Morgan Stanley: Minyak Jatuh & Bahaya untuk Pasar Keuangan

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
11 March 2020 13:18
Morgan Stanley: Minyak Jatuh & Bahaya untuk Pasar Keuangan
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah anjlok dalam dan sempat mengalami koreksi paling parah sejak tahun 1991 akibat perang harga antara Arab Saudi dengan Rusia.

Sekarang yang jadi pertanyaan adalah, dengan jatuhnya harga minyak apakah ini positif untuk perekonomian global atau justru negatif?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditelisik lebih dahulu penyebab anjloknya harga minyak. Harga si emas hitam memang sudah anjlok dalam sejak awal tahun. Brent telah ambles 48,1% sejak awal tahun.



Ada tiga faktor utama yang menjadi pemicu anjloknya harga minyak ini. Pertama, ekonomi global yang dibayangi dengan perlambatan. Maklum tahun lalu perang dagang yang berkecamuk antara Paman Sam dan Negeri Panda membuat prospek perekonomian jadi suram.


Kala perekonomian global tumbuh melambat, maka permintaan sumber energi primer seperti minyak juga terancam ikut melambat. Hal ini turut menekan harga komoditas yang satu ini.

Faktor penyebab yang kedua apalagi kalau bukan wabah corona. COVID-19 awalnya hanya menjangkiti Wuhan, China yang notabene negara konsumen minyak terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS), membuat prospek permintaan minyak dari China berkurang.

Namun pada akhir Januari lalu, kondisi menjadi semakin mengerikan. Wabah ini menyebar luas ke berbagai penjuru dunia. Takut jadi pandemi, maka berbagai negara memberlakukan kondisi darurat bahkan ada yang mengkarantina satu negara penuh seperti Italia.

Upaya untuk menekan penyebaran virus ganas ini membuat jumlah penumpang pesawat anjlok karena imbauan pemerintah yang melarang warganya untuk bepergian. Orang banyak yang memilih tinggal di rumah dan membatalkan perjalanannya untuk mengurangi potensi tertular.


Riset S&P Global menyebutkan potensi kerugian akibat hilangnya pendapatan industri maskapai global sebesar US$ 113 miliar pada 2020. Pembatalan penerbangan juga berdampak pada turunnya permintaan minyak, mengingat avtur sebagai bahan bakar pesawat berasal dari minyak.

Agensi Energi Internasional (IEA) memperkirakan pada 2020 permintaan minyak bisa terpangkas lebih dari 800.000 barel per hari (bpd) akibat wabah corona. Pelemahan demand ini jadi faktor penekan harga kedua.

Faktor ketiga yang menyebabkan anjloknya harga minyak adalah gagalnya OPEC+ untuk mencapai kata sepakat dalam melakukan pemangkasan produksi minyak negara-negara anggotanya.


[Gambas:Video CNBC]



Arab mengajukan usulan untuk memangkas produksi minyak extra sebesar 1,5 juta bpd. OPEC akan menanggung yang 1 juta bpd, sementara Rusia dan non-OPEC diminta berkontribusi 500.000 bpd sisanya. Rusia menolak usulan ini dan membuat Arab geram.

Secara mengejutkan pada Sabtu (7/3/2020) pekan lalu, Arab Saudi mengambil manuver dengan mendiskon harga minyak ekspornya secara besar-besaran. Tak hanya itu Arab Saudi juga dikabarkan akan menaikkan produksi minyaknya pada April nanti. Langkah ini juga dikabarkan akan diikuti oleh Rusia.

Kini kedua negara produsen minyak terbesar di dunia itu tak lagi peduli harga. Strategi mereka saat ini adalah meningkatkan pangsa pasar mereka di kancah global.

Sebenarnya alasan Rusia menolak usulan tersebut karena menilai upaya pemangkasan produksi minyak yang terus menerus dilakukan organisasi sia-sia saja kalau output minyak ‘shale’ AS terus meningkat dan membanjiri pasar.

Ini adalah fenomena ‘negative demand shocks’ akibat wabah COVID-19 dan sekaligus menjadi fenomena ‘positive supply shock’ karena produksi minyak bakal ditingkatkan secara besar-besaran.

Pantas saja harga minyak anjlok karena permintaan turun, produksi malah dinaikkan bahkan harga malah didiskon. Banyak analis memperkirakan anjloknya harga minyak akan membuat AS terpaksa memangkas produksi minyaknya.

Anjloknya harga minyak tentunya menimbulkan konsekuensi pada perekonomian. Morgan Stanley (MS) melihat fenomena ini akan berpengaruh negatif pada perekonomian. Martin Rats selaku ahli strategi minyak global MS memperkirakan ada tiga dampak negatif dari anjloknya harga minyak.

Pertama, penurunan harga minyak akan berdampak negatif pada prospek belanja modal dari sektor yang bergantung pada minyak dan juga negara-negara penghasil minyak.

Kedua, ini akan berdampak pada pasar kredit di AS serta pasar ekuitas produsen minyak yang berpotensi bereaksi negatif dan mengarah pada semakin ketatnya kondisi keuangan.

Hal ini mengingatkan MS akan kejadian pada pertengahan 2014 hingga awal 2016, ketika harga minyak turun secara signifikan, dan menyebabkan melebarnya spread kredit perusahaan, yang berdampak pada imbal hasil (yield) yang tinggi.

Akhirnya, harga minyak yang lebih rendah akan menjadikan harga retail yang lebih rendah – tetapi dampak positif bagi konsumen ini tidak akan sepenuhnya mendorong peningkatan konsumsi dalam waktu dekat karena keadaan dunia saat ini yang masih dibayangi dengan corona.

Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan hingga hari jumlah korban yang terinfeksi COVID-19 secara kumulatif mencapai 119.108 orang di 118 negara dan telah merenggut lebih dari 4.000 orang. Jadi dampaknya memang cenderung negatif bagi perekonomian, begitu juga ke pasar keuangan. Anjloknya harga minyak membuat pasar saham global bergerak dengan volatilitas yang tinggi yang mencerminkan ruang ketidakpastian yang besar pula.

Lantas apakah dampaknya juga negatif ke perekonomian Indonesia?

Indonesia merupakan negara net importir minyak. Artinya RI lebih banyak mengimpor minyak daripada mengekspor minyak. Pada tahun lalu saja nilai impor minyak mentah dan hasil minyak Indonesia saja sudah mencapai US$ 19,4 miliar sementara nilai ekspornya hanya US$ 3,63 miliar, artinya RI tekor sebesar US$ 15.8 miliar.

Dengan anjloknya harga minyak ini, kabar positifnya adalah beban impor minyak menjadi berkurang. Indonesia banyak mengimpor minyak jadi ketimbang minyak mentah. Anjloknya harga minyak dapat membuat harga BBM dapat lebih murah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan anjloknya harga minyak memberikan dampak positif bagi perekonomian dalam negeri. "Di dalam kondisi ekonomi yang sedang tertekan, ini jadi salah satu positif dalam artian menstimulasi dan tidak membebani."

Namun Sri Mulyani menegaskan, anjloknya harga minyak juga menjadi hal yang mengkhawatirkan dan terus dipantau oleh pemerintah. Anjloknya harga minyak membuat harga saat ini berada di bawah asumsi ICP APBN.

Harga minyak yang rontok sangat mempengaruhi aktivitas di sektor hulu. Harga minyak yang jatuh tentu menggerus margin dari aktivitas di sektor hulu.

Jika ini terus terjadi dan bertahan lama, maka aktivitas di sektor hulu menjadi tidak ekonomis dan membuat appetite investor untuk menggarap sektor ini jadi berkurang. Ini tentu jadi penghambat target pemerintah untuk bisa lifting minyak sebesar 1 juta bpd.

Hal ini juga nantinya akan mempengaruhi kapasitas fiskal dari pemerintah itu sendiri untuk pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) paling besar dari sektor migas yang berkontribusi sebesar lebih dari 42% dari total PNBP. Kalau PNBP berkurang maka kapasitas fiskal menjadi lebih sempit.

Selain itu, pergerakan harga minyak juga turut mempengaruhi harga komoditas lain terutama untuk komoditas yang digunakan di sektor energi seperti batu bara untuk pembangkit listrik dan minyak sawit mentah (CPO) untuk biodiesel.

Menurut studi yang dipublikasikan di Internasional Journal of Energi Economics and Policy (IJEEP), supply and demand shocks pada komoditas minyak akan mempengaruhi harga komoditas batu bara secara signifikan.

Jadi ini bukan kabar yang baik juga mengingat batu bara dan CPO merupakan dua komoditas ekspor unggulan RI. Kapasitas fiskal bisa makin sempit akibat turunnya pendapatan dari royalti pertambangan maupun pungutan ekspor CPO.

Bagaimanapun juga apakah dampaknya akan signifikan atau tidak bagi perekonomian RI tentu tergantung pada seberapa besar harga minyak anjlok dan akan seberapa lama fenomena ini berlangsung.




TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular