Dolar Babak Belur, Rupiah Berjihad Menembus Rp 13.600/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 January 2020 08:35
Dolar Babak Belur, Rupiah Berjihad Menembus Rp 13.600/US$
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah gagah perkasa di pekan ini melawan dolar Amerika Serikat (AS), mencatat penguatan 1,19% ke Rp 13.755/US$ dan berada di level terkuat sejak April 2018.

Tidak hanya itu, dolar AS babak belur menghadapi rupiah, setelah dibuat melemah dalam enam pekan beruntun. Pada periode tersebut, rupiah membukukan penguatan 2,45%.

Meski perkasa di pekan ini, tetapi penguatan rupiah tidak dicapai dengan mudah. Rupiah sempat mendapat tekanan akibat risiko terjadinya perang antara AS dengan Iran, yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk, dan keluar dari aset-aset berisiko.

Seperti diketahui sebelumnya, pada Rabu (8/1/2020) pagi, Iran menyerang pangkalan militer AS di Irak dengan belasan rudal. Pasar dibuat cemas akan risiko terjadinya perang yang lebih luas, tetapi Presiden AS, Donald Trump, mendinginkan situasi.



Dalam pidatonya pada Rabu malam terkait serangan rudal tersebut Trump mengatakan Iran "sepertinya mundur" setelah melakukan serangan tersebut. Ia juga menyatakan akan mengenakan sanksi ekonomi ke Teheran. Hal tersebut mengindikasikan Presiden AS ke-45 ini tidak akan menggunakan kekuatan militer, yang membuat sentimen pelaku pasar kembali membaik.

Presiden AS ke-45 ini juga mengatakan membuka peluang bernegosiasi dengan Iran. "Kita semua harus bekerja sama untuk mencapai kesepakatan dengan Iran yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman dan damai" kata Trump sebagaimana dilansir CNBC International.

Tidak hanya Trump, Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif juga mendinginkan suasana. Melalui akun Twitternya, ia mengatakan "Kami tidak ingin eskalasi atau perang, tapi kami akan membela diri terhadap agresi apapun".

Pidato Trump serta pernyataan Zarif mengindikasikan kedua negara tidak akan melakukan serangan militer lagi, yang membuat sentimen pelaku pasar kembali membaik dan masuk ke aset berisko serta berimbal hasil tinggi, rupiah pun kembali perkasa.

Selain dari eksternal, rupiah juga mendapat tenaga menguat dari dalam negeri.

Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa Indonesia bulan Desember 2019 yang naik menjadi US$ 129,18 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat US$ 126,63 miliar. Cadangan devisa di bulan Desember tersebut sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Januari 2018.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," tulis BI dalam keterangannya, Rabu lalu.

Dengan cadangan devisa yang meningkat, BI akan lebih leluasa menstabilkan nilai tukar rupiah ketika mengalami gejolak, sehingga investor akan merasa nyaman menanamkan modalnya di Indonesia.

Data tenaga kerja AS yang buruk menambah tekanan bagi dolar AS. Data tersebut dirilis pada Jumat malam saat pasar Indonesia sudah ditutup, sehingga baru akan berdampak pada perdagangan Senin besok. 

Departemen Tenaga Kerja AS pada pukul 20:30 WIB melaporkan sepanjang bulan Desember perekonomian negeri Paman Sam menyerap 145.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian, atau yang dikenal dengan istilah non-farm payroll. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya sebanyak 256.000 tenaga kerja.

Data lain yang tidak kalah mengecewakan adalah rata-rata upah per jam yang hanya naik 0,1% month-on-month (MoM), lebih rendah dibandingkan kenaikan bulan sebelumnya 0,3%. Rendahnya kenaikan rata-rata upah tentunya akan berdampak pada daya beli masyarakat, dan tentunya mempengaruhi prospek inflasi.

Indeks dolar pada perdagangan Jumat melemah 0,1% usai rilis data tersebut padahal tiga hari sebelumnya menguat 0,81%. Rupiah bisa memanfaatkan dolar yang sedang loyo untuk kembali menguat. 

Untuk diketahui, data tenaga kerja dan inflasi merupakan dua acuan utama bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menentukan suku bunga. The Fed akhir tahun lalu yang menyatakan suku bunga tidak akan dinaikkan di tahun ini. 



Data inflasi AS akan dirilis pada Selasa (14/1/2020), hasil polling Reuters menunjukkan kenaikan harga di AS bulan Desember tersebut diprediksi tumbuh 0,3% sama dengan pertumbuhan bulan sebelumnya. Inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan diperkirakan tumbuh 0,2% sama dengan bulan November. 

Jika data inflasi kembali mengecewakan, dengan kata lain pertumbuhannya lebih rendah dari prediksi, probabilitas The Fed kembali memangkas suku bunga di tahun ini tentunya akan meningkat, dan dolar akan semakin tertekan. 

Kemudian yang paling ditunggu-tunggu pelaku pasar di pekan ini adalah penandatangan kesepakatan dagang AS-China pada Rabu (15/1/2020). 

Pemerintah Beijing memastikan akan menandatangani kesepakatan dagang fase I pada 15 Januari mendatang. 

"Karena undangan dari AS, Liu He (Wakil Perdana Menteri China) akan memimpin delegasi ke Washington dari tanggal 13 hingga 15 Januari untuk menandatangani perjanjian fase I," kata Menteri Pertanian China Gao Feng, sebagaimana dikutip AFP.

Kesepakatan dagang fase I bisa menjadi awal berakhirnya perang dagang antara AS dengan China yang sudah berlangsung sejak pertengahan 2018, dan membuat perekonomian global melambat. Ketika perang dagang resmi berakhir, laju pertumbuhan ekonomi global diharapkan akan lebih terakselerasi. 

Dalam kondisi tersebut sentimen pelaku pasar akan membuncah, dan masuk ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi. Indonesia bisa menjadi tujuan investasi yang menarik, dan rupiah akan mendapat tenaga untuk menguat, dan berpeluang ke kisaran Rp 13.600-an per dolar AS di pekan depan. 


Secara teknikal, tanda-tanda penguatan rupiah sudah muncul sejak Selasa (7/1/2020). Saat itu rupiah membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di level Rp 13.870/US$, menguat 0,47%.

Level pembukaan rupiah itu sekaligus menjadi titik terlemahnya, sementara level penutupan menjadi titik terkuat rupiah pada hari Selasa. Dengan demikian, secara teknikal rupiah membentuk pola Black Marubozu. 

Foto: Refinitiv


Grafik di atas menunjukkan pergerakan harian dolar AS vs rupiah (USD/IDR) dalam candlestick. Black Marubozu terjadi pada hari Selasa lalu, yang menjadi tanda jika dominannya para investor yang menjual dolar AS dan dan atau membeli rupiah.

Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrument akan mengalami penurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah. Dengan kata lain, rupiah berpotensi melanjutkan penguatan. 

Dominannya para investor yang menjual dolar AS dan dan atau membeli rupiah akhirnya terlihat lagi sejak Kamis setelah menahan diri akibat risiko terjadinya perang antara AS dan Iran.

Indikator Stochastic yang berada di wilayah jenuh jual (oversold) berpotensi menahan penguatan rupiah, dengan support (tahanan bawah) berada di kisaran Rp 13.735/US$ (level terkuat rupiah April 2018). 

Selama tertahan di atas support, rupiah berisiko mengalami koreksi, tetapi jika mampu menembusnya, Sang Garuda berpeluang menguat menuju Rp 13.695/US$ (level terkuat rupiah Maret 2018). Jika level tersebut berhasil ditembus secara konsisten, rupiah berpeluang menguat Rp 13.660 sampai Rp 13.630/US$. 

Resisten (tahanan atas) Rp 13.830/US$ akan menjadi penahan pertama jika rupiah mengalami koreksi

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular