
Newsletter
Boleh Happy Jelang Deal Dagang AS-China Fase Satu, Tapi..
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
14 January 2020 06:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Kita menyaksikan fluktuasi yang cukup tinggi di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin, jelang kesepakatan dagang fase pertama antara Amerika Serikat (AS) dan China. Kesepakatan memang akan diteken, tapi perdamaian masih belum terlihat di pelupuk mata.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Senin (13/01/2020) memasuki jalur hijau ketika bel pembukaan perdagangan berdentang, dan sempat jatuh ke zona merah jelang sesi siang. Namun akhirnya, IHSG menguat 0,34% ke 6.296,57 pada sesi penutupan sore.
Optimisme pelaku pasar global atas de-eskalasi dagang AS dan China akhirnya dirasakan oleh investor di Indonesia, mengikuti tren di kawasan Asia. Indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,47%, Shanghai Composite China naik 0,75%, sementara Hang Seng Hong Kong dan Kospi Korea Selatan melesat lebih dari 1%.
Transaksi saham di BEI terbilang ramai dengan nilai Rp 6,71 triliun, atau lebih tinggi jika dibandingkan transaksi Jumat lalu (10/1) yang mencatatkan angka Rp 6,31 triliun. Kenaikan transaksi tersebut menandakan gairah pelaku pasar yang mulai meningkat.
Secara teknikal, IHSG memiliki kecenderungan menguat karena mulai bergerak di atas rata-rata nilai pergerakannya (moving average) selama lima hari terakhir (MA-5) di level 6.279.
Sepanjang Januari, IHSG masih berada di zona merah, meski tipis yakni -0,03%. Jika tren penguatan tersebut berlangsung konsisten, maka kita bisa melihat fenomena January Effect. Berkaca dari sejarah, dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya dua kali membukukan imbal hasil bulanan negatif pada Januari, yakni pada tahun 2011 dan 2017.
Investor asing kembali masuk pasar dan mencatatkan beli bersih (net buy) senilai Rp 380,41 miliar di pasar reguler, dan Rp 251,66 miliar di semua pasar. Net buy ini sejalan dengan pasar uang di mana rupiah menguat terhadap dolar AS, dengan menguat 0,65% ke level Rp 13.665/US$, dan berada di level terkuat sejak Februari 2018.
Mata Uang Garuda tersebut terhitung telah menguat selama 6 pekan berturut-turut, dengan akumulasi penguatan sebesar 2,45%. Penguatan terjadi bersamaan dengan terus masuknya investor asing ke pasar obligasi.
Harga obligasi rupiah pemerintah ditutup menguat pada Senin (13/01/2020) dan memperpanjang reli penguatan yang terjadi 4 hari sejak 8 Januari dengan sentimen utama prospek damai dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Seri acuan yang paling menguat adalah FR0082 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan imbal hasil (yield) sebesar 6,2 basis poin (bps) menjadi 6,86%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Penurunan yield mengindikasikan harga sedang naik karena aksi beli investor.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Senin (13/01/2020) memasuki jalur hijau ketika bel pembukaan perdagangan berdentang, dan sempat jatuh ke zona merah jelang sesi siang. Namun akhirnya, IHSG menguat 0,34% ke 6.296,57 pada sesi penutupan sore.
Optimisme pelaku pasar global atas de-eskalasi dagang AS dan China akhirnya dirasakan oleh investor di Indonesia, mengikuti tren di kawasan Asia. Indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,47%, Shanghai Composite China naik 0,75%, sementara Hang Seng Hong Kong dan Kospi Korea Selatan melesat lebih dari 1%.
Transaksi saham di BEI terbilang ramai dengan nilai Rp 6,71 triliun, atau lebih tinggi jika dibandingkan transaksi Jumat lalu (10/1) yang mencatatkan angka Rp 6,31 triliun. Kenaikan transaksi tersebut menandakan gairah pelaku pasar yang mulai meningkat.
Secara teknikal, IHSG memiliki kecenderungan menguat karena mulai bergerak di atas rata-rata nilai pergerakannya (moving average) selama lima hari terakhir (MA-5) di level 6.279.
Sepanjang Januari, IHSG masih berada di zona merah, meski tipis yakni -0,03%. Jika tren penguatan tersebut berlangsung konsisten, maka kita bisa melihat fenomena January Effect. Berkaca dari sejarah, dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya dua kali membukukan imbal hasil bulanan negatif pada Januari, yakni pada tahun 2011 dan 2017.
Investor asing kembali masuk pasar dan mencatatkan beli bersih (net buy) senilai Rp 380,41 miliar di pasar reguler, dan Rp 251,66 miliar di semua pasar. Net buy ini sejalan dengan pasar uang di mana rupiah menguat terhadap dolar AS, dengan menguat 0,65% ke level Rp 13.665/US$, dan berada di level terkuat sejak Februari 2018.
Mata Uang Garuda tersebut terhitung telah menguat selama 6 pekan berturut-turut, dengan akumulasi penguatan sebesar 2,45%. Penguatan terjadi bersamaan dengan terus masuknya investor asing ke pasar obligasi.
Harga obligasi rupiah pemerintah ditutup menguat pada Senin (13/01/2020) dan memperpanjang reli penguatan yang terjadi 4 hari sejak 8 Januari dengan sentimen utama prospek damai dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Seri acuan yang paling menguat adalah FR0082 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan imbal hasil (yield) sebesar 6,2 basis poin (bps) menjadi 6,86%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Penurunan yield mengindikasikan harga sedang naik karena aksi beli investor.
Pages
Most Popular