
Newsletter
Bank China "Beraksi" Bangkitkan Ekonomi, BI?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 February 2020 06:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri kembali bervariasi pada perdagangan Rabu (19/2/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan pasar obligasi menguat. Sementara rupiah kembali membukukan pelemahan.
IHSG kemarin mengakhiri perdagangan di level 5.928,791 atau menguat 0,71%, sekaligus mencatat penguatan tiga hari beruntun. Total dalam tiga hari, IHSG menguat 1,05%.
Dari pasar obligasi, yield harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun turun 3,2 basis poin (bps) ke 6,527%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Sayangnya, penguatan di bursa saham dan pasar obligasi tidak mampu diikuti oleh rupiah. Mata Uang Garuda melemah 0,15% ke level Rp 13.680/US$.
Sepanjang pekan ini, IHSG selalu mampu membukukan penguatan di tengah wabah virus corona atau COVID-19 yang mengancam pertumbuhan ekonomi global.
Berdasarkan data dari satelit pemetaan ArcGis, jumlah korban meninggal kini lebih dari 2.000 orang, tepatnya 2.014 orang. Sementara jumlah yang terjangkit kini lebih dari 75.000 orang.
Penyebaran wabah COVID-19 terlihat mulai melandai, tetapi imunologi dan anggota satuan tugas COVID-19 AS, Anthony Faucy mengatakan China memang melaporkan penambahan jumlah korban meninggal dan terjangkit lebih sedikit dari sebelumnya, tetapi bukan berarti wabah virus corona mulai melambat.
"Kita harus melihat beberapa hari sebelum menentukan apakah itu benar atau itu hanya variasi yang umumnya terjadi" kata Fauci sebagaimana dilansir CNBC International.
Sementara itu analis dari Raymond James mengatakan "hal yang terburuk masih belum datang" dari wabah virus corona.
Meski demikian China mengirim kabar bagus. CNBC International yang mengutip media China melaporkan lebih dari 80% BUMN atau sekitar 20.000 anak perusahaan manufaktur sudah mulai beroperasi di Negeri Tiongkok.
Dengan mulai beroperasinya BUMN di China diharapkan mampu meredam dampak COVID-19 ke perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.
Sementara rupiah kembali melemah akibat dolar AS yang terlalu perkasa. Saat wabah COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda pelaku pasar masih berhati-hati masuk ke aset berisko, dan memilih bermain aman di aset safe haven, dolar AS salah satunya.
Apalagi data-data ekonomi negeri Paman Sam cukup bagus dibandingkan Jepang, di mana yen juga merupakan aset safe haven.
Sejak awal bulan ini data ekonomi AS memang dirilis cukup bagus yang membuat dolar AS perkasa. Pada pekan lalu Institute for Supply Management (ISM) melaporkan purchasing managers' index (ISM) bulan Januari naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 47,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi.
Rilis data tersebut terbilang mengejutkan mengingat polling Reuters memprediksi kenaikan hanya ke 48,5 atau masih berkontraksi. Sementara itu dari sektor non manufaktur, ISM melaporkan peningkatan ekspansi menjadi 55,5, dari sebelumnya 55.
Kemudian Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Januari ekonomi AS menyerap 225.000 tenaga kerja, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 147.000 tenaga kerja. Tingkat tenaga kerja naik menjadi 3,6% naik dari bulan Desember 3,5%. Selain itu rata-rata upah per jam tumbuh 0,2% di bulan Januari dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,1%.
Rilis data yang bagus tersebut menguatkan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk tidak lagi menurunkan suku bunga di tahun ini, dolar pun terus menunjukkan kekuatan.
Di sisi lain, Jepang terancam mengalami resesi setelah perekonomiannya berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.
Melihat perbandingan data tersebut, menjadi pilihan yang logis investor masuk ke dolar ketimbang yen, sehingga dolar AS jadi begitu perkasa dan rupiah terus tertekan.
IHSG kemarin mengakhiri perdagangan di level 5.928,791 atau menguat 0,71%, sekaligus mencatat penguatan tiga hari beruntun. Total dalam tiga hari, IHSG menguat 1,05%.
Dari pasar obligasi, yield harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun turun 3,2 basis poin (bps) ke 6,527%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Sayangnya, penguatan di bursa saham dan pasar obligasi tidak mampu diikuti oleh rupiah. Mata Uang Garuda melemah 0,15% ke level Rp 13.680/US$.
Sepanjang pekan ini, IHSG selalu mampu membukukan penguatan di tengah wabah virus corona atau COVID-19 yang mengancam pertumbuhan ekonomi global.
Berdasarkan data dari satelit pemetaan ArcGis, jumlah korban meninggal kini lebih dari 2.000 orang, tepatnya 2.014 orang. Sementara jumlah yang terjangkit kini lebih dari 75.000 orang.
Penyebaran wabah COVID-19 terlihat mulai melandai, tetapi imunologi dan anggota satuan tugas COVID-19 AS, Anthony Faucy mengatakan China memang melaporkan penambahan jumlah korban meninggal dan terjangkit lebih sedikit dari sebelumnya, tetapi bukan berarti wabah virus corona mulai melambat.
"Kita harus melihat beberapa hari sebelum menentukan apakah itu benar atau itu hanya variasi yang umumnya terjadi" kata Fauci sebagaimana dilansir CNBC International.
Sementara itu analis dari Raymond James mengatakan "hal yang terburuk masih belum datang" dari wabah virus corona.
Meski demikian China mengirim kabar bagus. CNBC International yang mengutip media China melaporkan lebih dari 80% BUMN atau sekitar 20.000 anak perusahaan manufaktur sudah mulai beroperasi di Negeri Tiongkok.
Dengan mulai beroperasinya BUMN di China diharapkan mampu meredam dampak COVID-19 ke perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.
Sementara rupiah kembali melemah akibat dolar AS yang terlalu perkasa. Saat wabah COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda pelaku pasar masih berhati-hati masuk ke aset berisko, dan memilih bermain aman di aset safe haven, dolar AS salah satunya.
Apalagi data-data ekonomi negeri Paman Sam cukup bagus dibandingkan Jepang, di mana yen juga merupakan aset safe haven.
Sejak awal bulan ini data ekonomi AS memang dirilis cukup bagus yang membuat dolar AS perkasa. Pada pekan lalu Institute for Supply Management (ISM) melaporkan purchasing managers' index (ISM) bulan Januari naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 47,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi.
Rilis data tersebut terbilang mengejutkan mengingat polling Reuters memprediksi kenaikan hanya ke 48,5 atau masih berkontraksi. Sementara itu dari sektor non manufaktur, ISM melaporkan peningkatan ekspansi menjadi 55,5, dari sebelumnya 55.
Kemudian Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Januari ekonomi AS menyerap 225.000 tenaga kerja, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 147.000 tenaga kerja. Tingkat tenaga kerja naik menjadi 3,6% naik dari bulan Desember 3,5%. Selain itu rata-rata upah per jam tumbuh 0,2% di bulan Januari dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,1%.
Rilis data yang bagus tersebut menguatkan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk tidak lagi menurunkan suku bunga di tahun ini, dolar pun terus menunjukkan kekuatan.
Di sisi lain, Jepang terancam mengalami resesi setelah perekonomiannya berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.
Melihat perbandingan data tersebut, menjadi pilihan yang logis investor masuk ke dolar ketimbang yen, sehingga dolar AS jadi begitu perkasa dan rupiah terus tertekan.
Pages
Most Popular