
Rupiah Melemah Salah, Menguat Salah! Kudu Piye, Pak Jokowi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 January 2020 10:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpesan soal nilai tukar rupiah. Kepala Negara menyatakan rupiah yang menguat terlalu tajam dan cepat perlu diwaspadai.
"Nilai tukar kita menguat, kalau menguatnya terlalu cepat kita harus hati-hati. Ada yang senang, ada yang tidak senang. Eksportir pasti tidak senang karena rupiah menguat sehingga daya saing menurun," tegas Jokowi.
Jokowi sama sekali tidak salah. Penguatan rupiah memang agak 'ugal-ugalan' dibandingkan para tetangganya. Sejak akhir 2019 atau year-to-date, rupiah menguat 1,69% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan ini adalah yang paling tajam di antara mata uang utama Asia lainnya.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning secara year-to-date:
Penguatan rupiah bak dua sisi uang koin. Ada positifnya, yaitu membuat impor bahan baku/penolong dan barang modal menjadi lebih terjangkau. Pada gilirannya, kemudahan impor dua kelompok tersebut akan mendongrak investasi dan penciptaan lapangan kerja.
"Rupiah yang kuat juga akan membuat investor asing tertarik untuk berinvestasi di pasar keuangan Indonesia. Dengan begitu, defisit transaksi berjalan akan bisa tertutup oleh arus modal (capital inflow) sehingga memperkuat neraca pembayaran," sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.
Kemudian, lanjut Satria, penguatan rupiah juga akan menahan tekanan inflasi apabila harga minyak naik akibat situasi yang masih panas di Timur Tengah. Pemerintah tidak perlu menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) saat harga minyak dunia melonjak, karena biaya impor tidak ikut membengkak dengan rupiah yang menguat.
Dengan kondisi tersebut, Satria memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan membiarkan rupiah menguat untuk sementara waktu. Penguatan rupiah memberi ruang bagi bank sentral untuk merumuskan arah kebijakan moneter selanjutnya, tidak perlu terburu-buru.
Namun, seperti yang disampaikan Jokowi, apresiasi rupiah yang terlalu cepat dan tajam juga mengandung risiko. Meski impor bahan baku/penolong dan barang modal naik, jangan lupa impor barang konsumsi juga bakal lebih mudah saat rupiah menguat.
Pada Desember 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor barang konsumsi naik 12,18% year-on-year (YoY). Ini terjadi ketika impor bahan baku/penolong terkontraksi (tumbuh negatif) 7,27% YoY dan barang modal turun 8,47% YoY.
Sedangkan selama 2019, impor barang konsumsi memang terkontraksi 4,51%. Namun ini lebih rendah ketimbang penurunan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang masing-masing 11,07% dan 5,13%.
Kalau situasi seperti ini berlanjut akibat rupiah yang terus menguat, maka mimpi untuk membuat Indonesia menjadi negara yang produktif semakin sulit terwujud. Kemudahan mengimpor barang konsumsi membuat industriawan kian ogah berproduksi. Lebih baik menjadi pedagang saja, lebih enak, tidak perlu repot-repot.
Industri dalam negeri yang sulit tumbuh akan membuat Indonesia bakal terus-menerus menggantungkan hidup kepada komoditas. Pada 2019, ekspor Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar mineral (khususnya batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (terutama minyak sawit mentah/CPO).
Sampai kapan mau begini terus? Indonesia harus membangun industri pengolahan agar rakyat bisa menikmati nilai tambah dari penciptaan lapangan kerja. Ini bakal sulit terjadi kalau industriawan 'hijrah' menjadi pedagang gara-gara impor barang konsumsi lebih murah akibat penguatan rupiah.
BI tentu punya hitungan, seberapa jauh penguatan rupiah tidak akan membahayakan perekonomian domestik. Jangan sampai penguatan rupiah menjadi bumerang yang malah melukai perekonomian nasional.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
"Nilai tukar kita menguat, kalau menguatnya terlalu cepat kita harus hati-hati. Ada yang senang, ada yang tidak senang. Eksportir pasti tidak senang karena rupiah menguat sehingga daya saing menurun," tegas Jokowi.
Jokowi sama sekali tidak salah. Penguatan rupiah memang agak 'ugal-ugalan' dibandingkan para tetangganya. Sejak akhir 2019 atau year-to-date, rupiah menguat 1,69% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan ini adalah yang paling tajam di antara mata uang utama Asia lainnya.
Penguatan rupiah bak dua sisi uang koin. Ada positifnya, yaitu membuat impor bahan baku/penolong dan barang modal menjadi lebih terjangkau. Pada gilirannya, kemudahan impor dua kelompok tersebut akan mendongrak investasi dan penciptaan lapangan kerja.
"Rupiah yang kuat juga akan membuat investor asing tertarik untuk berinvestasi di pasar keuangan Indonesia. Dengan begitu, defisit transaksi berjalan akan bisa tertutup oleh arus modal (capital inflow) sehingga memperkuat neraca pembayaran," sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.
Kemudian, lanjut Satria, penguatan rupiah juga akan menahan tekanan inflasi apabila harga minyak naik akibat situasi yang masih panas di Timur Tengah. Pemerintah tidak perlu menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) saat harga minyak dunia melonjak, karena biaya impor tidak ikut membengkak dengan rupiah yang menguat.
Dengan kondisi tersebut, Satria memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan membiarkan rupiah menguat untuk sementara waktu. Penguatan rupiah memberi ruang bagi bank sentral untuk merumuskan arah kebijakan moneter selanjutnya, tidak perlu terburu-buru.
Namun, seperti yang disampaikan Jokowi, apresiasi rupiah yang terlalu cepat dan tajam juga mengandung risiko. Meski impor bahan baku/penolong dan barang modal naik, jangan lupa impor barang konsumsi juga bakal lebih mudah saat rupiah menguat.
Pada Desember 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor barang konsumsi naik 12,18% year-on-year (YoY). Ini terjadi ketika impor bahan baku/penolong terkontraksi (tumbuh negatif) 7,27% YoY dan barang modal turun 8,47% YoY.
Sedangkan selama 2019, impor barang konsumsi memang terkontraksi 4,51%. Namun ini lebih rendah ketimbang penurunan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang masing-masing 11,07% dan 5,13%.
Kalau situasi seperti ini berlanjut akibat rupiah yang terus menguat, maka mimpi untuk membuat Indonesia menjadi negara yang produktif semakin sulit terwujud. Kemudahan mengimpor barang konsumsi membuat industriawan kian ogah berproduksi. Lebih baik menjadi pedagang saja, lebih enak, tidak perlu repot-repot.
Industri dalam negeri yang sulit tumbuh akan membuat Indonesia bakal terus-menerus menggantungkan hidup kepada komoditas. Pada 2019, ekspor Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar mineral (khususnya batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (terutama minyak sawit mentah/CPO).
Sampai kapan mau begini terus? Indonesia harus membangun industri pengolahan agar rakyat bisa menikmati nilai tambah dari penciptaan lapangan kerja. Ini bakal sulit terjadi kalau industriawan 'hijrah' menjadi pedagang gara-gara impor barang konsumsi lebih murah akibat penguatan rupiah.
BI tentu punya hitungan, seberapa jauh penguatan rupiah tidak akan membahayakan perekonomian domestik. Jangan sampai penguatan rupiah menjadi bumerang yang malah melukai perekonomian nasional.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular