongkok bangkit lebih cepat dari prediksi. Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan Februari 35,7, dan jauh di atas prediksi di Forex Factory sebesar 44,9.
Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi.
Ketika sektor manufaktur mulai berekspansi kembali maka roda perekonomian akan kembali berputar, dan pasar finansial global akan kembali bangkit.
Kini tinggal menunggu kapan dunia mampu menghentikan penyebaran COVID-19. Pemerintah AS, yang kini menjadi episentrum penyebaran, menargetkan mampu meredam virus ini di akhir bulan ini. Sementara di Indonesia, puncak pandemi COVID 19 diprediksi pada bulan April ini dan Mei.
Sehingga dalam 2 bulan ke depan, pasar finansial dalam negeri masih akan tertekan. (pap/pap)
Pages
Most Popular