Harga Emas Disebut Sudah Capai Level Bottom, Waktunya Beli?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 April 2020 06:09
Harga Emas Disebut Sudah Capai Level Bottom, Waktunya Beli?
Foto: Ilustrasi Karyawan menunjukkan emas batangan yang dijual di Butik Emas, Sarinah, Jakarta Pusat. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia melemah cukup tajam di hari terakhir perdagangan bulan Maret, pada Selasa (31/3/2020). Sepanjang bulan ini, harga emas bergerak seperti roller coaster, naik-turun tajam dalam tempo singkat.

Pada Senin (9/3/2020), harga emas sempat melesat hingga menyentuh US$ 1.702,56/troy ons yang merupakan level tertinggi sejak Desember 2012. Namun selepas itu, emas justru terus merosot bahkan sempat menyentuh level US$ 1.450,98/troy ons pada Senin (16/3/2020) lalu.

Posisi tersebut sedikit membaik, di perdagangan Jumat (20/3/2020) emas berada di level US$ 1.497,64/troy ons. Jika dilihat dari level tertinggi 12 tahun US$ 1.702.56/troy ons, harga emas ambles lebih dari 12%.

Kemudian sepanjang pekan lalu, logam mulia ini kembali melesat lagi 8% di US$ 1.617,5/troy ons. Penguatan emas masih berlanjut Senin kemarin meski tidak terlalu besar, 0,27%. Sementara Selasa kemarin, emas ambles 3,14% ke US$ 1.571,05/troy ons di pasar spot, melansir data Refinitiv. 



Pandemi virus corona (COVID-19), serta respon negara-negara yang terpapar dengan menggelontorkan stimulus moneter dan fiskal menjadi pemicu pergerakan emas tersebut.

Melihat volatilitas tinggi yang terjadi pada emas belakangan ini, ahli strategi komoditas di Scotiabank, Nicky Shiels, mengatakan harga emas sudah mencapai level bawah (bottom) dan berpeluang mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

"Emas sudah menemukan level bottom di US$ 1.450/troy ons, dan sudah terjadi lebih awal karena respon kebijakan yang cepat dan besar dari yang pasar bisa antisipasi," kata Shiels sebagaimana dilansir Kitco.com.

Bank sentral dan negara-negara yang terdampak COVID-19 memang menggelontorkan stimulus yang besar melalui kebijakan moneter dan fiskal. Yang paling sensasional tentunya Negara Adikuasa, Amerika Serikat (AS).


Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya hingga menjadi 0-0,25%, kemudian menerapkan QE dengan nilai tanpa batas. Berapapun akan digelontorkan agar likuiditas di perekonomian AS tidak mengetat.

Kemudian, Pemerintah AS juga menggelontorkan stimulus fiskal dengan nilai jumbo. Jumat waktu AS, Presiden AS sudah menandatangani undang-undang stimulus senilai US$ 2 triliun. Angka tersebut dua kali lipat dari nilai perekonomian Indonesia.

"Emas [kemungkinan] memulai laju bullish yang lebih panjang dari 2008-2013" kata Shiels. Ia juga menjelaskan, emas akan diperdagangkan di kisaran US$ 1.700/troy ons, dan melihat "badai sempurna" dari perspektif makro ekonomi yang akan membawa emas melewati rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920/troy ons (pada September 2011).

[Gambas:Video CNBC]




Tidak hanya Scotiabank yang memprediksi emas akan mencapai rekor tertinggi. Kepala strategi global di TD Securities, Bart Melek, memprediksi emas akan ke US$ 1.800/troy ons dalam waktu dekat, bahkan tidak menutup kemungkinan ke US$ 2.000/troy ons akibat kebijakan moneter dan fiskal di AS.

"Normalisasi kondisi likuiditas, suku bunga riil negatif, dan biaya investasi yang rendah serta kekhawatiran akan depresiasi mata uang, situasinya mirip dengan periode setelah krisis finansial global (2008), yang berarti harga emas dapat menguat menuju US$ 1.800/troy ons dalam waktu dekat," tulis Melek sebagaimana dikutip Kitco.com.

Melek menambahkan penguatan menuju US$ 2.000/troy ons adalah kemungkinan lain sebelum memasuki tahun 2021, jika kondisi ekonomi global mulai normal, kebijakan moneter masih longgar serta defisit fiskal melonjak.

Jika tahun ini emas berpeluang ke US$ 2.000/US$, dalam tiga tahun ke depan logam mulia ini diprediksi ke US$ 3.000/troy ons, menurutWingCapital. Lembaga tersebut melihat stimulus fiskal pemerintah AS dapat menaikkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) dan membawa emas ke level tersebut.

"Secara historis kami melihat rasio utang terhadap PDB memiliki korelasi yang lebih besar dibandingkan dengan balance sheet [neraca] The Fed [terhadap harga emas]," tulis analis WingCapital yang dikutip Kitco.com.

Untuk saat ini, belanja masif pemerintah AS guna memerangi COVID-19 diprediksi akan membengkakkan defisit anggaran, hingga rasio utang terhadap PDB akan menyamai ketika perang dunia II ketika naik sebesar 30% tahun ini. Sementara itu, beberapa analis lainnya melihat rasio tersebut akan naik sekitar 10% sampai 14%.

Untuk diketahui, rasio utang terhadap PDB AS pada tahun 2019 mencapai 108,28% dari PDB, berdasarkan data CEIC.



Sebagai perbandingan pada tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, rasio utang terhadap PDB AS naik sekitar sebesar 8% di tahun 2008 dari tahun 2007 menjadi 72,72%.

Kemudian naik lagi 12% menjadi 85,21% di tahun 2009. Laju kenaikan tersebut mulia menurun pada tahun 2010 dan harga emas mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada September 2011, setelahnya malah terus melorot seiring melambatnya laju kenaikan rasio utang terhadap PDB AS.

"Dalam prospek harga, menggunakan panduan pasca krisis finansial 2008 ketika pasar bullish dan harga emas naik dua kali lipat 3 tahun setelahnya, menurut kami target emas jangka panjang ke US$ 3.000/troy ons menjadi masuk akal," kata analis tersebut.

"Kami melihat, pelemahan harga emas akibat faktor musiman atau kebutuhan akan likuiditas spekulator besar, akan menjadi peluang beli untuk mengakumulasi posisi jangka panjang," katanya.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular