
Bursa Filipina Ditutup karena Corona, Bursa RI Perlukah?
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
18 March 2020 15:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Corona telah mengguncang perekonomian global, termasuk bursa saham. Hampir seluruh bursa saham dunia anjlok karena kepanikan yang tidak terhindarkan yang memicu aksi jual besar-besaran.
Filipina, pada Selasa (17/3/2020) menjadi negara pertama yang mengumumkan penutupan perdagangan pasar saham, setelah bursa acuan di negara tersebut anjlok lebih dari 30% sejak awal tahun ini. Penghentian ini juga berlaku bagi pasar mata uang dan pasar surat utang.
Apa yang terjadi di Filipina bisa saja terjadi di Indonesia bila situasi kian memburuk. Hal ini disampaikan Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Octavianus Budiyanto.
Kepada CNBC Indonesia, Oky menjelaskan, opsi penutupan perdagangan bisa menjadi opsi pamungkas bisa situasi di dalam negeri betul-betul sudah tidak kondusif dan jika terjadi penurunan indeks harga saham acuan yang sangat signfikan.
"Saya rasa itu pilihan terakhir yang dengan sangat terpaksa dilakukan untuk meredam pasar. Dan penutupan ini tidak kita harapkan karena menyangkut image dari pasar modal Indonesia," terang Oky, kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/3/2020).
Berpendapat senada, Head of Research PT Samuel Sekuritas menilai, opsi penutupan perdagangan saham belum perlu dilakukan karena dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini hanya akan menunda penurunan saja.
"Penurunan bursa saham di Eropa juga sudah di atas 20%. Ini lebih kepada fenomena global," kata Suria Dharma.
Bila dilihat secara regional, penurunan bursa saham domestik masih sedikit lebih baik dari bursa Thailand secara year to date dengan pelemahan 29,25%. Thailand bahkan sudah melemah 34.15% tapi belum sampai menutup perdagangan saham.
Sementara itu, Head of Research PT MNC Sekuritas, Edwin Sebayang, saat dihubungi CNBC Indonesia menilai, penurunan indeks Harga Saham Gabungan adalah hal yang wajar terjadi di tengah pandemi.
Hanya saja, opsi 'lockdown' di pasar saham dalam negeri bukan langkah tepat untuk saat ini. Apalagi, bursa saham menganut prinsip perdagangan berdasarkan mekanisme pasar, adanya intervensi yang berlebihan bisa berpotensi menggerus kepercayaan investor.
"Jangan sampai diambil sebagai opsi untuk menutup pasar. Pasar naik dan turun adalah hal yang biasa," terang Edwin, Rabu (18/3/2020).
Lain halnya dengan Head of Research PT Reliance Sekuritas, Lanjar Nafi. Opsi penghentian perdagangan dapat dilakukan mengingat pelbagai kebijakan dari otoritas pasar modal, dalam hal ini Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan belum mampu meredam aksi panik jual.
"Bisa sekali [penutupan bursa saham]. Soalnya rentetan kebijakan regulator maupun pemerintah tidak mampu menahan aksi panic selling," katanya kepada CNBC Indonesia.
Secara tegas, Bursa Efek Indonesia pun tidak ingin gegabah mengambil opsi ini. Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo menyatakan belum ada wacana untuk menutup bursa saham.
"Tidak ada wacana untuk itu," kata Laksono Widodo.
Saat ini, kata dia, BEI dan OJK masih memakai tools yang sudah diterapkan di pasar seperti kebijakan pembekuan sementara perdagangan (auto halt) selama 30 menit bila pasar saham terkoreksi 5% dalam sehari, membolehkan emiten buyback tanpa RUPS, kebijakan auto reject asimetris yang diturunkan batas bawahnya jadi 7% dari sebelumnya 10% dan melarang transaksi short selling.
"Sampai saat ini masih seperti itu," tukasnya.
(hps/hps) Next Article Digitalisasi Picu Investor Ritel Domestik Bursa RI 'Meledak'
Filipina, pada Selasa (17/3/2020) menjadi negara pertama yang mengumumkan penutupan perdagangan pasar saham, setelah bursa acuan di negara tersebut anjlok lebih dari 30% sejak awal tahun ini. Penghentian ini juga berlaku bagi pasar mata uang dan pasar surat utang.
Apa yang terjadi di Filipina bisa saja terjadi di Indonesia bila situasi kian memburuk. Hal ini disampaikan Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Octavianus Budiyanto.
Kepada CNBC Indonesia, Oky menjelaskan, opsi penutupan perdagangan bisa menjadi opsi pamungkas bisa situasi di dalam negeri betul-betul sudah tidak kondusif dan jika terjadi penurunan indeks harga saham acuan yang sangat signfikan.
"Saya rasa itu pilihan terakhir yang dengan sangat terpaksa dilakukan untuk meredam pasar. Dan penutupan ini tidak kita harapkan karena menyangkut image dari pasar modal Indonesia," terang Oky, kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/3/2020).
Berpendapat senada, Head of Research PT Samuel Sekuritas menilai, opsi penutupan perdagangan saham belum perlu dilakukan karena dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini hanya akan menunda penurunan saja.
"Penurunan bursa saham di Eropa juga sudah di atas 20%. Ini lebih kepada fenomena global," kata Suria Dharma.
Bila dilihat secara regional, penurunan bursa saham domestik masih sedikit lebih baik dari bursa Thailand secara year to date dengan pelemahan 29,25%. Thailand bahkan sudah melemah 34.15% tapi belum sampai menutup perdagangan saham.
Sementara itu, Head of Research PT MNC Sekuritas, Edwin Sebayang, saat dihubungi CNBC Indonesia menilai, penurunan indeks Harga Saham Gabungan adalah hal yang wajar terjadi di tengah pandemi.
Hanya saja, opsi 'lockdown' di pasar saham dalam negeri bukan langkah tepat untuk saat ini. Apalagi, bursa saham menganut prinsip perdagangan berdasarkan mekanisme pasar, adanya intervensi yang berlebihan bisa berpotensi menggerus kepercayaan investor.
"Jangan sampai diambil sebagai opsi untuk menutup pasar. Pasar naik dan turun adalah hal yang biasa," terang Edwin, Rabu (18/3/2020).
Lain halnya dengan Head of Research PT Reliance Sekuritas, Lanjar Nafi. Opsi penghentian perdagangan dapat dilakukan mengingat pelbagai kebijakan dari otoritas pasar modal, dalam hal ini Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan belum mampu meredam aksi panik jual.
"Bisa sekali [penutupan bursa saham]. Soalnya rentetan kebijakan regulator maupun pemerintah tidak mampu menahan aksi panic selling," katanya kepada CNBC Indonesia.
Secara tegas, Bursa Efek Indonesia pun tidak ingin gegabah mengambil opsi ini. Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo menyatakan belum ada wacana untuk menutup bursa saham.
"Tidak ada wacana untuk itu," kata Laksono Widodo.
Saat ini, kata dia, BEI dan OJK masih memakai tools yang sudah diterapkan di pasar seperti kebijakan pembekuan sementara perdagangan (auto halt) selama 30 menit bila pasar saham terkoreksi 5% dalam sehari, membolehkan emiten buyback tanpa RUPS, kebijakan auto reject asimetris yang diturunkan batas bawahnya jadi 7% dari sebelumnya 10% dan melarang transaksi short selling.
"Sampai saat ini masih seperti itu," tukasnya.
(hps/hps) Next Article Digitalisasi Picu Investor Ritel Domestik Bursa RI 'Meledak'
Most Popular