
Jokowi Mau Setop Ekspor Batu Bara, Nasib Ekonomi RI Gimana?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 January 2020 13:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo mulai berancang-ancang untuk menghentikan ekspor bahan mentah. Ia gemas melihat sumber daya yang dimiliki tanah air kerap dijadikan sumber duit dengan diekspor mentah-mentah ke luar negeri. Jokowi menginginkan, hal ini bisa berubah secara perlahan dan tak terjadi lagi di masa kepemimpinannya.
Indonesia, kata dia, sudah mulai dengan nikel dan kelapa sawit. Nikel, sejak Januari ini sudah setop ekspor mentah karena strategi ke depan akan fokus di industri lithium battery untuk mobil listrik. "Karena Indonesia adalah produsen terbesar nikel," jelasnya.
Ini, lanjutnya, terus dilakukan agar dalam 2-3 tahun mendatang tercipta industri lithium battery di Indonesia yang harganya bisa diterima pasar.
Selain nikel, komoditas lainnya juga akan menyusul. "Satu per satu akan kita setop, mungkin tahun depan bauksit, tahun depannya timah, tahun depannya batu bara, kopra juga setop," tegasnya.
Komoditas mentah memang masih menjadi andalan ekspor Indonesia hingga saat ini, dan batu bara menjadi salah satunya.
Berdasarkan data International Trade Center, pada tahun 2018 nilai ekspor bahan bakar mineral (kode HS 27) sebesar US$ 42,01 miliar, dari total ekspor sebesar US$ 180,22 miliar. Itu artinya, ekspor HS 27 berkontribusi sebesar 23,31% terhadap nilai ekspor RI. Persentase tersebut mengalami kenaikan dari dua tahun sebelumnya, yakni 19,29% di tahun 2016, dan 21,84% di tahun 2017.
Jika dilihat lebih detail, ekspor dengan kode HS 2701 (batu bara, briket, ovoid dan bahan bakar padat semacam itu dibuat dari batu bara) menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap ekspor bahan mineral RI, nilainya juga terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2016, ekspor batu bara, briket, ovoid dan bahan bakar padat semacam itu yang terbuat dari batu bara tercatat sebesar US$ 12,9 miliar dengan kontribusi sebesar 46,47% terhadap ekspor bahan mineral.
Angka tersebut meningkat cukup signifikan dalam dua tahun terakhir menjadi US$ 17,87 miliar dengan kontribusi 48,47% di tahun 2017, dan US$ 20,64 miliar di tahun 2018 dengan kontribusi sebesar 49,12% terhadap total ekspor bahan mineral.
Sementara jika dibandingkan dengan total ekspor RI, HS 2701 berkontribusi sebesar 8,93% di tahun 2016, 10,58% pada 2017, dan 11,45% di tahun 2018.
Melihat besarnya kontribusi tersebut, jika ekspor batu bara benar-benar disetop, pendapatan negara dari lebih dari US$ 20 miliar per tahun tentunya akan menguap. Defisit necara perdagangan akan membengkak, dampaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan semakin melebar.
Ketika itu terjadi stabilitas dalam negeri tentunya akan goyah kembali.
Tetapi pemerintah tentunya tidak akan ujug-ujug menyetop ekspor batu bara, sama seperti nikel yang ditargetkan menjadi baterai lithium, batu bara tentunya bisa diolah menjadi produk yang memberikan nilai tambah, sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih besar dari pada hanya mengekspor bahan mentah.
Indonesia, kata dia, sudah mulai dengan nikel dan kelapa sawit. Nikel, sejak Januari ini sudah setop ekspor mentah karena strategi ke depan akan fokus di industri lithium battery untuk mobil listrik. "Karena Indonesia adalah produsen terbesar nikel," jelasnya.
Ini, lanjutnya, terus dilakukan agar dalam 2-3 tahun mendatang tercipta industri lithium battery di Indonesia yang harganya bisa diterima pasar.
Komoditas mentah memang masih menjadi andalan ekspor Indonesia hingga saat ini, dan batu bara menjadi salah satunya.
Berdasarkan data International Trade Center, pada tahun 2018 nilai ekspor bahan bakar mineral (kode HS 27) sebesar US$ 42,01 miliar, dari total ekspor sebesar US$ 180,22 miliar. Itu artinya, ekspor HS 27 berkontribusi sebesar 23,31% terhadap nilai ekspor RI. Persentase tersebut mengalami kenaikan dari dua tahun sebelumnya, yakni 19,29% di tahun 2016, dan 21,84% di tahun 2017.
Jika dilihat lebih detail, ekspor dengan kode HS 2701 (batu bara, briket, ovoid dan bahan bakar padat semacam itu dibuat dari batu bara) menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap ekspor bahan mineral RI, nilainya juga terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2016, ekspor batu bara, briket, ovoid dan bahan bakar padat semacam itu yang terbuat dari batu bara tercatat sebesar US$ 12,9 miliar dengan kontribusi sebesar 46,47% terhadap ekspor bahan mineral.
Angka tersebut meningkat cukup signifikan dalam dua tahun terakhir menjadi US$ 17,87 miliar dengan kontribusi 48,47% di tahun 2017, dan US$ 20,64 miliar di tahun 2018 dengan kontribusi sebesar 49,12% terhadap total ekspor bahan mineral.
Sementara jika dibandingkan dengan total ekspor RI, HS 2701 berkontribusi sebesar 8,93% di tahun 2016, 10,58% pada 2017, dan 11,45% di tahun 2018.
Melihat besarnya kontribusi tersebut, jika ekspor batu bara benar-benar disetop, pendapatan negara dari lebih dari US$ 20 miliar per tahun tentunya akan menguap. Defisit necara perdagangan akan membengkak, dampaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan semakin melebar.
Ketika itu terjadi stabilitas dalam negeri tentunya akan goyah kembali.
Tetapi pemerintah tentunya tidak akan ujug-ujug menyetop ekspor batu bara, sama seperti nikel yang ditargetkan menjadi baterai lithium, batu bara tentunya bisa diolah menjadi produk yang memberikan nilai tambah, sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih besar dari pada hanya mengekspor bahan mentah.
Pages
Most Popular