
Ambles 13%, Rupiah Catat Kinerja Bulanan Terburuk Sejak 2008
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 March 2020 17:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah memang menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (31/3/2020), tetapi sepanjang bulan ini Mata Uang Garuda merosot tajam.
Rupiah pada perdagangan hari ini ditutup menguat 0,15% ke Rp 16.300/US$ di pasar spot melansir data Refinitiv. Namun sepanjang bulan Maret, rupiah sudah ambles 13,67%, dan menjadi pelemahan terbesar sejak Oktober 2008 ketika ambrol 14,77%.
Pandemi virus corona (COVID-19) menjadi panggal masalah buruknya kinerja rupiah. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga sore ini COVID-19 sudah "menyerang" lebih dari 170 negara, menginfeksi lebih 785.000 orang, dengan 37.686 meninggal dunia, dan lebih dari 165.000 dinyatakan sembuh.
Sementara di Indonesia, dilaporkan sebanyak 1.528 kasus positif COVID-19 dengan 136 orang meninggal dunia dan 81 dinyatakan sembuh.
Akibat pandemi banyak negara yang menerapkan karantina wilayah (lockdown) sehingga akivitas ekonomi menurun drastis, dan resesi hampir pasti terjadi.
Lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Services memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia atau G-20, akan terkontraksi tajam di tahun ini.
"Ekonomi negara G-20 akan mengalami guncangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada paruh pertama tahun ini dan akan berkontraksi pada tahun 2020 secara keseluruhan," tulis Moody's, dalam riset bertajuk Global Macro Outlook 2020-21, dikutip Kamis (26/3/2020).
Moody's memperkirakan, PBD riil sepanjang tahun 2020 dari negara-negara G-20 secara rata-rata akan minus 0,5%, jauh di bawah perkiraan pada proyeksi awal November lalu dengan estimasi pertumbuhan sebesar 2,6%.
Sementara itu, kepala ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh dan eksekutif direktur ekonomi global Sara Johnson dalam Global Economic Forecast Flash bulan Maret memberikan proyeksi jika Jepang sudah mengalami resesi, sementara AS dan Eropa akan menyusul di kuartal II-2020.
PDB AS diprediksi di tahun ini diprediksi akan berkontraksi 0,2%, zona euro 1,5% dan Jepang 0,8%. Sementara itu ekonomi China diprediksi hanya akan tumbuh 3,1%.
"Hantu" resesi yang sudah bergentayangan tersebut membuat para investor "kabur" dari negara-negara emerging market, capital outflow yang besar terjadi, dampaknya rupiah ambles di bulan ini hingga mendekati rekor terlemah sepanjang sejarah Rp 16.800/US$ yang dicapai pada 17 Juni 1998.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat memberikan update tentang kondisi perekonomian terkini siang tadi mengatakan dana asing masih pergi dari pasar Indonesia. Ia mengatakan, terjadi outflow atau aliran dana asing keluar hingga Rp 145,1 triliun.
"Terdiri dari outflow Rp 131,1 triliun di pasar SBN dan Rp 9,9 triliun di pasar saham," katanya.
Perry mengatakan, periode 20 Januari atau outbreak virus corona terjadi dana asing cukup deras mengalir keluar. Bank sentral sendiri telah melakukan buyback atau pembelian kembali SBN di pasar sekunder.
"Di mana mencapai Rp 166,2 triliun," kata Perry.
Capital outflow sepertinya masih akan terjadi, mengingat perang melawan COVID-19 masih akan berlangsung cukup lama.
China, sebagai negara asal COVID-19 sudah sukses meredam penyebaran COVID-19, bahkan negeri Tiongkok kini bukan lagi menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak.
Laju penambahan kasus COVID-19 di China sudah jauh melambat, bahkan 0 untuk transmisi local. Kasus infeksi terbaru dilaporkan dari orang-orang yang datang ke China atau kasus impor.
China perlu waktu sekitar 3 bulan untuk menjinakkan COVID-19, sementara AS yang menjadi episentrum baru diprediksi baru akan mengakhiri social distancing satu bulan ke depan.
Sementara itu, Badan Intelejen Negara (BIN) memprediksi puncak penyebaran virus corona atau Covid-19 akan terjadi pada Mei 2020. Prediksi ini didapatkan dari setelah pemerintah membuat permodelan terkait penyebaran virus corona.
"Jadi, kalau kita hitung-hitung, masa puncak itu mungkin jatuhnya di bulan Mei, berdasarkan permodelan ini. Bulan puasa, bulan puasa," ujar Deputi V BIN Afini Boer, dikutip dari detikcom beberapa waktu lalu.
"Di Indonesia sebetulnya bekerja sama dengan beberapa pihak, itu sama juga membuat permodelan dari data yang sudah ada. Dari permodelan yang ada, kita memperkirakan bahwa masa puncak di Indonesia itu akan berlaku 60-80 hari sejak infeksi pertama itu diumumkan tanggal 2 Maret," kata dia.
Prediksi dari BIN tersebut nyaris sama dengan lamanya waktu yang diperlukan China hingga berhasil menekan penyebaran COVID-19.
Berkaca dari hal tersebut, upaya Indonesia untuk menaklukan COVID-19 tentunya masih cukup lama, dan rupiah masih belum bisa lepas dari tekanan, dan tidak menutup kemungkinan akan melampaui rekor terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$.
Apalagi, dengan pandemi COVID-19 yang sudah menjangkiti hampir semua negara, para investor dikatakan akan lebih melirik negara berhasil mengatasi penyebaran COVID-19.
"Kemerosotan ekonomi terjadi dimana-mana saat ini, jadi sejauh itu, kita akan melihat perdagangan berdasarkan perbedaan penangangan virus corona ketimbang perbedaan yield" kata Stephen Innes, kepala strategi pasar global di AxuCorp.
"Investor saat ini membeli mata uang negara yang mampu mengatasi virus corona lebih cepat dengan berbagai langkah yang diambil untuk menghentikan penyebarannya" tambah Innes.
Guna memerangi COVID-19, Presiden Joko Widodo menggelontorkan stimulus senilai Rp 405,1 triliun yang akan digunakan untuk dana kesehatan Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial atau sosial safety net (SSN) Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun
Termasuk Rp 150 triliun yang dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
"Termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi," jelas Jokowi, Selasa (31/3/2020).
Dengan stimulus tersebut, harapannya penyebaran COVID-19 bisa diredam dan meminimalisir dampaknya ke perekonomian. Semakin cepat virus ini dihentikan, rupiah akan kembali perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Rupiah pada perdagangan hari ini ditutup menguat 0,15% ke Rp 16.300/US$ di pasar spot melansir data Refinitiv. Namun sepanjang bulan Maret, rupiah sudah ambles 13,67%, dan menjadi pelemahan terbesar sejak Oktober 2008 ketika ambrol 14,77%.
Pandemi virus corona (COVID-19) menjadi panggal masalah buruknya kinerja rupiah. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga sore ini COVID-19 sudah "menyerang" lebih dari 170 negara, menginfeksi lebih 785.000 orang, dengan 37.686 meninggal dunia, dan lebih dari 165.000 dinyatakan sembuh.
Akibat pandemi banyak negara yang menerapkan karantina wilayah (lockdown) sehingga akivitas ekonomi menurun drastis, dan resesi hampir pasti terjadi.
Lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Services memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia atau G-20, akan terkontraksi tajam di tahun ini.
"Ekonomi negara G-20 akan mengalami guncangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada paruh pertama tahun ini dan akan berkontraksi pada tahun 2020 secara keseluruhan," tulis Moody's, dalam riset bertajuk Global Macro Outlook 2020-21, dikutip Kamis (26/3/2020).
Moody's memperkirakan, PBD riil sepanjang tahun 2020 dari negara-negara G-20 secara rata-rata akan minus 0,5%, jauh di bawah perkiraan pada proyeksi awal November lalu dengan estimasi pertumbuhan sebesar 2,6%.
Sementara itu, kepala ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh dan eksekutif direktur ekonomi global Sara Johnson dalam Global Economic Forecast Flash bulan Maret memberikan proyeksi jika Jepang sudah mengalami resesi, sementara AS dan Eropa akan menyusul di kuartal II-2020.
PDB AS diprediksi di tahun ini diprediksi akan berkontraksi 0,2%, zona euro 1,5% dan Jepang 0,8%. Sementara itu ekonomi China diprediksi hanya akan tumbuh 3,1%.
"Hantu" resesi yang sudah bergentayangan tersebut membuat para investor "kabur" dari negara-negara emerging market, capital outflow yang besar terjadi, dampaknya rupiah ambles di bulan ini hingga mendekati rekor terlemah sepanjang sejarah Rp 16.800/US$ yang dicapai pada 17 Juni 1998.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat memberikan update tentang kondisi perekonomian terkini siang tadi mengatakan dana asing masih pergi dari pasar Indonesia. Ia mengatakan, terjadi outflow atau aliran dana asing keluar hingga Rp 145,1 triliun.
"Terdiri dari outflow Rp 131,1 triliun di pasar SBN dan Rp 9,9 triliun di pasar saham," katanya.
Perry mengatakan, periode 20 Januari atau outbreak virus corona terjadi dana asing cukup deras mengalir keluar. Bank sentral sendiri telah melakukan buyback atau pembelian kembali SBN di pasar sekunder.
"Di mana mencapai Rp 166,2 triliun," kata Perry.
Capital outflow sepertinya masih akan terjadi, mengingat perang melawan COVID-19 masih akan berlangsung cukup lama.
China, sebagai negara asal COVID-19 sudah sukses meredam penyebaran COVID-19, bahkan negeri Tiongkok kini bukan lagi menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak.
Laju penambahan kasus COVID-19 di China sudah jauh melambat, bahkan 0 untuk transmisi local. Kasus infeksi terbaru dilaporkan dari orang-orang yang datang ke China atau kasus impor.
China perlu waktu sekitar 3 bulan untuk menjinakkan COVID-19, sementara AS yang menjadi episentrum baru diprediksi baru akan mengakhiri social distancing satu bulan ke depan.
Sementara itu, Badan Intelejen Negara (BIN) memprediksi puncak penyebaran virus corona atau Covid-19 akan terjadi pada Mei 2020. Prediksi ini didapatkan dari setelah pemerintah membuat permodelan terkait penyebaran virus corona.
"Jadi, kalau kita hitung-hitung, masa puncak itu mungkin jatuhnya di bulan Mei, berdasarkan permodelan ini. Bulan puasa, bulan puasa," ujar Deputi V BIN Afini Boer, dikutip dari detikcom beberapa waktu lalu.
"Di Indonesia sebetulnya bekerja sama dengan beberapa pihak, itu sama juga membuat permodelan dari data yang sudah ada. Dari permodelan yang ada, kita memperkirakan bahwa masa puncak di Indonesia itu akan berlaku 60-80 hari sejak infeksi pertama itu diumumkan tanggal 2 Maret," kata dia.
Prediksi dari BIN tersebut nyaris sama dengan lamanya waktu yang diperlukan China hingga berhasil menekan penyebaran COVID-19.
Berkaca dari hal tersebut, upaya Indonesia untuk menaklukan COVID-19 tentunya masih cukup lama, dan rupiah masih belum bisa lepas dari tekanan, dan tidak menutup kemungkinan akan melampaui rekor terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$.
Apalagi, dengan pandemi COVID-19 yang sudah menjangkiti hampir semua negara, para investor dikatakan akan lebih melirik negara berhasil mengatasi penyebaran COVID-19.
"Kemerosotan ekonomi terjadi dimana-mana saat ini, jadi sejauh itu, kita akan melihat perdagangan berdasarkan perbedaan penangangan virus corona ketimbang perbedaan yield" kata Stephen Innes, kepala strategi pasar global di AxuCorp.
"Investor saat ini membeli mata uang negara yang mampu mengatasi virus corona lebih cepat dengan berbagai langkah yang diambil untuk menghentikan penyebarannya" tambah Innes.
Guna memerangi COVID-19, Presiden Joko Widodo menggelontorkan stimulus senilai Rp 405,1 triliun yang akan digunakan untuk dana kesehatan Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial atau sosial safety net (SSN) Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun
Termasuk Rp 150 triliun yang dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
"Termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi," jelas Jokowi, Selasa (31/3/2020).
Dengan stimulus tersebut, harapannya penyebaran COVID-19 bisa diredam dan meminimalisir dampaknya ke perekonomian. Semakin cepat virus ini dihentikan, rupiah akan kembali perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/hps) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular