Emas di Bawah US$ 1.700/oz, Waktunya Beli atau Jual?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 March 2020 14:27
Emas di Bawah US$ 1.700/oz, Waktunya Beli atau Jual?
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia melesat hingga melewati level US$ 1.700/troy ons untuk pertama kalinya sejak tahun 2012 pada Senin (9/3/2020). Tetapi setelah mencapai level tersebut harga emas justru melorot hingga 1% ke US$ 1.657,36/troy ons, sebelum mengakhiri perdagangan Senin di level US$ 1.679,6/troy ons, menguat 0,34% di pasar spot, melansir data Refintiv.

Penurunan emas masih berlanjut pada hari ini, Selasa (10/3/2020) pukul 13:50 WIB, emas melemah 1,06% di level US$ 1.661,4/troy ons, melansir data Refinitiv. 

Aksi jual di bursa saham menjadi pemicu penguatan tajam harga emas tersebut, sebelum terpangkas akibat aksi profit taking.

Kecemasan akan pelambatan ekonomi global akibat wabah virus corona terus memicu aksi jual di bursa saham global. Senin kemarin indeks Nikkei Jepang jeblok lebih dari 5%, Kospi Korea Selatan lebih dari 4% dan Shanghai Composite China lebih dari 3%.

Kemudian dari Eropa, DAX 30 Jerman, FTSE 100 Inggris dan CAC 40 Perancis, ambles lebih dari 7%. Sementara itu FTSE MIB Italia anjlok lebih dari 11%.

Sementara itu, bursa saham AS (Wall Street) lebih parah lagi, kiblat bursa saham dunia tersebut perdagangannya dihentikan hanya hitungan menit setelah dibuka pada Senin (9/3/2020). Seperti dikutip dari Reuters, penghentian perdagangan dilakukan karena indeks karena S&P 500 turun 7% dan memicu penghentian otomatis perdagangan selama 15 menit. Ini merupakan penghentian perdagangan pertama sejak krisis 2008-2009.

Di akhir perdagangan, indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing merosot lebih dari 7%.

Patut diingat penyebab utama anjloknya bursa saham global adalah wabah virus corona yang berisiko menekan pertumbuhan ekonomi global. Emas yang merupakan aset aman (safe haven) akhirnya menjadi buruan pelaku pasar, dan harganya pun melesat naik.



Wabah virus corona yang berasal dari kota Wuhan China tersebut kini meluas ke berbagai negara. Di daerah asalnya, penyebaran virus corona mulai melambat, tetapi justru melonjak drastis di negara-negara lain.

Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga saat ini virus corona sudah menjangkiti lebih dari 100 negara, dengan jumlah kasus lebih dari 114.000 orang. Dari jumlah kasus tersebut sebanyak 4.026 orang meninggal dunia.

Peningkatan jumlah kasus yang signifikan terjadi di Italia, sampai saat ini sudah ada lebih dari 9.000 kasus. Italia juga sudah mengisolasi beberapa wilayahnya agar penyebaran virus corona tidak meluas. Lonjakan kasus lainnya terjadi di Korea Selatan, Iran, Perancis, Jerman hingga di AS.

Akibat penyebaran wabah tersebut, perekonomian global diprediksi akan melambat, beberapa negara bahkan terancam mengalami resesi. Akibatnya bank sentral di berbagai negara, termasuk bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) harus memangkas suku bunga guna meminimalisir dampak wabah virus corona ke perekonomian.

Pada Selasa (3/3/2020) malam (Selasa pagi waktu AS), The Fed mengejutkan pasar dengan tiba-tiba mengumumkan memangkas suku bunga acuannya atau Federal Funds Rate (FFR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1%-1,25%. Pemangkasan mendadak sebesar itu menjadi yang pertama sejak Desember 2008 atau saat krisis finansial. Kala itu The Fed memangkas suku bunga sebesar 75 bps.

Bank sentral paling powerful di dunia ini seharusnya mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17-18 Maret waktu AS, tetapi penyebaran wabah corona virus menjadi alasan The Fed memangkas suku bunga lebih awal dari jadwal RDG.

Pemangkasan tersebut sudah diprediksi oleh pelaku pasar, hanya saja terjadi lebih cepat dari jadwal RDG pekan depan.



Pelaku pasar memprediksi The Fed masih akan memangkas suku bunga lagi bahkan lebih agresif saat mengumumkan suku bunga 18 Maret (19 Maret waktu Indonesia) nanti. Kamis kemarin, pelaku pasar memprediksi The Fed akan memangkas suku bunga 25 bps 18 Maret nanti, tapi kini prediksi tersebut bertambah menjadi 50 bps.

Berdasarkan data dari piranti FedWatch milik CME Group, pelaku pasar melihat adanya probabilitas sebesar 77,5% The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 75 bps menjadi 0,5-0,75%. Selain itu pelaku pasar melihat 22,5% suku bunga akan dipangkas 100 bps menjadi 0-0,25%, dan tidak ada probabilitas suku bunga dipangkas 50 adan 25 bps atau dipertahankan.

Pelambatan ekonomi global serta pemangkasan suku bunga menjadi "kabar bagus" bagi emas. Pada bulan September 2011, harga emas mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920/troy ons, penyebabnya adalah suku bunga rendah di berbagai negara termasuk AS, serta program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dari The Fed. Suku bunga The Fed saat itu sebesar 0-0,25%.

Kebijakan suku bunga rendah serta QE tersebut diterapkan akibat terjadinya krisis finansial pada 2008. Meski saat ini kemungkinan terjadi krisis masih cukup kecil, tetapi situasinya hampir mirip. The Fed yang agresif memangkas suku bunga memberikan gambaran ekonomi AS cukup terancam akibat wabah virus corona.

Kondisi seperti ini membuat daya tarik emas sebagai aset safe haven semakin meningkat.


Kondisi global saat ini membuat banyak analis memprediksi harga emas akan terus melanju naik di tahun ini. Analis dari bank investasi ternama, Goldman Sachs, memprediksi harga emas bisa menuju US$ 1.750/troy ons jika wabah virus corona terjadi hanya di kuartal I-2020. Tetapi jika wabah tersebut berlanjut hingga kuartal II-2020, Goldman memprediksi emas akan melesat ke US$ 1.850/troy ons. 

Goldman juga mengatakan emas menjadi alokasi investasi yang strategis untuk melindungi portofolio dari risiko wabah virus corona de-dolarisasi, serta negatif yield.

Sementara itu dalam survei tahunan London Bullion Market Association (LBMA) yang dirilis 3 Februari lalu, hasil survei terhadap 30 analis menunjukkan rata-rata harga emas di tahun ini diprediksi di level US$ 1.558,8/troy ons, naik 11,9% dibandingkan rata-rata actual tahun 2019 sebesar US$ 1.392,6/troy ons.

James Stell analis dari HSBC, yang disuervei LBMA memprediksi rata-rata harga emas berada di US$ 1.613/troy ons, dengan level terendah di US$ 1.475 dan tertinggi di US$ 1.705/troy ons. 



Sementara itu Ross Norman mantan CEO Sharps Pixely, salah satu broker emas terbesar di London, menjadi yang paling bullish dalam survei tersebut.

Norman memprediksi harga emas dunia bisa mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.080/troy ons di tahun ini, dengan level terendah di US$ 1.520/troy ons. Rata-rata harga emas di tahun ini diramal di level US$ 1.755/troy ons.

Untuk diketahui, Ross Norman pada tahun lalu menjadi pemenangan survei harga palladium. Rata-rata prediksi harga palladium yang ia berikan di tahun 2019 menjadi yang paling mendekati rata-rata aktual, dibandingkan dengan analis lainnya. 

Sementara pemenang survei harga emas tahun lalu, Rene Hochreiter dari Noah Capital Markets/Sieberana Research memprediksi rata-rata harga emas di tahun ini di level US$ 1.670/troy ons, dengan level terendah US$ 1.550/troy ons dan tertinggi di US$ 1.720/troy ons.

Dalam survei tersebut LBMA melihat ada tiga faktor utama yang menggerakkan harga emas di tahun ini. Pertama, tensi ekonomi dan geopolitik, misalnya perang dagang, Brexit, dan Pemilu AS. Faktor ini diprediksi memberikan pengaruh sebesar 38% terhadap harga emas dunia.

Kedua, dengan pengaruh 35% adalah kebijakan moneter bank sentral dunia, khususnya bank sentral AS. Ketiga, adalah permintaan dari China dan India yang akan mempengaruhi pergerakan emas sebesar 15%. 12% sisanya dipengaruhi faktor-faktor lainnya.

Hasil survei LBMA tersebut dirilis sebelum wabah virus corona meluas hingga saat ini, yang membuat harga emas melesat hingga ke atas US$ 1.700/troy ons Senin kemarin. Itu artinya, meski tidak ada wabah virus corona, hasil survei dari LBMA menunjukkan harga emas memang diprediksi akan menguat di tahun ini.


Jika dilihat secara Teknikal, pada pertengahan tahun lalu Tim Riset CNBC Indonesia memberikan proyeksi harga emas berpeluang naik ke US$ 1.800/troy ons bahkan lebih tinggi lagi setelah menembus resisten (tahanan atas) di kisaran US$ 1.433/troy ons. Sejak saat itu, Tim Riset CNBC Indonesia memberikan outlook bullish bagi emas dalam jangka panjang. Artinya selama tidak kembali ke bawah US$ 1.433/troy ons, harga emas masih berpeluang terus menguat.

Emas Sudah Cicipi US$ 1.700/oz, Waktunya Beli atau Jual?Grafik: Emas (XAU/USD) Mingguan
Sumber: Refinitiv


Melihat grafik mingguan, harga emas saat ini bergerak di atas rerata pergerakan 50 pekan (moving average/MA 50), MA 100 dan MA 200. Posisi emas di atas ketiga MA tersebut menjadi sinyal peluang berlanjutnya penguatan emas. Sementara itu, indikator Stochastic berada di wilayah jenuh beli (overbought).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah jenuh beli, maka suatu harga suatu instrumen berisiko melemah.

Level US$ 1.700/troy ons yang merupakan level psikologis menjadi resisten (tahanan atas) terdekat. Jika kembali ditembus, dan bertahan di atas level tersebut, harga emas berpeluang terus naik menuju US$ 1.755/troy ons. Peluang ke US$ 1.800 menjadi terbuka jika emas juga melewati level tersebut.

Sementara selama tertahan di bawah US$ 1.700/troy ons, emas berisiko terkoreksi turun melihat indikator Stochastic yang overbought. Support (tahanan bawah) terdekat berada di kisaran US$ 1.545/troy ons, menjadi target penurunan emas. Jika dilewati, emas berisiko melemah ke US$ 1.450/troy ons.
Namun, selama bertahan di atas support US$ 1.545/troy ons, emas berpeluang kembali menguat.


TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular