Virus Corona Meluas, Rupiah Sang Juara Dunia Bisa Tumbang?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 January 2020 10:20
Virus Corona Meluas, Rupiah Sang Juara Dunia Bisa Tumbang?
Foto: detik.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terus menunjukkan keperkasaan melawan dolar Amerika Serikat (AS), bahkan ketika pasar dibuat cemas akan penyebaran virus corona.

Pada perdagangan Jumat (24/1/2020) rupiah mencatat penguatan 0,44% di level Rp 13.565/US$, sementara dalam sepekan penguatan tercatat sebesar 0,48%. Tidak hanya itu, rupiah juga membukukan penguatan delapan pekan beruntun.


Mata Uang Garuda kian mengokohkan posisinya di level terkuat sejak Februari 2018, sejak awal perdagangan 2020 hingga Jumat lalu rupiah tercatat menguat 2,29% melawan dolar AS. Penguatan tersebut menjadikan rupiah raja alias mata uang dengan kinerja terbaik di dunia.

Sepanjang pekan ini, pelaku pasar di buat cemas akan menyebarnya virus corona yang sudah menewaskan puluhan orang di China. Ketika pelaku pasar cemas, aset-aset berisiko dan berimbal hasil tinggi akan ditinggalkan, dan masuk ke aset safe haven.

Rupiah seharusnya tertekan, tetapi sebaliknya, Mata Uang Garuda kebal terhadap isu tersebut. Terbukti pada hari Kamis (23/1/2020), saat mata utama Asia berguguran, rupiah justru mampu menguat bersama dengan yen yang merupakan aset safe haven. Penguatan rupiah tersebut malah semakin menjadi-jadi pada perdagangan Jumat.

Virus Corona Kian Menyebar, Rupiah Sang Raja Bisa Tumbang?Foto: Refinitiv


Merespon penyebaran virus corona, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Kamis lalu belum menjadikan penyebaran virus corona sebagai darurat kesehatan publik internasional atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Organisasi di bawah naungan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) itu menilai masih terlalu awal untuk melakukan itu.

"Agak terlalu dini untuk menganggap ini sebagai darurat internasional. Jangan salah, ini adalah kondisi darurat di China tetapi belum di level internasional," kata Didier Houssin, Ketua Panel Komite Darurat WHO, sebagaimana diberitakan Reuters Kamis (23/1/2020).

Namun, kini penyebaran virus tersebut nyaris bertambah dua kali lipat. Mengutip CNBC International, pada Jumat lalu korban meninggal di China akibat virus corona sebanyak 26 orang, dengan total yang terjangkit lebih dari 800 orang di berbagai negara.

Sementara pada hari ini, Minggu (26/1/2020) pagi, jumlah korban meninggal sebanyak 42 orang dan total yang terjangkit lebih dari 1400 orang.



Sementara itu Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (Center for Desease and Prevention/CDC) AS mengkonfirmasi sudah dua kasus virus corona yang ada di AS, dan masih mengawasi 63 kasus di 22 negara bagian. Kanada juga telah melaporkan dugaan warganya yang terjangkit virus corona, yang sebelumnya sempat berkunjung ke kota Wuhan di China.

Australia juga sudah melaporkan empat kasus yang diduga virus corona. Keempat orang tersebut berasal dari China. Beberapa negara lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Thailand, hingga Singapura sebelumnya juga sudah melaporkan dugaan kasus virus corona. 

Wuhan ditengarai sebagai asal virus corona, kota dengan jumlah penduduk sekitar 11 juta orang tersebut kini sudah diisolasi oleh Pemerintah China. Sementara itu Hong Kong sudah mendeklarasikan darurat virus corona, meliburkan sekolah hingga 17 Februari, serta membatalkan semua perjalan ke China daratan. Korban meninggal di Hong Kong akibat virus corona mencapai 11 orang dan semuanya dilaporkan sempat berpergian ke Wuhan.

Semakin banyaknya kasus virus corona kemungkinan membuat posisi rupiah goyah. Jumlah korban meninggal yang bertambah banyak dalam waktu singkat, serta penyebarannya ke berbagai negara tentunya membuat pelaku pasar dibuat semakin cemas dan bisa jadi akan semakin yakin untuk keluar dulu dari aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi dan memiliih bermain aman di aset safe haven.

Dolar AS merupakan salah satu mata uang safe haven, sehingga akan diuntungkan saat pelaku pasar keluar dari aset-aset berisiko.


Salah satu penyebab rupiah begitu perkasa adalah Bank Indonesia (BI) yang merestui penguatannya.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers pengumuman kebijakan moneter Kamis lalu mengatakan penguatan rupiah adalah hal yang wajar karena fundamental Indonesia terus membaik. Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada 2019 diperkirakan berada di kisaran 2,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan tetap stabil di level 2,5-3% pada 2020.

"Penguatan rupiah didorong pasokan valas dari para eksportir dan aliran modal asing sejalan prospek ekonomi Indonesia yang terjaga dan ketidakpastian global yang menurun," kata Perry, Kamis (23/1/2020).

"BI memandang penguatan rupiah sejalan dengan kondisi fundamental yang membaik, membaiknya mekanisme pasar, dan keyakinan pasar terhadap kebijakan BI dan pemerintah. Penguatan rupiah memberikan dampak positif terhadap momentum pertumbuhan ekonomi dan terjaganya stabilitas makroekonomi," papar Perry.



Rupiah memang sedang menjadi "kesayangan" para pelaku pasar, hal tersebut diungkapkan oleh analis Bank of America Merril Lynch, Rohit Garg, dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).

"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu," kata Garg. Dia menambahkan rupiah menjadi mata uang yang paling diuntungkan dari pemulihan ekonomi global serta kenaikan harga komoditas.

Gard juga mengatakan selain karena pemulihan ekonomi global, Bank Indonesia (BI) yang bisa menerima penguatan rupiah juga menjadi salah satu alasan rupiah menjadi "kesayangan" pelaku pasar, dan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia sepanjang tahun 2020.



Jika dilihat secara teknikal, penguatan rupiah terjadi setelah menembus ke batas bawah pola Descending Triangle, yang sebelumnya juga diikuti dengan munculnya pola Black Marubozu. 

Pola Descending Triangle pada rupiah terbentuk sejak bulan Agustus 2019, yang artinya sudah berlangsung selama lima bulan sebelum batas bawah (support) Rp 13.885/US$ berhasil ditembus di awal bulan ini. 

Sementara itu, pola Black Marubozu muncul pada Selasa (7/1/2020), rupiah saat itu membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 13.870/US$, atau menguat 0,47%.

Level pembukaan rupiah itu sekaligus menjadi titik terlemahnya, sementara level penutupan menjadi titik terkuat rupiah pada hari Selasa, secara teknikal pergerakan rupiah hari ini disebut Black Marubozu.

Virus Corona Kian Menyebar, Rupiah Sang Raja Bisa Tumbang?Foto: Refinitiv


Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrumen akan mengalami penurunan lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.

Sejak saat itu penguatan rupiah belum tebendung. Jika melihat Descending Triangle, dari titik atas Rp 14.525/US$ hingga ke batas bawah Rp 13.885/US$, ada jarak sebesar Rp 640. 

Ketika pola Descending Triangle berhasil ditembus, maka target yang dituju juga sebesar jarak titik atas hingga ke batas bawah. Dengan demikian, berdasarkan pola tersebut, secara teknikal rupiah masih memiliki ruang menguat hingga ke Rp 13.245/US$ dalam jangka menengah. 

Area Rp 13.885/US$ kini menjadi resisten (tahanan atas), selama tidak menembus ke atas level tersebut, rupiah cenderung akan menguat menuju target Rp 13.245/US$. 

TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular