
Saat Minyak, Batu Bara, & CPO Luluh Lantak Gegara Corona
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 March 2020 14:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Wabah corona (COVID-19) tak hanya mengancam kesehatan manusia saja tetapi juga perekonomian global. Pasar dibuatnya panik sehingga tekanan jual hebat melanda bursa saham global dan harga-harga komoditas ikutan rontok.
Sudah hampir dua bulan berlalu, COVID-19 tak menampakkan tanda-tanda dapat 'dijinakkan'. Walau dalam beberapa waktu terakhir jumlah kasus yang dilaporkan di China dan Korea Selatan mengalami penurunan, lonjakan kasus masih terjadi di berbagai negara terutama Italia dan Iran.
Kini COVID-19 resmi menyandang status sebagai pandemi. Artinya infeksi virus yang mirip SARS ini telah menjangkiti berbagai penjuru dunia dengan laju yang cepat. Status pandemi disematkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kemarin.
"Dalam dua pekan terakhir, jumlah kasus di luar China telah naik 13 kali lipat dan jumlah negara yang terjangkit bertambah tiga kali lipat" kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.
"Untuk beberapa hari dan minggu ke depan kami menduga jumlah kasus infeksi, korban meninggal dan negara terjangkit akan lebih tinggi" tandasnya.
Sejak lonjakan kasus virus corona dilaporkan di China pada 20 Januari lalu, harga-harga komoditas seperti minyak, CPO dan batu bara mulai terlihat terkoreksi. Seiring dengan pertambahan kasus di China dan di luar China harga komoditas terus tergerus.
Sejak lonjakan kasus terjadi hingga kemarin, harga minyak telah terpangkas hampir 50%. Pemicunya ada dua faktor utama baik dari segi permintaan maupun pasokan.
Dari sisi permintaan, wabah COVID-19 membuat penumpang pesawat anjlok dan industri maskapai pesawat terbang menjadi tertekan sebagai akibat dari orang-orang yang memilih membatalkan perjalanan karena takut terjangkit.
Tak hanya itu, larangan bepergian yang diberlakukan oleh beberapa negara dari dan ke China membuat industri maskapai semakin tertekan. Sekarang status wabah sudah jadi pandemi. Amerika Serikat bahkan melarang kunjungan dari Eropa untuk menghindari penyebaran wabah yang semakin tak terkendali.
Travel ban semacam ini tentu membuat permintaan minyak bisa merosot. Agensi Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan minyak berpotensi turun lebih besar dari 800.000 barel per hari (bpd). Namun itu perkiraan sebelum COVID-19 dideklarasikan sebagai pandemi. Kini status COVID-19 sudah naik kelas dan permintaan minyak global terancam terpangkas lebih dalam. Dari sisi pasokan ada dua faktor yang membuat harga minyak mentah anjlok. Pertama adalah gagalnya Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan aliansinya (OPEC ) capai kata sepakat untuk tambah pemangkasan produksi minyak.
Arab sebagai pemimpin de facto OPEC ngambek karena proposalnya ditolak Rusia. Karena kecewa Arab memilih langkah manuver dengan rencananya untuk menggenjot produksi minyak secara besar-besaran pada April nanti. Langkah ini juga rencananya akan diikuti oleh Uni Emirat Arab (UEA) . Tak hanya itu Arab juga akan mendiskon harga minyak ekspornya atau Official Selling Price (OSP) sebesar 10%.
Hal ini membuat menteri energi Rusia, Alexander Novak ikut berkomentar. "Kami percaya ini bukan pilihan yang terbaik" katanya. Saat ini Rusia juga dikabarkan terus berdialog dengan OPEC dan negara non-OPEC lainnya. Rusia juga dikabarkan akan menghadiri pertemuan 'technical panel' OPEC pada 18 Maret nanti di Vienna.
Facts Global Energi (FGE) memperkirakan jika OPEC dan Rusia akan kembali berproduksi secara normal maka akan ada output tambahan sebesar 4 juta bpd. Tentu ini bukan kabar yang baik untuk harga minyak. Kala permintaan turun, pasar malah kebanjiran pasokan, jadi wajar saja harga minyak anjlok.
Anjloknya harga minyak juga turut menjadi sentimen negatif untuk harga komoditas lain yang menjadi substitusi komoditas minyak yakni minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara. Maklum CPO bisa digunakan untuk bahan baku biodiesel sementara batu bara juga merupakan sumber energi primer untuk pembangkit listrik.
Harga CPO sebenarnya sejak awal Januari sudah anjlok akibat perseteruan India dengan Malaysia. Hubungan keduanya jadi tegang akibat kritik eks Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang menilai sikap India yang anti-Islam.
India yang geram, pada 8 Januari 2020 memberlakukan pelarangan impor minyak sawit olahan (refined). Akibatnya ekspor minyak sawit Malaysia ke India langsung anjlok di bawah 30 ribu ton pada Januari dan Februari. Padahal India merupakan pembeli minyak sawit terbesar pertama di dunia.
Harga CPO makin anjlok setelah lonjakan kasus COVID-19 diumumkan dan puluhan kota di China dikarantina. Libur imlek yang harusnya satu minggu diperpanjang. Akibatnya aktivitas perdagangan terganggu dan permintaan juga terancam. Wajar kalau mengingat China merupakan pembeli minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah India.
Harga batu bara juga ambrol tapi yang paling tipis dibandingkan dengan dua komoditas di atas. COVID-19 yang merebak di China jelas mengganggu aktivitas pengiriman batu bara.
Namun di sisi lain, aktivitas pertambangan yang diliburkan membuat China menjadi bergantung pada impor batu bara. Hal ini cukup menjadi sentimen positif yang menjaga harga batu bara tak terkoreksi parah. China memang konsumen batu bara terbesar di dunia jadi wajar kalau musibah yang terjadi di China menjadi sentimen penggerak harga batu bara.
Namun, harga batu bara tetap saja melemah. Terutama harga batu bara dengan nilai kalori yang tinggi. Hal ini dikarenakan kinerja impor batu bara di kawasan Asia yang masih lebih rendah dibanding tahun lalu. Belum lagi upaya Korea Selatan untuk tidak mengoperasikan puluhan pembangkit listrik batu baranya. Tentu hal ini jadi sentimen penekan harga batu bara.
Well tak bisa dipungkiri, harga-harga komoditas memang mengalami pelemahan seiring dengan suramnya prospek perekonomian global di tahun ini akibat pandemi COVID-19. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) merevisi turun pertumbuhan ekonomi global jadi 2,4% di tahun ini, padahal sebelumnya berada di angka 2,9%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article CPO ke Batu Bara & Minyak, Mana yang Paling 'Licin' Sepekan?
Sudah hampir dua bulan berlalu, COVID-19 tak menampakkan tanda-tanda dapat 'dijinakkan'. Walau dalam beberapa waktu terakhir jumlah kasus yang dilaporkan di China dan Korea Selatan mengalami penurunan, lonjakan kasus masih terjadi di berbagai negara terutama Italia dan Iran.
"Dalam dua pekan terakhir, jumlah kasus di luar China telah naik 13 kali lipat dan jumlah negara yang terjangkit bertambah tiga kali lipat" kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.
"Untuk beberapa hari dan minggu ke depan kami menduga jumlah kasus infeksi, korban meninggal dan negara terjangkit akan lebih tinggi" tandasnya.
Sejak lonjakan kasus virus corona dilaporkan di China pada 20 Januari lalu, harga-harga komoditas seperti minyak, CPO dan batu bara mulai terlihat terkoreksi. Seiring dengan pertambahan kasus di China dan di luar China harga komoditas terus tergerus.
Sejak lonjakan kasus terjadi hingga kemarin, harga minyak telah terpangkas hampir 50%. Pemicunya ada dua faktor utama baik dari segi permintaan maupun pasokan.
Dari sisi permintaan, wabah COVID-19 membuat penumpang pesawat anjlok dan industri maskapai pesawat terbang menjadi tertekan sebagai akibat dari orang-orang yang memilih membatalkan perjalanan karena takut terjangkit.
Tak hanya itu, larangan bepergian yang diberlakukan oleh beberapa negara dari dan ke China membuat industri maskapai semakin tertekan. Sekarang status wabah sudah jadi pandemi. Amerika Serikat bahkan melarang kunjungan dari Eropa untuk menghindari penyebaran wabah yang semakin tak terkendali.
Travel ban semacam ini tentu membuat permintaan minyak bisa merosot. Agensi Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan minyak berpotensi turun lebih besar dari 800.000 barel per hari (bpd). Namun itu perkiraan sebelum COVID-19 dideklarasikan sebagai pandemi. Kini status COVID-19 sudah naik kelas dan permintaan minyak global terancam terpangkas lebih dalam. Dari sisi pasokan ada dua faktor yang membuat harga minyak mentah anjlok. Pertama adalah gagalnya Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan aliansinya (OPEC ) capai kata sepakat untuk tambah pemangkasan produksi minyak.
Arab sebagai pemimpin de facto OPEC ngambek karena proposalnya ditolak Rusia. Karena kecewa Arab memilih langkah manuver dengan rencananya untuk menggenjot produksi minyak secara besar-besaran pada April nanti. Langkah ini juga rencananya akan diikuti oleh Uni Emirat Arab (UEA) . Tak hanya itu Arab juga akan mendiskon harga minyak ekspornya atau Official Selling Price (OSP) sebesar 10%.
Hal ini membuat menteri energi Rusia, Alexander Novak ikut berkomentar. "Kami percaya ini bukan pilihan yang terbaik" katanya. Saat ini Rusia juga dikabarkan terus berdialog dengan OPEC dan negara non-OPEC lainnya. Rusia juga dikabarkan akan menghadiri pertemuan 'technical panel' OPEC pada 18 Maret nanti di Vienna.
Facts Global Energi (FGE) memperkirakan jika OPEC dan Rusia akan kembali berproduksi secara normal maka akan ada output tambahan sebesar 4 juta bpd. Tentu ini bukan kabar yang baik untuk harga minyak. Kala permintaan turun, pasar malah kebanjiran pasokan, jadi wajar saja harga minyak anjlok.
Anjloknya harga minyak juga turut menjadi sentimen negatif untuk harga komoditas lain yang menjadi substitusi komoditas minyak yakni minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara. Maklum CPO bisa digunakan untuk bahan baku biodiesel sementara batu bara juga merupakan sumber energi primer untuk pembangkit listrik.
Harga CPO sebenarnya sejak awal Januari sudah anjlok akibat perseteruan India dengan Malaysia. Hubungan keduanya jadi tegang akibat kritik eks Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang menilai sikap India yang anti-Islam.
India yang geram, pada 8 Januari 2020 memberlakukan pelarangan impor minyak sawit olahan (refined). Akibatnya ekspor minyak sawit Malaysia ke India langsung anjlok di bawah 30 ribu ton pada Januari dan Februari. Padahal India merupakan pembeli minyak sawit terbesar pertama di dunia.
Harga CPO makin anjlok setelah lonjakan kasus COVID-19 diumumkan dan puluhan kota di China dikarantina. Libur imlek yang harusnya satu minggu diperpanjang. Akibatnya aktivitas perdagangan terganggu dan permintaan juga terancam. Wajar kalau mengingat China merupakan pembeli minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah India.
Harga batu bara juga ambrol tapi yang paling tipis dibandingkan dengan dua komoditas di atas. COVID-19 yang merebak di China jelas mengganggu aktivitas pengiriman batu bara.
Namun di sisi lain, aktivitas pertambangan yang diliburkan membuat China menjadi bergantung pada impor batu bara. Hal ini cukup menjadi sentimen positif yang menjaga harga batu bara tak terkoreksi parah. China memang konsumen batu bara terbesar di dunia jadi wajar kalau musibah yang terjadi di China menjadi sentimen penggerak harga batu bara.
Namun, harga batu bara tetap saja melemah. Terutama harga batu bara dengan nilai kalori yang tinggi. Hal ini dikarenakan kinerja impor batu bara di kawasan Asia yang masih lebih rendah dibanding tahun lalu. Belum lagi upaya Korea Selatan untuk tidak mengoperasikan puluhan pembangkit listrik batu baranya. Tentu hal ini jadi sentimen penekan harga batu bara.
Well tak bisa dipungkiri, harga-harga komoditas memang mengalami pelemahan seiring dengan suramnya prospek perekonomian global di tahun ini akibat pandemi COVID-19. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) merevisi turun pertumbuhan ekonomi global jadi 2,4% di tahun ini, padahal sebelumnya berada di angka 2,9%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article CPO ke Batu Bara & Minyak, Mana yang Paling 'Licin' Sepekan?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular