Minyak Jadi Aset Paling Amsyong, Apa yang Masih Bisa Cuan?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 March 2020 11:04
Minyak Jadi Aset Paling Amsyong, Apa yang Masih Bisa Cuan?
Ilustrasi Pengeboran Minyak (REUTERS/Nick Oxford)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (COVID-19) menjadi isu utama bagi pelaku pasar dalam dua bulan terakhir, bahkan mungkin akan berlanjut hingga kuartal II-2019. Pandemi yang berasal dari kota Wuhan, provinsi Hubei, China ini sudah "menyerang" lebih dari 200 negara, menginfeksi nyaris 785.000 orang, dengan 37.638 meninggal dunia, dan lebih dari 165.000 dinyatakan sembuh, berdasarkan data Johns Hopkins CSSE per pagi ini.

China sendiri sudah sukses meredam penyebaran COVID-19, bahkan negeri Tiongkok kini bukan lagi menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak.
Laju penambahan kasus COVID-19 di China sudah jauh melambat, bahkan 0 untuk transmisi local. Kasus infeksi terbaru dilaporkan dari orang-orang yang datang ke China atau kasus impor.

Amerika Serikat (AS) kini menjadi episentrum baru penyebaran COVID-19. Hingga pagi ini tercatat jumlah kasus sebanyak 163.429 kasus, disusul Italia 101.739 kasus, kemudian Spanyol 87.956 kasus. China berada ditempat ke empat dengan jumlah kasus sebanyak 82.199 kasus.



Banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) guna meredam penyebaran virus corona, sehingga aktivitas ekonomi merosot tajam. Akibatnya, perekonomian global melambat signifikan, resesi di beberapa negara bukan lagi kemungkinan, tetapi pasti.

Lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Services memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia atau G-20, akan terkontraksi tajam di tahun ini.

"Ekonomi negara G-20 akan mengalami guncangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada paruh pertama tahun ini dan akan berkontraksi pada tahun 2020 secara keseluruhan," tulis Moody's, dalam riset bertajuk Global Macro Outlook 2020-21, dikutip Kamis (26/3/2020).

Moody's memperkirakan, PBD riil sepanjang tahun 2020 dari negara-negara G-20 secara rata-rata akan minus 0,5%, jauh di bawah perkiraan pada proyeksi awal November lalu dengan estimasi pertumbuhan sebesar 2,6%.


Kepala Ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh dan eksekutif direktur ekonomi global Sara Johnson dalam Global Economic Forecast Flash bulan Maret memberikan proyeksi jika Jepang sudah mengalami resesi, sementara AS dan Eropa akan menyusul di kuartal II-2020.

PDB AS diprediksi di tahun ini diprediksi akan berkontraksi 0,2%, zona euro 1,5% dan Jepang 0,8%. Sementara itu ekonomi China diprediksi hanya akan tumbuh 3,1%.

Buruknya proyeksi pertumbuhan ekonomi global tersebut membuat pasar bergejolak, berbagai instrumen portofolio investasi ambles,

Harga minyak mentah menjadi yang paling terpukul akibat pandemi COVID-19. Ketika dunia mengalami resesi, itu artinya aktivitas ekonomi menurun drastis. Kala aktivitas ekonomi terkontraksi, permintaan akan minyak mentah tentunya menurun drastis.

Sejak pandemi COVID-19 hingga Jumat (27/3/2020) harga minyak mentah jenis Brent ambles lebih dari 60% hingga mencapai level terendah dalam lebih dari 17 tahun terakhir. Penurunan harga minyak mentah masih terus berlanjut, pada Selasa (31/3/2020) pagi minyak mentah jenis Brent berada di kisaran US$ 23/barel, menjadi level terendah sejak 2002. 

Memang COVID-19 yang mempengaruhi demand tidak bisa sepenuhnya disalahkan, dari sisi suplai juga berperan akan kejatuhan harga si emas hitam.
Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang dipimpin Arab Saudi bersama dengan Rusia dan beberapa negara lainnya, yang disebut OPEC+, beberapa tahun terakhir menerapkan kebijakan pembatasan jumlah produksi guna mengangkat harga minyak mentah.

Tetapi di awal bulan ini OPEC+ gagal mencapai kata sepakat untuk membatasi tingkat produksi. Menteri Energi Rusia, Alexander Novak mengatakan meninggalkan pertemuan OPEC+ di Wina Austria, yang berarti Rusia bebas untuk memproduksi minyak mentah seberapapun besarnya mulai tanggal 1 April.

Itu artinya, saat permintaan menurun drastis, suplai juga malah meningkat, minyak mentah mendapat pukulan bertubi-tubi, harganya pun ambles.

COVID-19 Bikin Minyak Ambles 60% Lebih, Emas Bisa Cuan JumboFoto: Refinitiv

Tidak hanya minyak mentah, hampir semua komoditas ambles sepanjang tahun ini akibat COVID-19. Hal tersebut tercermin dari penurunan indeks Commodity Research Bureau (CRB). Indek CRB dibentuk dari 19 komoditas, dengan 39% komoditas sektor energy, 41% sektor agrikultur, 7% logam mulia, dan 13% logam industri.

Berdasarkan data Reuters, sejak virus corona mulai memicu kecemasan di pasar pada 20 Januari lalu, hingga Jumat pekan lalu, indeks CRB sudah ambles 32,1% dan secara year-to-date (YTD) merosot 33,1%.


Selain komoditas, pasar saham global juga dibuat babak belur oleh COVID-19. Pada periode yang sama, indeks S&P 500 di bursa saham AS ambles 23,4%, dan 21% secara YTD.

Sebagai kiblat bursa saham global, amblesnya bursa saham AS tentunya diikuti bursa saham di benua lainnya. Indeks Nikkei Jepang yang mewakili Asia merosot 18% pada periode 20 Januari - 27 Maret, dan 17,7% secara YTD. Dari Eropa, indeks FTSE 100 Inggris pada periode yang sama merosot 31,5% dan 31,7% YTD.

Jika bursa saham negara-negara maju mengalami aksi jual, negara emerging market jangan harap bisa lolos. Indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) emerging market, yang mengukur kinerja bursa saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pada periode tersebut ambles 20,5% dan 24,4%.

Nyaris semua instrumen investasi ambles, hanya segilintir yang menghasilkan cuan saat pandemi COVID-19.


Ketika nyaris semua instrumen investasi ambles, ke mana larinya duit para pelaku pasar? 

Berdasarkan data dari Reuters di halaman sebelumnya, obligasi (Treasury) AS menjadi aset yang paling diburu pelaku pasar. Harga Treasury AS melesat 12% pada periode 20 Januari - 27 Maret lalu. Sementara secara YTD sebesar 12,9%. 

Kenaikan tajam harga Treasury tentunya membuat imbal hasil (yield) yang diperoleh dari investasi tersebut semakin mengecil. Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harga. Ketika harga naik yield akan menurun, sebaliknya ketika harga turun yield akan naik. 

Yield Treasury AS tenor 10 tahun saat ini berada di level 0.7075, masih belum jauh dari rekor terendah sepanjang masa 0,318% yang dicapai pada 9 Maret lalu. Yield yang kurang dari 1% tentunya memberikan keuntungan yang sangat tipis, tetapi dalam kondisi seperti sekarang, dengan ancaman resesi, pelaku pasar sepertinya tidak mementingkan cuan, yang paling penting duit aman. 

Selain Treasury AS, emas juga bersinar terang di awal tahu ini. Emas merupakan salah satu aset yang menyandang status safe haven, sehingga wajar jika melesat naik ketika "hantu" resesi gentayangan kembali. 

Pada periode yang sama dengan kenaikan Treasury AS, harga emas dunia menguat 4,2% dan secara YTD sudah naik 7%. Emas bisa berpotensi menjadi investasi yang paling menjanjikan mengingat harganya diprediksi akan terus meningkat akibat gelontoran stimulus moneter dan fiskal diberbagai negara, bahkan sangat agresif di negara-negara maju. 

Bank Sentral AS misalnya, yang membabat habis suku bunga acuannya hingga 0-0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas. 

Kemudian Pemerintah AS menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun, yang menjadi terbesar sepanjang sejarah. Nilai tersebut dua kali lipat dari nilai ekonomi Indonesia. Semua itu dilakukan guna memerangi COVID-19. 

Akibat kebijakan tersebut, harga emas diprediksi setidaknya ke US$ 1.800/troy ons di tahun ini oleh kepala strategi global di TD Securities, Bart Melek. Bahkan tidak menutup kemungkinan ke US$ 2.000/troy ons. Sebagai informasi, pagi ini harga emas dunia berada di kisaran US$ 1.612/troy ons. 

"Normalisasi kondisi likuiditas, suku bunga riil negatif, dan biaya investasi yang rendah serta kekhawatiran akan depresiasi mata uang, situasinya mirip dengan periode setelah krisis finansial global (2008), yang berarti harga emas dapat menguat menuju US$ 1.800/troy ons dalam waktu dekat" tulis Melek sebagaimana dikutip Kitco.com. 

Melek menambahkan penguatan menuju US$ 2.000/troy ons adalah kemungkinan lain sebelum memasuki tahun 2021, jika kondisi ekonomi global mulai normal, kebijakan moneter masih longgar serta defisit fiskal melonjak.


Jika tahun ini emas berpeluang ke US$ 2.000/US$, dalam tiga tahun ke depan logam mulia ini diprediksi ke US$ 3.000/troy ons oleh analis dari analis WingCapital. Analis tersebut melihat stimulus fiskal pemerintah AS yang dapat menaikkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) akan membawa emas ke level tersebut. 

"Secara historis kami melihat rasio utang terhadap PDB memiliki korelasi yang lebih besar dibandingkan dengan balance sheet [neraca] The Fed [terhadap harga emas]," tulis analis WingCapital yang dikutip Kitco.com.

Untuk saat ini, belanja masif pemerintah AS guna memerangi COVID-19 diprediksi akan membengkakkan defisit anggaran, hingga rasio utang terhadap PDB akan menyamai ketika perang dunia II ketika naik sebesar 30% tahun ini. Sementara itu, beberapa analis lainnya melihat rasio tersebut akan naik sekitar 10% sampai 14%.



Untuk diketahui, saat ini rasio utang terhadap PDB AS pada tahun 2019 mencapai 108,28% dari PDB, berdasarkan data CEIC. Sebagai perbandingan pada tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, rasio utang terhadap PDB AS naik sekitar sebesar 8% di tahun 2008 dari tahun 2007 menjadi 72,72%. Kemudian naik lagi 12% menjadi 85,21% di tahun 2009. Laju kenaikan tersebut mulia menurun pada tahun 2010 dan harga emas mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada September 2011, setelahnya malah terus melorot seiring melambatnya laju kenaikan rasio utang terhadap PDB AS.

"Dalam prospek harga, menggunakan panduan pasca krisis finansial 2008 ketika pasar bullish dan harga emas naik dua kali lipat 3 tahun setelahnya, menurut kami target emas jangka panjang ke US$ 3.000/troy ons menjadi masuk akal" kata analis tersebut.

"Kami melihat, pelemahan harga emas akibat faktor musiman atau kebutuhan akan likuiditas spekulator besar, akan menjadi peluang beli untuk mengakumulasi posisi jangka panjang" katanya.

Jika harga emas dunia melesat naik, maka harga emas produksi PT Aneka Tambang Tbk. atau emas batangan Antam juga akan terkerek. Harga emas dunia merupakan salah satu acuan penentuan harga emas Antam. 

Satu troy ons, mengacu aturan di pasar, setara dengan 31,1 gram, sehingga besaran US$ 1.800 per troy ounce dikonversi dengan membagi angka tersebut dengan 31,1 gram, hasilnya US$ 57,87 per gram. Dengan asumsi kurs rupiah Rp 16.000/US$, maka prediksi harga emas tahun ini bisa menembus Rp 926.045/gram.

Dengan perhitungan yang sama, jika harga emas mencapai US$ 2.000/troy ons maka harga per gramnya Rp 1,028 juta, sementara jika emas ke US$ 3.000/troy itu ons, harga per gramnya menjadi Rp 1,54 juta. 

Perhitungan tersebut belum memasukkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga emas Antam, sehingga tentunya masih bisa lebih tinggi lagi. 
Sebagai informasi, harga emas Antam batangan 100 gram yang kerap dijadikan acuan hari ini dibanderol Rp 875.000/gram.

Jika prediksi kenaikan harga emas dunia tersebut terjadi, tentunya harga emas Antam akan ikut terkerek naik. Pada saat COVID-19 "menghancurkan" instrument investasi lainnya, emas menjadi salah satu yang bersinar. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular