Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan pertama di bulan Februari, Senin (3/2/2020), dengan kurang menggembirakan.
Pada perdagangan pertama di bulan Februari, IHSG melemah 0,94% ke level 5.884,17. Namun, IHSG menghijau pada perdagangan berikutnya, Selasa (4/2/2020). Pada perdagangan hari Selasa, IHSG menguat 0,65% ke level 5.922,34.
Jika berkaca kepada sejarah, sejatinya bulan Februari bisa dikatakan sebagai bulan yang bersahabat bagi pelaku pasar saham Tanah Air. Dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya tiga kali membukukan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Januari, yakni pada tahun 2010, 2018, dan 2019.
Apresiasi terbaik IHSG pada bulan Februari terjadi pada tahun 2013. Per akhir Februari 2013, IHSG melejit hingga 7,68% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Januari 2013.
Jika dirata-rata, IHSG membukukan imbal hasil sebesar 1,94% secara bulanan pada bulan Februari.
Lantas, bagaimana kira-kira nasib IHSG pada bulan ini?
Penyebaran infeksi virus Corona menjadi faktor utama yang harus diperhatikan pelaku pasar saham Tanah Air pada bulan ini.
Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.
Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Dilansir dari halaman resmi Center for Disease Control and Prevention (CDC), hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.
China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.
[Gambas:Video CNBC]
Melansir publikasi dari Johns Hopkins, hingga kini sebanyak 491 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 24.500.
Kini, korban meninggal akibat virus Corona juga ditemui di luar China, tepatnya di Filipina dan Hong Kong.
Seperti yang diketahui, pada pekan lalu Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO, mendeklarasikan kondisi darurat internasional terkait infeksi virus Corona.
"Kekhawatiran terbesar kami adalah potensi penyebaran virus ke negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah," kata Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis (30/1/2020), sebagaimana dikutip dari AFP.
Ia menegaskan peningkatan status ini menjadikan penyebaran virus Corona sebagai hal darurat yang perlu diperhatikan masyarakat internasional. Meski begitu, ini bukan berarti WHO tidak percaya kepada kemampuan China dalam menangani penyebaran virus tersebut.
Tetap saja, penyebarannya yang masif menjadi fokus badan dunia ini, apalagi jika masuk ke wilayah yang penanganan kesehatannya jauh di bawah China.
"Kita semua harus bertindak bersama sekarang untuk membatasi penyebaran lebih lanjut ... Kita hanya bisa menghentikannya bersama," tegasnya lagi.
Sebagai catatan, kondisi darurat internasional sudah lima kali dideklarasikan oleh WHO sejak aturannya berlaku pada tahun 2007 silam, yakni untuk flu babi, polio, Zika, Ebola, dan kini virus Corona.
Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja.
Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
"Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P.
Kalau ekonomi China melambat, maka laju perekonomian global dipastikan akan tertekan. Pasalnya, sejauh ini China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global.
Bagi Indonesia, tekanan terhadap perekonomian China dipastikan akan berdampak negatif terhadap perekonomian. Sebab, China merupakan pasar ekspor utama bagi Indonesia.
Sepanjang tahun 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas ke China bernilai US$ 25,85 miliar atau setara dengan 16,68% dari total ekspor non-migas. China merupakan negara tujuan ekspor non-migas terbesar bagi Indonesia.
Lebih lanjut, China juga merupakan salah satu investor sektor riil terbesar di Indonesia. Menurut data yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai penanaman modal asing (PMA) atau f
oreign direct investment (FDI) dari China pada tahun 2019 adalah US$ 4,7 miliar atau setara dengan 16,8% dari total PMA Indonesia pada periode tersebut.
China merupakan negara asal PMA terbesar kedua setelah Singapura yang menyuntikkan dana segar hingga US$ 6,5 miliar ke Indonesia.
Berdasarkan kajian Bank Dunia, setiap perlambatan ekonomi China sebesar 1 persentase poin, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berkurang sebesar 0,3 persentase poin.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di level 5,3%. Jika pertumbuhan ekonomi China terpangkas 1,2 persentase poin karena virus Corona, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan berkurang menjadi 4,94% saja. Selain penyebaran infeksi virus Corona, pelaku pasar patut mencermati sentimen lain yakni masih berkubangnya Hong Kong di jurang resesi.
Pada hari Senin, Hong Kong merilis pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal IV-2019. Sepanjang tiga bulan terakhir tahun 2019, perekonomian Hong Kong tercatat tumbuh negatif alias terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan.
Lantas, perekonomian Hong Kong masih berkurang di jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi sendiri merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Pada kuartal II-2019, perekonomian Hong Kong tercatat terkontraksi sebesar 0,5% secara kuartalan, disusul oleh kontraksi sebesar 3,2% pada kuartal III-2019.
Gelombang demonstrasi yang berkepanjangan menjadi faktor utama yang menempatkan Hong Kong ke dalam jurang resesi.
Seperti yang diketahui, Hong Kong menjadi bahasan panas dalam beberapa waktu terakhir, baik oleh masyarakat umum, maupun juga pelaku pasar keuangan dunia. Dalam beberapa waktu terakhir, aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di sana, melibatkan jutaan orang dan begitu banyak tetesan darah.
Aksi demonstrasi di Hong Kong pada awalnya dipicu oleh sebuah rancangan undang-undang (RUU) terkait ekstradisi yang diperkenalkan oleh Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam.
Kala sebuah negara mengalami resesi, khususnya jika negara itu merupakan negara dengan nilai perekonomian yang besar, maka laju perekonomian global juga akan terganggu.
Secara nilainya, perekonomian Hong Kong terbilang besar. Walaupun tak sebesar AS, Jerman, dan Inggris yang semuanya berpotensi mengalami resesi, Hong Kong jelas tak bisa dianggap sepele.
Berdasarkan World Economic Outlook edisi Oktober 2019 yang dipublikasikan oleh International Monetary Fund (IMF), Hong Kong merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar ke-34 di dunia.
Sepanjang tahun 2018, data yang kami lansir dari Trade Map menunjukkan bahwa Indonesia membukukan total ekspor barang senilai US$ 180,2 miliar. Total ekspor barang ke Hong Kong pada tahun 2018 adalah senilai US$ 2,56 miliar.
Jika dihitung secara persentase, sebanyak 1,4% dari total ekspor barang Indonesia pada tahun 2018 dikirimkan ke Hong Kong.
Jadi, kontribusi Hong Kong dari total ekspor Indonesia tidaklah besar, hanya 1,4%.
Namun, ternyata Hong Kong merupakan investor kelas kakap bagi Indonesia. Pada tahun 2018, dana segar senilai US$ 2 miliar dibawa masuk ke Indonesia oleh investor asal Hong Kong, melansir data yang dipublikasikan oleh BKPM. Nilai tersebut setara dengan 6,8% dari total realisasi PMA pada tahun 2018 yang mencapai US$ 29,3 miliar.
Pada tahun 2019, realisasi investasi dari investor asal Hong Kong meningkat menjadi US$ 2,9 miliar. Secara persentasenya, kontribusi Hong Kong dari total realisasi PMA meningkat menjadi 10,2% pada tahun 2019, dari yang sebelumnya 6,8% pada tahun 2018.
Jadi, ancaman bagi perekonomian Indonesia yang datang dari berkubangnya Hong Kong di jurang resesi benar-benar tak bisa dipandang sebelah mata oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan seluruh pembantunya di Kabinet Indonesia Maju. Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi pasar saham datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi untuk periode kuartal IV-2019, sekaligus keseluruhan tahun 2019. Angka pertumbuhan ekonomi dirilis oleh BPS pada siang hari ini, Rabu (5/2/2020).
Sepanjang kuartal IV-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,97%, di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan perekonomian tumbuh mencapai 5,04%.
Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,02%, di bawah konsensus yang sebesar 5,035%. Pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 merupakan pertumbuhan ekonomi terlambat sejak tahun 2015 silam.
Sebelum angka pertumbuhan ekonomi dirilis oleh BPS, IHSG ditransaksikan menguat 0,59% ke level 5.957,06, sebelum apresiasinya akhirnya menipis menjadi 0,44% per akhir sesi satu.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun, sejak awal tahun 2019 perekonomian sudah terlihat lesu.
Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.
Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan. Lantas, dari data hingga sembilan bulan pertama tahun 2019 sudah bisa disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2019 tak akan bisa menyamai capaian tahun 2018 yang mencapai 5,17%.
Memasuki tahun 2020, perekonomian terlihat masih lesu. Sepanjang Januari 2020, BPS mencatat inflasi berada di level 0,39% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,68%.
Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,46% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,85%.
Sebagai catatan, dalam beberapa waktu terakhir inflasi Indonesia selalu berada di bawah ekspektasi. Untuk periode Desember 2019 misalnya, BPS mengumumkan terjadi inflasi sebesar 0,34% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan yang juga merupakan inflasi untuk keseluruhan tahun 2019 berada di level 2,72%.
"Dengan inflasi Desember 2019 0,34% maka inflasi 2019 secara keseluruhan 2,72%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS pada awal tahun ini.
Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,51%, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,93%.
Sebelumnya lagi pada awal Desember 2019, BPS mengumumkan bahwa sepanjang November 2019 terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan tercatat di level 3%.
Inflasi pada November 2019 berada di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Median dari 12 ekonom yang ikut berpartisipasi dalam pembentukan konsensus kala itu memproyeksikan tingkat inflasi secara bulanan di level 0,2%, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan berada di angka 3,065%.
Rilis angka inflasi yang kembali berada di bawah ekspektasi pada bulan Januari praktis menguatkan pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah.
TIM RISET CNBC INDONESIA