Awas! Efek Virus Corona di Pasar Bisa Lebih Besar Dari SARS

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 January 2020 08:29
Awas! Efek Virus Corona di Pasar Bisa Lebih Besar Dari SARS
Foto: Hong Kong Terkena Corona. (AP Photo/Kin Cheung)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial global dikejutkan dengan penyebaran virus corona di pekan ini.

Virus corona merupakan keluarga besar virus yang biasanya menginfeksi hewan, namun lambat laun dapat berevolusi dan menyebar ke manusia. Gejala pertama yang akan terlihat pada manusia yang terinfeksi virus tersebut yaitu demam, batuk dan sesak napas, yang dapat berkembang menjadi pneumonia.

Virus tersebut pertama kali muncul di China dan telah menyebar ke negara-negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Thailand, hingga AS. Semuanya melibatkan turis China asal Wuhan.

China sudah mengisolasi kota Wuhan yang memiliki jumlah penduduk sekitar 11 juta orang. Sejauh ini virus corona sudah menyebabkan 42 orang meninggal dunia, dan menjangkiti lebih dari 1400 orang secara global, sebagaimana dilansir CNBC International Minggu (26/1/2020).

Jumlah korban yang meninggal tersebut naik signifikan dibandingkan Jumat (24/1/2020) sebanyak 26 orang.



Masih melansir CNBC International, Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (Center for Desease and Prevention/CDC) AS mengkonfirmasi sudah dua kasus virus corona yang ada di AS, dan masih mengawasi 63 kasus di 22 negara bagian. Kanada juga telah melaporkan dugaan warganya yang terjangkit virus corona, yang sebelumnya sempat berkunjung ke Wuhan. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menjadikan penyebaran virus corona sebagai darurat internasional. Organisasi di bawah naungan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) itu menilai masih terlalu awal untuk melakukan itu.

"Agak terlalu dini untuk menganggap ini sebagai darurat internasional. Jangan salah, ini adalah kondisi darurat di China tetapi belum di level internasional," kata Didier Houssin, Ketua Panel Komite Darurat WHO, sebagaimana diberitakan Reuters.

Meski demikian, Peter Piot, Profesor di London School od Hygiene and Tropical Medicine, menilai penyebaran virus corona sudah memasuki fase kritis. "Walau belum ada ketentuan dari WHO, tetapi dunia harus menekan bahkan menghentikan penyebaran virus ini. pemerintah dan WHO perlu terus memantau perkembangannya dengan seksama," tegasnya, seperti diwartakan Reuters.

Penyebaran virus corona mengingatkan pada penyebaran Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) pada tahun 2002 dan 2003 lalu. SARS pertama kali muncul di provinsi Guangdong China pada November 2002.

Dengan cepat SARS menyebar ke Hong Kong dan Vietnam dan setelahnya ke berbagai belahan dunia melalui wisatawan yang melakukan perjalanan udara.
Pada bulan Maret 2003, seorang wanita Kanada meninggal di Toronto setelah berkunjung ke Hong Kong. Sepanjang penyebarannya, SARS telah membuat 44 orang meninggal di Toronto.

Sejak pertama kali kemunculan SARS di Kanada, WHO akhirnya mengumumkan peringatan global.

Baru pada Juli 2003, WHO menyatakan penyebaran SARS berhenti. Total selama delapan bulan, lebih dari 8000 orang terjangkit SARS, dan sebanyak 775 orang meninggal dunia.


Sejak WHO mengumumkan peringatan global SARS, banyak wisatawan membatalkan perjalanannya, khususnya ke kawasan Asia dan Kanada. Piala Dunia sepak bola wanita yang seharusnya berlangsung di China pada tahun 2003 juga dipindahkan ke Amerika Serikat (AS). Dampaknya, industri pariwisata dunia, dan tentunya China mendapat pukulan telak.

Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 akibat merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.

"Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003," tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.

Pada tahun 2003, sektor jasa termasuk pariwisata di dalamnya berkontribusi sebesar 39% terhadap produk domestic bruto (PDB) China. Saat itu, nilai perekonomian China juga belum sebesar saat ini yang menjadi terbesar kedua di dunia setelah AS. China bahkan belum masuk lima besar perekonomian dunia. 



Kini setelah menjadi perekonomian terbesar kedua di dunia, sektor jasa China berkontribusi sebesar 59,4% terhadap PDB, sebagaimana dilansir CNBC International. Ini berarti perekomian China bisa mendapat pukulan lebih berat jika penyebaran virus corona tidak segera ditanggulangi.

Di awal penyebaran wabah SARS, perekonomian China melambat cukup signifinikan. Berdasarkan data Refinitiv, pada kuartal III-2002, produk domestik bruto (PDB) China tumbuh 9,6% secara tahunan, kemudian melambat menjadi 9,1% di kuartal selanjutnya. Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik lagi menjadi 11,1%, tetapi pada kuartal II-2003, perekonomian China menukik tajam dan hanya tumbuh 9,1%.

Untuk diketahui, pada tahun 2019 ekonomi China tumbuh 6,1% dan menjadi yang terendah nyaris tiga dekade terakhir. Dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, pelambatan ekonomi China tersebut turut menyeret turun perekonomian global, bahkan muncul isu resesi di berbagai negara. 

China dan AS baru saja meneken kesepakatan dagang fase I, yang memunculkan harapan akan bangkitnya perekonomian global, tetapi kini malah dibayangi oleh virus corona juga berdampak buruk ke perekonomian. 

Pelaku pasar dibuat cemas, dan beberapa kali memicu aksi jual di bursa saham China juga bursa saham global. Sepanjang pekan ini, indeks Shanghai Composite sudah anjlok lebih dari 3%. 

Sebagai gambaran ketika SARS menyebar pada akhir 2002 hingga pertengahan 2003, bursa saham China merosot tajam. 

Dalam tiga bulan pertama setelah kemunculan SARS, indeks Shanghai Composite merosot lebih dari 15%. Hingga akhirnya WHO menyatakan penyebaran SARS sudah terhenti, Indeks Shanghai masih tercatat melemah lebih dari 5%. 



Sementara itu bursa saham AS dengan indeks S&P 500 sebagai kiblat bursa saham dunia juga sempat merosot hingga lebih dari 12%, tetapi saat SARS dinyatakan berhenti menyebar pada Juli 2003, S&P 500 sudah kembali menguat 8%. 

Sementara itu bursa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia pada periode tersebut justru menguat sekitar 32%.
Patut diingat, ketika itu China belum masuk lima besar ekonomi dunia, sementara saat ini sudah menduduki peringkat kedua. Jadi pelambatan ekonomi China saat itu dampaknya ke global belum sebesar saat ini. 

Indeks S&P 500 yang masih bisa menguat saat penyebaran SARS, di pekan ini mengikuti indeks Shanghai dengan melemah lebih dari 1%, sementara IHSG turun 0,76%. 

Tidak menutup kemungkinan bursa saham global akan kembali mengalami aksi jual jika semakin banyak korban akibat penyebaran virus corona yang berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi China.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular