
Newsletter
Bank China "Beraksi" Bangkitkan Ekonomi, BI?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 February 2020 06:41

Wall Street yang menguat, dengan indeks S&P 500 dan Nasdaq yang mencetak rekor tertinggi tentunya mengirim sentimen positif ke pasar Asia hari ini.
Komisi Kesehatan National China, kemarin melaporkan jumlah kasus baru Covid-19 sebanyak 1.749 orang, penambahan tersebut menjadi yang paling sedikit sejak akhir Januari. Hal tersebut bisa memberikan sentimen positif, tetapi tentunya tetap berhati-hati apakah penurunan jumlah kasus tersebut akan terus berlanjut, atau akan kembali melonjak nantinya.
Seperti yang diungkapkan oleh anggota satuan tugas Covid-19 AS, perlu berberapa hari untuk memastikan apakah wabah yang sudah menewaskan lebih dari 2.000 orang tersebut benar-benar melambat penyebarannya.
Selain itu, China yang sekali lagi berusaha meminimalisir dampak virus corona ke perekonomian membuat sentimen pelaku pasar membaik.
CNBC International yang mengutip Bloomberg mewartakan jika Pemerintah Beijing sedang mempertimbangkan untuk menyuntikkan modal atau melakukan merger guna menyelamatkan industri penerbangan yang terpukul akibat wabah Covid-19.
Di awal pekan ini, bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) juga bertindak guna meredam dampak wabah virus corona ke perekonomian.
PBoC mengumumkan penurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Penurunan tersebut dimaksudkan untuk menambah likuiditas di pasar, sehingga roda perekonomian bisa berputar. Penurunan MLF hari ini diyakini pelaku pasar sebagai pembuka jalan pemangkasan Loan Prime Rate (LPR) yang akan diumumkan hari ini.
Bukan di pekan ini saja China bertindak, di awal bulan lalu PBoC sudah menurunkan suku bunga reverse repo tenor 7 hari i menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55%. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Setiap kali China "beraksi" selalu disambut baik oleh pelaku pasar, IHSG berpeluang memperpanjang penguatannnya, begitu juga dengan SUN.
Sementara itu rupiah mendapat tantangan yang cukup berat, dolar AS sedang perkasa-perkasanya. Indeks dolar yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam tersebut menguat 0,15% ke 99,589 yang merupakan level tertinggi dalam hampir tiga tahun terakhir, atau sejak Mei 2017.
Data terbaru menunjukkan indeks harga produsen naik 0,5% month-on-month (MoM) di bulan Januari, jauh lebih tinggi dari kenaikan bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters sebesar 0,1%, Sementara itu indeks harga produsen inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan, juga naik 0,5% MoM, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters 0,2%.
Rilis tersebut memberikan gambaran inflasi yang dilihat dari indeks harga konsumen akan berpeluang naik. Data tersebut melengkapi serangkaian data cukup bagus yang dirilis sejak awal bulan.
Data terbaru ini tentunya memperkuat sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk tidak lagi menurunkan suku bunga di tahun ini, dolar pun menjadi perkasa.
Sementara itu dari dalam negeri, para pelaku pasar menanti pengumuman suku bunga dari Bank Indonesia (BI) hari ini.
Menurut poling yang dihimpun CNBC Indonesia, pasar terbelah. Dari 11 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus pasar CNBC Indonesia, enam di antaranya memperkirakan suku bunga acuan bertahan di 5%. Sisanya meramal BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%.
Sementara itu polling Reuters menunjukkan BI diprediksi memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 4,75%.
Pemangkasan suku bunga tentunya diharapkan akan lebih memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kemungkinan juga akan terseret pelambatan ekonomi China.
Meski imbal hasil berinvestasi di dalam negeri akan menurun jika suku bunga diturunkan, tetapi tetap akan relative lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga lainnya ataupun negara-negara emerging market. Sehingga investasi di Indonesia masih tetap menarik.
Dengan demikian pemangkasan suku BI bisa jadi akan direspon positif karena roda perekonomian diharapkan berputar lebih kencang dan imbal hasil yang masih cukup menarik. Selain IHSG dan SUN, rupiah juga berpeluang menguat.
(pap)
Komisi Kesehatan National China, kemarin melaporkan jumlah kasus baru Covid-19 sebanyak 1.749 orang, penambahan tersebut menjadi yang paling sedikit sejak akhir Januari. Hal tersebut bisa memberikan sentimen positif, tetapi tentunya tetap berhati-hati apakah penurunan jumlah kasus tersebut akan terus berlanjut, atau akan kembali melonjak nantinya.
Seperti yang diungkapkan oleh anggota satuan tugas Covid-19 AS, perlu berberapa hari untuk memastikan apakah wabah yang sudah menewaskan lebih dari 2.000 orang tersebut benar-benar melambat penyebarannya.
Selain itu, China yang sekali lagi berusaha meminimalisir dampak virus corona ke perekonomian membuat sentimen pelaku pasar membaik.
CNBC International yang mengutip Bloomberg mewartakan jika Pemerintah Beijing sedang mempertimbangkan untuk menyuntikkan modal atau melakukan merger guna menyelamatkan industri penerbangan yang terpukul akibat wabah Covid-19.
Di awal pekan ini, bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) juga bertindak guna meredam dampak wabah virus corona ke perekonomian.
PBoC mengumumkan penurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Penurunan tersebut dimaksudkan untuk menambah likuiditas di pasar, sehingga roda perekonomian bisa berputar. Penurunan MLF hari ini diyakini pelaku pasar sebagai pembuka jalan pemangkasan Loan Prime Rate (LPR) yang akan diumumkan hari ini.
Bukan di pekan ini saja China bertindak, di awal bulan lalu PBoC sudah menurunkan suku bunga reverse repo tenor 7 hari i menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55%. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Setiap kali China "beraksi" selalu disambut baik oleh pelaku pasar, IHSG berpeluang memperpanjang penguatannnya, begitu juga dengan SUN.
Sementara itu rupiah mendapat tantangan yang cukup berat, dolar AS sedang perkasa-perkasanya. Indeks dolar yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam tersebut menguat 0,15% ke 99,589 yang merupakan level tertinggi dalam hampir tiga tahun terakhir, atau sejak Mei 2017.
Data terbaru menunjukkan indeks harga produsen naik 0,5% month-on-month (MoM) di bulan Januari, jauh lebih tinggi dari kenaikan bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters sebesar 0,1%, Sementara itu indeks harga produsen inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan, juga naik 0,5% MoM, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,1% dan prediksi Reuters 0,2%.
Rilis tersebut memberikan gambaran inflasi yang dilihat dari indeks harga konsumen akan berpeluang naik. Data tersebut melengkapi serangkaian data cukup bagus yang dirilis sejak awal bulan.
Data terbaru ini tentunya memperkuat sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk tidak lagi menurunkan suku bunga di tahun ini, dolar pun menjadi perkasa.
Sementara itu dari dalam negeri, para pelaku pasar menanti pengumuman suku bunga dari Bank Indonesia (BI) hari ini.
Menurut poling yang dihimpun CNBC Indonesia, pasar terbelah. Dari 11 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus pasar CNBC Indonesia, enam di antaranya memperkirakan suku bunga acuan bertahan di 5%. Sisanya meramal BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%.
Sementara itu polling Reuters menunjukkan BI diprediksi memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 4,75%.
Pemangkasan suku bunga tentunya diharapkan akan lebih memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kemungkinan juga akan terseret pelambatan ekonomi China.
Meski imbal hasil berinvestasi di dalam negeri akan menurun jika suku bunga diturunkan, tetapi tetap akan relative lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga lainnya ataupun negara-negara emerging market. Sehingga investasi di Indonesia masih tetap menarik.
Dengan demikian pemangkasan suku BI bisa jadi akan direspon positif karena roda perekonomian diharapkan berputar lebih kencang dan imbal hasil yang masih cukup menarik. Selain IHSG dan SUN, rupiah juga berpeluang menguat.
(pap)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Most Popular