
Rupiah & IHSG Memang Menguat, Tapi Ingat Kondisi Masih Gawat!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 March 2020 16:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, pasar keuangan Indonesia berhasil mencatat penguatan setelah cukup lama terkoreksi. Namun kewaspadaan tidak boleh mengendur karena risiko masih sangat tinggi.
Pada Selasa (10/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat signifikan 1,64%. Ini adalah penguatan perdana dalam empat hari perdagangan terakhir. Sebelumnya, IHSG melemah tiga hari beruntun dan pelemahannya sangat dalam yaitu 9,08%.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,31% kala penutupan perdagangan pasar spot. Seperti halnya IHSG, rupiah juga mencatat penguatan pertama dalam empat hari terakhir. Dalam tiga hari perdagangan sebelumnya, rupiah terdepresiasi 1,95%.
Namun, sepertinya penguatan IHSG dan rupiah lebih disebabkan oleh technical rebound. Harga aset yang sudah murah karena koreksi sangat dalam membuat investor tergoda. Aksi borong terjadi sehingga IHSG dan rupiah mampu bergerak ke utara.
Ke depan, sulit untuk berharap penguatan ini berkesinambungan (sustainable). Pasalnya, ada risiko besar yang siap membuat IHSG dan rupiah kembali terjungkal ke zona merah.
Risiko pertama adalah penyebaran virus corona yang semakin masif. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 15:33 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia adalah 114.457. Korban jiwa semakin bertambah menjadi 4.026.
Penyebaran di China, asal-muasal virus corona, semakin menurun. Kemarin, kasus baru yang terkonfirmasi di Negeri Tirai Bambu adalah 19. Sementara rasio pasien yang sembuh meningkat menjadi 74,2%.
Namun di luar China yang terjadi adalah sebaliknya. Semakin banyak negara yang melaporkan kasus corona. Kemarin, ada 3.498 kasus baru di luar Negeri Panda, tertinggi di Italia yaitu 1.807 kasus. Kini kasus corona di Negeri Pizza mencapai 9.172, tertinggi di luar China.
Mulai hari ini, pemerintah Italia memberlakukan karantina yang berlaku di seluruh wilayah. Sebelumnya, 'penguncian' (lockdown) hanya berlaku di wilayah Lombardy dan 14 provinsi lainnya.
"Keputusan terbaik saat ini adalah diam di rumah. Masa depan Italia ada di tangan kita. Tangan ini lebih bertanggung jawab dibandingkan saat-saat sebelumnya," kata Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte, seperti dikutip dari Reuters.
Sampai 3 April, penduduk Italia yang berjumlah sekira 60 juta hanya boleh bepergian untuk bekerja dan alasan medis yang mendesak. Seluruh sekolah dan kampus diliburkan.
Italia, negeri indah bertabur bangunan megah dari masa lampau yang biasa dibanjiri turis dari berbagai penjuru bumi, kini sepi. Ketakutan akibat virus corona membuat sektor pariwisata Italia terpukul, padahal sektor ini menyumbang sekitar 14% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Masalahnya, situasi ini tidak cuma terjadi di Italia. Bukan juga cuma sektor pariwisata yang terpukul, tetapi juga manufaktur karena pabrik-pabrik banyak yang ditutup untuk mencegah penularan virus di antara pekerja.
Salah satunya adalah yang menimpa Boeing, raksasa industri aviasi dunia asal AS. Seorang pekerja di pabrik Washington positif mengidap virus corona. "Sebagai langkah pencegahan, kami meminta mereka yang bekerja bersama sang pasien untuk tetap di rumah dan melakukan karantina swadaya (self-quarantine)," sebut keterangan tertulis Boeing.
Gangguan-gangguan semacam ini dialami oleh banyak di sektor industri di banyak negara. Jika diakumulasikan, maka hasilnya adalah perlambatan ekonomi global. Bahkan risiko resesi tidak bisa dikesampingkan.
Risiko kedua adalah fluktuasi harga minyak. Setelah kemarin sempat anjlok sampai 30%, hari ini harga minyak menanjak meski tidak bisa menutup koreksi sebelumnya. Pada pukul 15:54 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 5,89% dan 6,69%.
Volatilitas harga minyak terjadi seiring meletusnya perang harga antara Arab Saudi dan Rusia. Ini bermula dari pertemuan Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) pekan lalu.
Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.
Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir bulan ini.
Tidak hanya itu, Arab Saudi juga menaikkan produksi minyak plus memberi harga diskon. Sepertinya Riyadh sedang menantang para rivalnya, siapa yang paling kuat bertahan dengan harga minyak rendah. Terjadilah apa yang disebut perang harga minyak.
Kala Arab Saudi menaikkan produksi dan memangkas harga, banderol minyak pun merosot. Penurunan harga minyak akan menghantam negara-negara yang perekonomiannya bergantung kepada komoditas tersebut. Saat semakin banyak negara yang kesusahan, maka risiko resesi akan meningkat.
Walau pagi ini naik, tetapi fundamental harga minyak masih rapuh. Permintaan diprediksi turun karena perlambatan ekonomi akibat serangan virus corona.
International Energy Agency (IEA) memperkirakan permintaan minyak dunia pada 2020 sebesar 99,9 juta barel/hari. Turun hampir 1 juta barel/hari dibandingkan 2019. Ini menjadi penurunan tahunan pertama sejak 2009.
Dalam laporannya IEA memperkirakan permintaan minyak dunia turun 2,5 juta barel/hari. Dari angka tersebut, 1,8 juta barel/hari di antaranya adalah permintaan dari China.
Artinya, harga minyak masih sangat mungkin turun lagi. Fluktuasi harga minyak menyebabkan ketidakpastian meningkat sehingga investor akan memilih untuk bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang.
Dua risiko tersebut masih akan menghantui pasar dalam beberapa waktu ke depan. Sepanjang virus corona dan perang harga minyak belum terselesaikan, maka sulit untuk berharap IHSG dan rupiah stabil di zona hijau.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Ambles, Menkeu: Kita Mitigasi Dampaknya
Pada Selasa (10/3/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat signifikan 1,64%. Ini adalah penguatan perdana dalam empat hari perdagangan terakhir. Sebelumnya, IHSG melemah tiga hari beruntun dan pelemahannya sangat dalam yaitu 9,08%.
Namun, sepertinya penguatan IHSG dan rupiah lebih disebabkan oleh technical rebound. Harga aset yang sudah murah karena koreksi sangat dalam membuat investor tergoda. Aksi borong terjadi sehingga IHSG dan rupiah mampu bergerak ke utara.
Ke depan, sulit untuk berharap penguatan ini berkesinambungan (sustainable). Pasalnya, ada risiko besar yang siap membuat IHSG dan rupiah kembali terjungkal ke zona merah.
Risiko pertama adalah penyebaran virus corona yang semakin masif. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 15:33 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia adalah 114.457. Korban jiwa semakin bertambah menjadi 4.026.
Penyebaran di China, asal-muasal virus corona, semakin menurun. Kemarin, kasus baru yang terkonfirmasi di Negeri Tirai Bambu adalah 19. Sementara rasio pasien yang sembuh meningkat menjadi 74,2%.
Namun di luar China yang terjadi adalah sebaliknya. Semakin banyak negara yang melaporkan kasus corona. Kemarin, ada 3.498 kasus baru di luar Negeri Panda, tertinggi di Italia yaitu 1.807 kasus. Kini kasus corona di Negeri Pizza mencapai 9.172, tertinggi di luar China.
Mulai hari ini, pemerintah Italia memberlakukan karantina yang berlaku di seluruh wilayah. Sebelumnya, 'penguncian' (lockdown) hanya berlaku di wilayah Lombardy dan 14 provinsi lainnya.
"Keputusan terbaik saat ini adalah diam di rumah. Masa depan Italia ada di tangan kita. Tangan ini lebih bertanggung jawab dibandingkan saat-saat sebelumnya," kata Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte, seperti dikutip dari Reuters.
Sampai 3 April, penduduk Italia yang berjumlah sekira 60 juta hanya boleh bepergian untuk bekerja dan alasan medis yang mendesak. Seluruh sekolah dan kampus diliburkan.
Italia, negeri indah bertabur bangunan megah dari masa lampau yang biasa dibanjiri turis dari berbagai penjuru bumi, kini sepi. Ketakutan akibat virus corona membuat sektor pariwisata Italia terpukul, padahal sektor ini menyumbang sekitar 14% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Masalahnya, situasi ini tidak cuma terjadi di Italia. Bukan juga cuma sektor pariwisata yang terpukul, tetapi juga manufaktur karena pabrik-pabrik banyak yang ditutup untuk mencegah penularan virus di antara pekerja.
Salah satunya adalah yang menimpa Boeing, raksasa industri aviasi dunia asal AS. Seorang pekerja di pabrik Washington positif mengidap virus corona. "Sebagai langkah pencegahan, kami meminta mereka yang bekerja bersama sang pasien untuk tetap di rumah dan melakukan karantina swadaya (self-quarantine)," sebut keterangan tertulis Boeing.
Gangguan-gangguan semacam ini dialami oleh banyak di sektor industri di banyak negara. Jika diakumulasikan, maka hasilnya adalah perlambatan ekonomi global. Bahkan risiko resesi tidak bisa dikesampingkan.
Risiko kedua adalah fluktuasi harga minyak. Setelah kemarin sempat anjlok sampai 30%, hari ini harga minyak menanjak meski tidak bisa menutup koreksi sebelumnya. Pada pukul 15:54 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 5,89% dan 6,69%.
Volatilitas harga minyak terjadi seiring meletusnya perang harga antara Arab Saudi dan Rusia. Ini bermula dari pertemuan Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) pekan lalu.
Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.
Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir bulan ini.
Tidak hanya itu, Arab Saudi juga menaikkan produksi minyak plus memberi harga diskon. Sepertinya Riyadh sedang menantang para rivalnya, siapa yang paling kuat bertahan dengan harga minyak rendah. Terjadilah apa yang disebut perang harga minyak.
Kala Arab Saudi menaikkan produksi dan memangkas harga, banderol minyak pun merosot. Penurunan harga minyak akan menghantam negara-negara yang perekonomiannya bergantung kepada komoditas tersebut. Saat semakin banyak negara yang kesusahan, maka risiko resesi akan meningkat.
Walau pagi ini naik, tetapi fundamental harga minyak masih rapuh. Permintaan diprediksi turun karena perlambatan ekonomi akibat serangan virus corona.
International Energy Agency (IEA) memperkirakan permintaan minyak dunia pada 2020 sebesar 99,9 juta barel/hari. Turun hampir 1 juta barel/hari dibandingkan 2019. Ini menjadi penurunan tahunan pertama sejak 2009.
Dalam laporannya IEA memperkirakan permintaan minyak dunia turun 2,5 juta barel/hari. Dari angka tersebut, 1,8 juta barel/hari di antaranya adalah permintaan dari China.
Artinya, harga minyak masih sangat mungkin turun lagi. Fluktuasi harga minyak menyebabkan ketidakpastian meningkat sehingga investor akan memilih untuk bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang.
Dua risiko tersebut masih akan menghantui pasar dalam beberapa waktu ke depan. Sepanjang virus corona dan perang harga minyak belum terselesaikan, maka sulit untuk berharap IHSG dan rupiah stabil di zona hijau.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Ambles, Menkeu: Kita Mitigasi Dampaknya
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular