Inggris Cerai dari Uni Eropa Pekan Depan, Pasar Sudah Siap?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 January 2020 20:01
Inggris Cerai dari Uni Eropa Pekan Depan, Pasar Sudah Siap?
Foto: Anti Brexit aksi protes di depan Gedung Parlemen, London, Britania. REUTERS/Henry Nicholls
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah tiga tahun melakukan perundingan, Inggris akhirnya akan resmi bercerai dengan Uni Eropa (UE) pada Jumat (31/1/2020) pukul 23:00 GMT. Rancangan undang-undang keluarnya Inggris dari UE atau yang dikenal dengan Brexit sudah resmi diteken oleh Perdana Menteri (PM) Boris Johnson pada Sabtu (25/1/2020) kemarin.

Perceraian Inggris dengan Uni Eropa dimulai pada pertengahan 2016 lalu saat rakyat Inggris mengadakan referendum untuk memutuskan apakah Inggris masih akan bergabung dengan UE atau keluar.

PM Inggris saat itu David Cameron berada di pihak yang ingin masih tetap di UE. Dan Boris Johnson, meski satu partai dengan Cameron (Partai Konservatif) merupakan pentolan dari pihak yang menginginkan bercerai.

Hasilnya referendum tersebut terbilang mengejutkan, rakyat Inggris menginginkan bercerai dengan UE. Dampaknya pasar finansial Inggris mengalami shock, nilai tukar poundsterling jeblok ke level terendah dalam 30 tahun terakhir, dan yield obligasi tenor 10 tahun turun hingga ke rekor terendah sepanjang masa.

Sementara itu, indeks FTSE 100 Inggris turun ke level terlemah lima bulan. Tetapi yang menarik, FTSE hanya mengalami aksi jual selama dua hari, setelahnya justru terus menguat.


Hasil referendum tersebut juga membuat David Cameron mengundurkan diri sebagai PM dan digantikan oleh Theresa May. Kurang lebih tiga tahun lamanya, PM May memimpin negosiasi Brexit dan selalu berujung pada kegagalan.

Namun, kegagalan tersebut justru di dapat dari Parlemen Inggris. Rancangan undang-undang atau yang dikenal withdrawal agreement bill yang sudah disetujui oleh Pemerintah Inggris dengan UE selalu ditolak oleh Parlemen Inggris.

Setelah beberapa kali gagal mendapat dukungan dari Parlemen Inggris, Theresa May pada akhirnya mengundurkan diri sebagai PM pertengahan 2016 dan digantikan oleh Boris Johnson.

Di bawah komando PM Johnson, withdrawal agreement bill yang dibuatnya juga mendapat penolakan dari parlemen, hingga akhirnya PM Johnson memutuskan untuk melaksanakan Pemilihan Umum pada 12 Desember 2019, guna memperkuat posisinya di parlemen.

Strateginya jitu, Partai Konservatif meraih kursi mayoritas parlemen yang juga loyalis Johnson.

Rancangan undang-undang Brexit akhirnya mulus mendapat dukungan parlemen dan resmi menjadi undang-undang, Inggris pada akhirnya akan bercerai dengan Uni Eropa pekan depan.

Dalam tiga tahun terakhir, pasar finansial Inggris sangat dipengaruhi oleh proses perundingan Brexit. Ketika ada kabar baik, maka pasar finansial akan membukukan kinerja positif, sebaliknya ketika datang kabar buruk, aksi jual akan terjadi. 

Kabar baik dalam hal ini adalah soft Brexit, artinya Inggris akan keluar dari UE dengan beberapa kesepakatan termasuk mempertahankan beberapa bagian dalam satu serikat pabean, sehingga mengurangi terjadinya shock. Sementara kabar buruknya adalah hard Brexit, artinya Inggris keluar dari UE dan tidak lagi tergabung dalam satu wilayah serikat pabean, tetapi ada beberapa kesepakatan dan ada masa transisi untuk melakukan perundingan dagang. 

Ada lagi no deal Brexit, artinya Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan apapun dan tanpa masa transisi. 

Yang terjadinya pada 31 Januari nanti adalah Inggris keluar dari Uni Eropa dengan masa transisi hingga akhir 2020. Tetapi pelaku pasar masih melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang positif, setidaknya dari sudut pandang adanya kepastian setelah selama tiga tahun tidak jelas kemana arahnya. 

Nantinya yang lebih penting adalah perundingan dagang yang akan dilakukan selama masa transisi, dan selama itu berlangsung Inggris masih dalam satu serikat kepabean tetapi sudah tidak terlibat dalam urusan politik.



Kesiapan pelaku pasar menghadapi Brexit terlihat dari indeks FTSE yang masih membukukan kinerja positif di tahun ini. Sejak awal perdagangan 2020 hingga Jumat (24/1/2020) lalu, FTSE menguat 0,6%, bahkan sempat mencapai level tertinggi enam bulan pada pekan lalu. 

Selain itu poundsterling melemah 1,38% tetapi masih menguat 8,66% dibandingkan bulan September 2019 lalu ketika mencapai rekor penutupan terendah dalam 34 tahun terakhir. Sementara yield obligasi tenor 10 tahun turun 26,1 basis poin (bps) dan berada di level terendah sejak Oktober lalu. 

Tetapi pelemahan poundsterling dan turunya yield akibat kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral Inggris dalam waktu dekat. 



Kesiapan pelaku pasar menghadapi Brexit juga terlihat dari masuknya aliran modal ke saham dan reksa dana di Inggris. Berdasarkan data EPRF Global, sejak Partai Konservatif memenangi Pemilu bulan lalu, aliran modal yang masuk ke saham dan reksa dana sebesar US$ 1,9 miliar, sebagaimana dilansir Bloomberg

Selain itu, dari sektor riil, aktivitas sektor manufaktur yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) naik ke level tertinggi sembilan bulan di Januari ini, sementara sektor jasa melesat ke level tertinggi sejak September 2018. 

Data tersebut menunjukkan perekonomian Inggris mulai bergeliat di awal 2020, yang mengindikasikan pelaku pasar sudah siap dengan perceraian Inggris dengan Uni Eropa. 


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular