
Morgan Stanley: Minyak Jatuh & Bahaya untuk Pasar Keuangan
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
11 March 2020 13:18

Arab mengajukan usulan untuk memangkas produksi minyak extra sebesar 1,5 juta bpd. OPEC akan menanggung yang 1 juta bpd, sementara Rusia dan non-OPEC diminta berkontribusi 500.000 bpd sisanya. Rusia menolak usulan ini dan membuat Arab geram.
Secara mengejutkan pada Sabtu (7/3/2020) pekan lalu, Arab Saudi mengambil manuver dengan mendiskon harga minyak ekspornya secara besar-besaran. Tak hanya itu Arab Saudi juga dikabarkan akan menaikkan produksi minyaknya pada April nanti. Langkah ini juga dikabarkan akan diikuti oleh Rusia.
Kini kedua negara produsen minyak terbesar di dunia itu tak lagi peduli harga. Strategi mereka saat ini adalah meningkatkan pangsa pasar mereka di kancah global.
Sebenarnya alasan Rusia menolak usulan tersebut karena menilai upaya pemangkasan produksi minyak yang terus menerus dilakukan organisasi sia-sia saja kalau output minyak ‘shale’ AS terus meningkat dan membanjiri pasar.
Ini adalah fenomena ‘negative demand shocks’ akibat wabah COVID-19 dan sekaligus menjadi fenomena ‘positive supply shock’ karena produksi minyak bakal ditingkatkan secara besar-besaran.
Pantas saja harga minyak anjlok karena permintaan turun, produksi malah dinaikkan bahkan harga malah didiskon. Banyak analis memperkirakan anjloknya harga minyak akan membuat AS terpaksa memangkas produksi minyaknya.
Anjloknya harga minyak tentunya menimbulkan konsekuensi pada perekonomian. Morgan Stanley (MS) melihat fenomena ini akan berpengaruh negatif pada perekonomian. Martin Rats selaku ahli strategi minyak global MS memperkirakan ada tiga dampak negatif dari anjloknya harga minyak.
Pertama, penurunan harga minyak akan berdampak negatif pada prospek belanja modal dari sektor yang bergantung pada minyak dan juga negara-negara penghasil minyak.
Kedua, ini akan berdampak pada pasar kredit di AS serta pasar ekuitas produsen minyak yang berpotensi bereaksi negatif dan mengarah pada semakin ketatnya kondisi keuangan.
Hal ini mengingatkan MS akan kejadian pada pertengahan 2014 hingga awal 2016, ketika harga minyak turun secara signifikan, dan menyebabkan melebarnya spread kredit perusahaan, yang berdampak pada imbal hasil (yield) yang tinggi.
Akhirnya, harga minyak yang lebih rendah akan menjadikan harga retail yang lebih rendah – tetapi dampak positif bagi konsumen ini tidak akan sepenuhnya mendorong peningkatan konsumsi dalam waktu dekat karena keadaan dunia saat ini yang masih dibayangi dengan corona.
Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan hingga hari jumlah korban yang terinfeksi COVID-19 secara kumulatif mencapai 119.108 orang di 118 negara dan telah merenggut lebih dari 4.000 orang. (twg/twg)
Secara mengejutkan pada Sabtu (7/3/2020) pekan lalu, Arab Saudi mengambil manuver dengan mendiskon harga minyak ekspornya secara besar-besaran. Tak hanya itu Arab Saudi juga dikabarkan akan menaikkan produksi minyaknya pada April nanti. Langkah ini juga dikabarkan akan diikuti oleh Rusia.
Kini kedua negara produsen minyak terbesar di dunia itu tak lagi peduli harga. Strategi mereka saat ini adalah meningkatkan pangsa pasar mereka di kancah global.
Ini adalah fenomena ‘negative demand shocks’ akibat wabah COVID-19 dan sekaligus menjadi fenomena ‘positive supply shock’ karena produksi minyak bakal ditingkatkan secara besar-besaran.
Pantas saja harga minyak anjlok karena permintaan turun, produksi malah dinaikkan bahkan harga malah didiskon. Banyak analis memperkirakan anjloknya harga minyak akan membuat AS terpaksa memangkas produksi minyaknya.
Anjloknya harga minyak tentunya menimbulkan konsekuensi pada perekonomian. Morgan Stanley (MS) melihat fenomena ini akan berpengaruh negatif pada perekonomian. Martin Rats selaku ahli strategi minyak global MS memperkirakan ada tiga dampak negatif dari anjloknya harga minyak.
Pertama, penurunan harga minyak akan berdampak negatif pada prospek belanja modal dari sektor yang bergantung pada minyak dan juga negara-negara penghasil minyak.
Kedua, ini akan berdampak pada pasar kredit di AS serta pasar ekuitas produsen minyak yang berpotensi bereaksi negatif dan mengarah pada semakin ketatnya kondisi keuangan.
Hal ini mengingatkan MS akan kejadian pada pertengahan 2014 hingga awal 2016, ketika harga minyak turun secara signifikan, dan menyebabkan melebarnya spread kredit perusahaan, yang berdampak pada imbal hasil (yield) yang tinggi.
Akhirnya, harga minyak yang lebih rendah akan menjadikan harga retail yang lebih rendah – tetapi dampak positif bagi konsumen ini tidak akan sepenuhnya mendorong peningkatan konsumsi dalam waktu dekat karena keadaan dunia saat ini yang masih dibayangi dengan corona.
Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan hingga hari jumlah korban yang terinfeksi COVID-19 secara kumulatif mencapai 119.108 orang di 118 negara dan telah merenggut lebih dari 4.000 orang. (twg/twg)
Next Page
RI Untung Apa Buntung?
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular