
Derita Rupiah: Dulu Juara Dunia, Sekarang Bukan Siapa-siapa
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 March 2020 11:29

Sayangnya, sentimen eksternal membuat hot money itu memilih pergi. Adalah virus corona yang menciptakan hawa negatif di pasar keuangan dunia.
Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Namun dampaknya ke perekonomian juga tidak bisa dikesampingkan.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 09:27 WIB, jumlah pasien coona di seluruh dunia mencapai 785.709 orang. Dari jumlah tersebut, 37.686 orang meninggal dunia. Virus ini sudah menyebar ke hampir seluruh negara di dunia, praktis sudah sangat sulit mencari tempat yang aman.
Untuk meredam penyebaran virus, berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Karantina wilayah alias lockdown menjadi hal yang lumrah ditemui.
Di beberapa negara seperti India dan Filipina, pemerintah memberlakukan lockdown total. Tidak ada transportasi publik yang beroperasi, warga sama sekali tidak boleh keluar rumah kecuali untuk urusan yang sangat mendesak.
Pembatasan aktivitas publik bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, karena penyebaran virus disebabkan oleh aktivitas dan interaksi manusia. Namun kebijakan ini membuat roda perekonomian berjalan lambat.
Oleh karena itu, resesi ekonomi global sepertinya sudah di depan mata. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) menilai saat ini dunia sudah masuk ke jurang resesi.
"Kami telah mengkaji ulang prospek pertumbuhan ekonomi 2020 dan 2021. Sekarang sudah jelas bahwa kita sudah memasuki resesi, sama atau bahkan lebih parah dibandingkan 2009.
"Kami memperkirakan ada pemulihan pada 2021, bahkan mungkin dalam kisaran yang lumayan tinggi. Syaratnya, kita harus sukses meredam penyebaran virus ini di mana pun dan kita mampu mencegah masalah likuiditas agar tidak melebar menjadi isu penyelamatan (solvancy)," ungkap Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, dalam keterangan pers usai pertemuan International Monetary and Financial Committee (IMFC).
Dibayangi oleh risiko resesi yang semakin tinggi, investor pun menerapkan 'social distancing' dari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Akibatnya, rupiah pun melemah karena kekurangan 'darah'.
Investor kini memilih menyelamatkan uangnya ke aset-aset yang dinilai aman (safe haven assets). Obligasi pemerintah AS menjadi pilihan pertama, dan emas di urutan kedua. Permintaan yang tinggi terhadap aset-aset ini membuat harganya melambung.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Namun dampaknya ke perekonomian juga tidak bisa dikesampingkan.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 09:27 WIB, jumlah pasien coona di seluruh dunia mencapai 785.709 orang. Dari jumlah tersebut, 37.686 orang meninggal dunia. Virus ini sudah menyebar ke hampir seluruh negara di dunia, praktis sudah sangat sulit mencari tempat yang aman.
Untuk meredam penyebaran virus, berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Karantina wilayah alias lockdown menjadi hal yang lumrah ditemui.
Di beberapa negara seperti India dan Filipina, pemerintah memberlakukan lockdown total. Tidak ada transportasi publik yang beroperasi, warga sama sekali tidak boleh keluar rumah kecuali untuk urusan yang sangat mendesak.
Pembatasan aktivitas publik bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, karena penyebaran virus disebabkan oleh aktivitas dan interaksi manusia. Namun kebijakan ini membuat roda perekonomian berjalan lambat.
Oleh karena itu, resesi ekonomi global sepertinya sudah di depan mata. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) menilai saat ini dunia sudah masuk ke jurang resesi.
"Kami telah mengkaji ulang prospek pertumbuhan ekonomi 2020 dan 2021. Sekarang sudah jelas bahwa kita sudah memasuki resesi, sama atau bahkan lebih parah dibandingkan 2009.
"Kami memperkirakan ada pemulihan pada 2021, bahkan mungkin dalam kisaran yang lumayan tinggi. Syaratnya, kita harus sukses meredam penyebaran virus ini di mana pun dan kita mampu mencegah masalah likuiditas agar tidak melebar menjadi isu penyelamatan (solvancy)," ungkap Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, dalam keterangan pers usai pertemuan International Monetary and Financial Committee (IMFC).
Dibayangi oleh risiko resesi yang semakin tinggi, investor pun menerapkan 'social distancing' dari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Akibatnya, rupiah pun melemah karena kekurangan 'darah'.
Investor kini memilih menyelamatkan uangnya ke aset-aset yang dinilai aman (safe haven assets). Obligasi pemerintah AS menjadi pilihan pertama, dan emas di urutan kedua. Permintaan yang tinggi terhadap aset-aset ini membuat harganya melambung.
![]() |
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular