
Rupiah Melemah Salah, Menguat Salah! Kudu Piye, Pak Jokowi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 January 2020 10:54

Namun, seperti yang disampaikan Jokowi, apresiasi rupiah yang terlalu cepat dan tajam juga mengandung risiko. Meski impor bahan baku/penolong dan barang modal naik, jangan lupa impor barang konsumsi juga bakal lebih mudah saat rupiah menguat.
Pada Desember 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor barang konsumsi naik 12,18% year-on-year (YoY). Ini terjadi ketika impor bahan baku/penolong terkontraksi (tumbuh negatif) 7,27% YoY dan barang modal turun 8,47% YoY.
Sedangkan selama 2019, impor barang konsumsi memang terkontraksi 4,51%. Namun ini lebih rendah ketimbang penurunan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang masing-masing 11,07% dan 5,13%.
Kalau situasi seperti ini berlanjut akibat rupiah yang terus menguat, maka mimpi untuk membuat Indonesia menjadi negara yang produktif semakin sulit terwujud. Kemudahan mengimpor barang konsumsi membuat industriawan kian ogah berproduksi. Lebih baik menjadi pedagang saja, lebih enak, tidak perlu repot-repot.
Industri dalam negeri yang sulit tumbuh akan membuat Indonesia bakal terus-menerus menggantungkan hidup kepada komoditas. Pada 2019, ekspor Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar mineral (khususnya batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (terutama minyak sawit mentah/CPO).
Sampai kapan mau begini terus? Indonesia harus membangun industri pengolahan agar rakyat bisa menikmati nilai tambah dari penciptaan lapangan kerja. Ini bakal sulit terjadi kalau industriawan 'hijrah' menjadi pedagang gara-gara impor barang konsumsi lebih murah akibat penguatan rupiah.
BI tentu punya hitungan, seberapa jauh penguatan rupiah tidak akan membahayakan perekonomian domestik. Jangan sampai penguatan rupiah menjadi bumerang yang malah melukai perekonomian nasional.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pada Desember 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor barang konsumsi naik 12,18% year-on-year (YoY). Ini terjadi ketika impor bahan baku/penolong terkontraksi (tumbuh negatif) 7,27% YoY dan barang modal turun 8,47% YoY.
Sedangkan selama 2019, impor barang konsumsi memang terkontraksi 4,51%. Namun ini lebih rendah ketimbang penurunan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang masing-masing 11,07% dan 5,13%.
Kalau situasi seperti ini berlanjut akibat rupiah yang terus menguat, maka mimpi untuk membuat Indonesia menjadi negara yang produktif semakin sulit terwujud. Kemudahan mengimpor barang konsumsi membuat industriawan kian ogah berproduksi. Lebih baik menjadi pedagang saja, lebih enak, tidak perlu repot-repot.
Industri dalam negeri yang sulit tumbuh akan membuat Indonesia bakal terus-menerus menggantungkan hidup kepada komoditas. Pada 2019, ekspor Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar mineral (khususnya batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (terutama minyak sawit mentah/CPO).
Sampai kapan mau begini terus? Indonesia harus membangun industri pengolahan agar rakyat bisa menikmati nilai tambah dari penciptaan lapangan kerja. Ini bakal sulit terjadi kalau industriawan 'hijrah' menjadi pedagang gara-gara impor barang konsumsi lebih murah akibat penguatan rupiah.
BI tentu punya hitungan, seberapa jauh penguatan rupiah tidak akan membahayakan perekonomian domestik. Jangan sampai penguatan rupiah menjadi bumerang yang malah melukai perekonomian nasional.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular