Pasar Saham Bak Roller Coaster, Terus Investor Harus Gimana?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
18 March 2020 15:32
Pasar Saham Bak Roller Coaster, Terus Investor Harus Gimana?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Jumat 28/2/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak dari pandemi virus corona (COVID-19) ke pasar memang signifikan. COVID-19 sukses membuat pasar dilanda kepanikan dan jadi kacau balau seperti sekarang ini.

Dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan (78 hari tepatnya), COVID-19 yang awalnya bermula di Wuhan, China, kini menjadi wabah yang ditakuti seluruh dunia. Dalam waktu yang singkat itu 152 negara dan teritori telah terjangkit wabah yang menyerang sistem pernapasan manusia ini.

Data kompilasi John Hopkins University CSSE menujukkan jumlah kasus infeksi COVID-19 per hari ini sudah mendekati angka 200 ribu. Sudah hampir 8.000 nyawa orang melayang karena infeksi patogen ganas ini.


Banyak yang meramal, kehadiran musuh tak kasat mata ini bisa membawa perekonomian global jatuh ke dalam jurang resesi. Masalahnya kasus ini bukan lagi menyerang sistem keuangan seperti krisis yang sudah-sudah.

Wabah ini adalah tragedi kemanusiaan yang dampaknya meluas ke pasar keuangan dan perekonomian. Mengacu pada kajian Organization of Economic Cooperation & Development (OECD), pertumbuhan ekonomi global pada 2020 hanya sebesar 2,4% saja.

OECD merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonominya pada 2020. Pada November lalu OECD meramal ekonomi global tumbuh 2,9% pada tahun ini. Namun Maret lalu, OECD merevisi turun proyeksi tersebut sebesar 50 basis poin.



Faktor ini membuat optimisme konsumen, sektor bisnis hingga pasar keuangan menjadi semakin meredup. Tekanan ini membuat pasar saham global cedera parah. Dampak COVID-19 memang tidak bisa diremehkan.

Panic selling terjadi di pasar saham mana pun, baik di negara maju maupun emerging market. Tekanan jual yang masif ini telah membuat mayoritas indeks bursa saham utama global anjlok lebih dari 15% sejak awal tahun.



Pasar sudah jatuh dalam. Namun 'lantai dasarnya' masih belum kelihatan. Pasar bergerak dengan volatilitas yang sangat tinggi. Apalagi setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi.

Cuma ada satu kata yang dapat menggambarkan kondisi pasar setelah itu. Panik! Tekanan jual yang terjadi semakin hebat. Saking hebatnya Wall Street langsung memasuki periode bearish-nya setelah terkoreksi lebih dari 20% dari rekor tertingginya.

Masih kurang juga, Wall Street juga diganjar dengan tragedi 'Black Monday' yang terulang lagi Senin kemarin (16/3/2020). Ya, Wall Street cedera parah kala itu. Dow Jones anjlok 12,9% dalam sehari dan menandai koreksi harian terdalam sejak 19 Oktober 1987 atau yang dikenal dengan istilah 'Black Monday'.


Saking paniknya, pasar sudah dipenuhi dengan irasionalitas. Mr. Market sekarang sudah tak peduli lagi pada fundamental dari saham. Saham dengan kapitalisasi pasar raksasa yang berfundamental juga diobral murah. Alhasil kapitalisasi pasarnya rontok.


[Gambas:Video CNBC]



Pasar sudah berubah menjadi arena roller coaster. Volatilitasnya sangat tinggi. Hari ini diangkat signifikan, besok langsung jatuh tersungkur. CBOE Equity Volatility Index yang mengukur tingkat ketakutan di pasar sempat mencapai level tertingginya dan melampui rekor tertinggi sebelumnya pada 2008.



Artinya pasar terutama pasar saham sedang diliputi dengan ketakutan yang luar biasa. Di saat-saat seperti ini, Aset-aset minim risiko seperti logam mulia emas dan surat utang pemerintah AS yang tadinya diburu justru ikut dilego.

Sebelum disahkan sebagai pandemi, emas masih bertengger di level tertingginya pada 9 Maret 2020 lalu. Kala itu harga emas berada di US$ 1.679/troy ons. Nyaris menyentuh level psikologis US$ 1.700/troy ons.

Namun setelah COVID-19 resmi jadi pandemi, harga emas langsung terjun bebas dan anjlok hingga 10%. Anjloknya harga emas di saat-saat genting seperti ini membuat orang jadi bertanya-tanya apakah emas bukan lagi aset safe haven.

Emas yang sudah cuan harus rela dilikuidasi untuk menutup margin calls dan kerugian pada investasi lain seperti saham. Peran emas kini sedikit berubah menjadi sumber likuiditas ketimbang aset safe haven.

Perilaku aset safe haven lain juga menunjukkan pola yang sama. Sebelum COVID-19 disahkan jadi pandemi, surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun masih diburu. Hal ini terlihat dari adanya penurunan imbal hasil (yield).

Pada instrumen investasi yang berbasis utang, harga dan yield berbanding terbalik. Ketika harga naik, yield turun. Begitu juga sebaliknya. Yield obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun sempat menyentuh level terendahnya sepanjang sejarah hingga menyentuh angka 0,5%.

Namun pandemi COVID-19 membuyarkan itu semua. Investor lari tunggang langgang dan melego surat utang pemerintah AS itu. Hal ini tercermin dari kenaikan yield yang mengindikasikan adanya penurunan harga. Penurunan harga sendiri menjadi indikator terjadinya tekanan jual.



Semua orang takut wabah ini akan membawa skenario terburuk bagi perekonomian global. Hantu resesi yang dikira sudah pamit undur diri sejak interim trade deal antara Washington-Beijing pertengahan Januari lalu, kini menampakkan diri lagi. Bahkan menjadi sosok yang lebih terlihat jelas. Dengan terus merebaknya COVID-19 berbagai negara di dunia sudah mengambil kebijakan lockdown. Hal ini membuat orang-orang menjadi lebih memilih cash atau uang tunai sebagai asetnya. Mau bagaimana lagi, kalau lockdown dan likuiditas seret kan bisa amsyong.

Di satu sisi, lockdown dilakukan untuk mengurangi transmisi penularan virus dan untuk menekan agar jumlah kasus tidak bertambah banyak. Namun jika lockdown tidak dipersiapkan dengan matang, konsekuensinya bisa sangat mengerikan.

Mulai dari kelangkaan pasokan kebutuhan pokok dan medis hingga hilangnya penghasilan dan pekerjaan. Ketika pasokan kebutuhan pokok jadi langka, harganya akan melejit. Inflasi akan mencekik dan ujung-ujungnya cash yang ada di tangan juga jadi tak berharga.

Mengerikan memang. Semoga saja ini tak terjadi. Nah, sekarang pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana investor saat ini harus mengambil langkah? Kapan pasar akan kembali bergairah?

Walau sudah anjlok signifikan, tetapi dasar/bottom dari periode koreksi yang terjadi saat ini masih belum terlihat jelas. Banyak yang berpendapat bahwa kejutan The Fed justru membuat investor jadi semakin panik dan melihat risiko yang besar akibat wabah ini. Mislav Matejka, kepala Global Equity Strategy di JP Morgan mengatakan ada beberapa syarat untuk pasar bisa reli berkelanjutan.

“Kita akan melihat reli berkelanjutan jika 1) ada stimulus fiskal yang agresif dan 2) masalah utamanya yakni wabah virus secara jelas menunjukkan tanda-tanda mencapai puncaknya” kata Matejka, melansir CNBC International.

Sebenarnya untuk poin yang pertama, berbagai negara sudah menyiapkan stimulus fiskal. Terkait apakah signifikan atau tidak tiap negara tentu berbeda-beda pertimbangannya. Salah satu pertimbangan untuk memberikan stimulus fiskal tentu adalah defisit anggaran.

Dari Paman Sam sendiri, Donald Trump selaku Presiden sudah mencoba mengabulkan permintaan pasar. Melalui Menteri Keuangganya, Steven Mnuchin, AS sedang merencanakan paket stimulus fiskal yang nilanya mencapai US$ 1 triliun.

NegaraFiskalMoneter
AustraliaRencana paket stimulus ekonomi senilai US$ 17,6 miliar (bantuan tunai US$ 750 untuk ~6 juta warga Australia berpenghasilan rendah, US$ 6,7 miliar untuk gaji pegawai, US$ 4 miliar untuk insentif investasi, US$ 1,2 miliar untuk program magang & US$ 1 miliar untuk sektor pariwisataReserves Bank of Australia (RBA) memangkas suku bunga acuan 25 bps ke level terendah 0,5%
JepangJepang sedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi sebesar US$189 miliar untuk diberikan pada rumah tangga serta memberikan subsidi untuk perusahaan di sektor pariwisata yang terdampak COVID-19Bank of Japan (BoJ) bersiap untuk membeli US$ 1,88 miliar surat utang pemerintah bertenor 10 tahun dan akan menyuntikkan likuiditas ke pasar senilai JPY 1,5 triliun
InggrisSedang mempersiapkan paket stimulus ekonomi senilai GBP 30 miliar (US$ 39 miliar) dengan alokasi sebesar GBP 7 miliar untuk warga dan sektor bisnis, GBP 5 miliar untuk sektor kesehatan publik dan sisanya dialokasikan untuk pengeluaran pemerintah tahun iniBank of England (BoE) memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps ke level 0,25%
Amerika SerikatRencana paket stimulus US$ 1 triliun termasuk untuk bantuan tunai bagi warga AS demi menjaga daya beli dan meredam dampak COVID-19 pada ekonomi ASThe Federal Reserves memangkas Federal Fund Rates (FFR) 50 bps ke rentang 1-1,25%
IndonesiaPemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 10 triliun (US$ 718 juta) untuk sektor-setor yang terdampak wabah COVID-19. Selain itu pemerintah juga melakukan relaksasi pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) 25 bps ke level 4,75% dan menurunkan GWM rupiah sebesar 50 bps dan GWM valas menjadi 4% dari DPK untuk bank yang beriorientasi kegiatan ekspor impor
Sumber : Brown County Democrat, Financial Times, Guardian, Straits Times, CNBC Indonesia Research

Paket stimulus ini nantinya sebagian akan dialokasikan untuk ditransfer dalam bentuk tunai ke warga AS untuk tetap menjaga daya beli ketika dalam kondisi genting seperti sekarang ini.

Pagi tadi, pasar memang sempat merespons positif kabar tersebut. Tiga indeks utama bursa saham New York, menguat lebih dari 5% setelah anjlok dalam pada perdagangan sebelumya.

Namun baru sehari berselang ada indikasi Wall Street akan kembali runtuh. Pada pukul 15.00 WIB, indeks futures Dow Jones telah anjlok dan memerah lagi. Aduh biyung....

Masalahnya sekarang ada di perkembangan kasus. Lonjakan kasus baru masih mungkin akan terjadi. Sehingga pasar sekarang sedang sangat menghindari risiko (risk off). Orang jadi enggan untuk masuk pasar terlebih dulu.

Situasinya memang rumit. Tak ada kata lain yang tepat selain sabar. Investor harus lebih bersabar dan terus memantau perkembangan kasus wabah yang jadi tragedi kemanusiaan dekade ini. Well, jangan lupa juga untuk siapkan likuiditas yang cukup. Bagaimanapun juga sedia payung sebelum hujan adalah opsi terbaik.






TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular