
Mantan Direktur Buka-bukaan Soal Megaskandal Jiwasraya
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
10 January 2020 11:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sempat diberitakan lari ke luar negeri dan sempat masuk ke lingkaran istana, Mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hary Prasetyo muncul ke publik dalam salah satu acara talk show di salah satu stasiun televisi nasional. Hary sempat disebut-sebut sebagai salah satu tokoh penting dalam sengkarut di tubuh Jiwasraya tersebut.
Hary menceritakan masalah yang melanda Jiwasraya versi dirinya. Hary membantah ada skema ponzi di Jiwasraya dan alasan investasi di saham-saham lapis kedua dan ketiga alias saham gorengan karena memberikan imbal hasil yang tinggi.
Menurut Hary, Jiwasraya memang sudah mengalami masalah insolvensi sebesar Rp 2,9 triliun sejak tahun 2002.
Hary menjelaskan, bersama keempat direksi lainnya ditunjuk Kementerian BUMN pada 2008 lalu diminta untuk menyelesaikan masalah Jiwasraya. Kala itu, pada akhir 2008 terjadi shortfall senilai Rp 6,7 triliun, dan untuk menyelamatkan asuransi jiwa pelat merah ini, butuh dana Rp 6,7 triliun untuk mencapai risk based capital atau RBC 120%.
Namun, tidak mudah mendapat dana bantuan dari pemerintah melalui Penyuntikan Modal Negara (PMN) karena kala itu terjadi krisis ekonomi global dan isu Bank Century sedang hangat-hangatnya.
"2009 ada surat Menteri BUMN ke Menteri Keuangan terkait insolvent mengajukan permintaan bantuan. Kami tidak menyampaikan ke pemegang polis, karena bisa menimbulkan distrust," jelas Hary, Selasa (7/01/2020).
Di tengah kondisi tekanan likuiditas, Jiwasraya harus tetap survive meski tanpa bantuan uang pemeirntah dan harus menjaga keberlanjutan usahanya (going concern). Bahkan menurut perhitungan Hary, untuk menyehatkan kembali Jiwasraya butuh waktu 17 tahun, atau setelah 2027 nanti.
Skema Ponzi dan Saham Gorengan
Hary pun membantah adanya skema ponzi dalam bisnis model yang dijalankan perusahaan.
"Sumber penerimaan perusahaan asuransi ada dua, premi dan investasi. Keduanya harus saling dukung. Bukan skema ponzi. Perusahan asuransi harus jualan terus. Kami memilik SOP jika premi masuk setelah dikurangi biaya asuransi atau klaim, sisanya masuk ke investasi," kata dia menjelaskan.
Padahal, dalam kesempatan sebelumnya, Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengatakan skema ini membuat perusahaan harus menggunakan setoran premi dari anggota untuk membayarkan klaim yang jatuh tempo setiap hari.
"Bahaya ponzi tuh begini, uang peserta baru digunakan untuk bayar. Mungkin, tapi dari awal sebenarnya tidak mikir ponzi, tapi ujung-ujungnya ponzi," kata Hexana ketika ditemui di kawasan Kemang, Jumat (27/12/2019).
Menurut Hexana, Jiwasraya yang menjanjikan fixed return kepada nasabah dengan rate sampai dengan 14% dan memberikan garansi jangka panjang untuk nasabahnya.
Adapun terkait investasi saham-saham di lapis kedua, kata Hary, hal itu dilakukan untuk memenuhi imbal hasil yang tinggi. Sebab, bila hanya berinvestasi di saham blue chips saja, RBC 120% tidak tercapai.
"RBC tidak terjaga langsung kolaps karena return tidak tercapai dengan yield tinggi," kata dia menjelaskan.
Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan Kejaksaan Agung, Jiwasraya diduga melakukan pelanggaran prinsip kehati-hatian karena berinvestasi di aset finansial dengan risiko tinggi untuk mengejar keuntungan tinggi.
Pertama adalah penempatan saham 22,4% senilai Rp 5,7 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut 2% di saham dengan kinerja baik dan 95% dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk.
Jiwasraya juga menempatkan investasi di aset reksa dana sebesar 59,1% senilai Rp 14,9 triliun dari aset finansial.
"Dari jumlah tersebut 2% dikelola oleh Manajer Investasi Indonesia dengan kinerja baik dan sebanyak 98% dikelola oleh MI dengan kinerja buruk," ungkap ST Burhanuddin, dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Akibat dari investasi tersebut, Asuransi Jiwasraya sampai dengan bulan Agustus 2019 menanggung potensi kerugian negara Rp 13,7 triliun.
(hps/hps) Next Article Ini Profil Eks Dirut & Dirkeu Jiwasraya yang Dicekal Imigrasi
Hary menceritakan masalah yang melanda Jiwasraya versi dirinya. Hary membantah ada skema ponzi di Jiwasraya dan alasan investasi di saham-saham lapis kedua dan ketiga alias saham gorengan karena memberikan imbal hasil yang tinggi.
Menurut Hary, Jiwasraya memang sudah mengalami masalah insolvensi sebesar Rp 2,9 triliun sejak tahun 2002.
Hary menjelaskan, bersama keempat direksi lainnya ditunjuk Kementerian BUMN pada 2008 lalu diminta untuk menyelesaikan masalah Jiwasraya. Kala itu, pada akhir 2008 terjadi shortfall senilai Rp 6,7 triliun, dan untuk menyelamatkan asuransi jiwa pelat merah ini, butuh dana Rp 6,7 triliun untuk mencapai risk based capital atau RBC 120%.
"2009 ada surat Menteri BUMN ke Menteri Keuangan terkait insolvent mengajukan permintaan bantuan. Kami tidak menyampaikan ke pemegang polis, karena bisa menimbulkan distrust," jelas Hary, Selasa (7/01/2020).
Di tengah kondisi tekanan likuiditas, Jiwasraya harus tetap survive meski tanpa bantuan uang pemeirntah dan harus menjaga keberlanjutan usahanya (going concern). Bahkan menurut perhitungan Hary, untuk menyehatkan kembali Jiwasraya butuh waktu 17 tahun, atau setelah 2027 nanti.
Skema Ponzi dan Saham Gorengan
Hary pun membantah adanya skema ponzi dalam bisnis model yang dijalankan perusahaan.
"Sumber penerimaan perusahaan asuransi ada dua, premi dan investasi. Keduanya harus saling dukung. Bukan skema ponzi. Perusahan asuransi harus jualan terus. Kami memilik SOP jika premi masuk setelah dikurangi biaya asuransi atau klaim, sisanya masuk ke investasi," kata dia menjelaskan.
Padahal, dalam kesempatan sebelumnya, Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengatakan skema ini membuat perusahaan harus menggunakan setoran premi dari anggota untuk membayarkan klaim yang jatuh tempo setiap hari.
"Bahaya ponzi tuh begini, uang peserta baru digunakan untuk bayar. Mungkin, tapi dari awal sebenarnya tidak mikir ponzi, tapi ujung-ujungnya ponzi," kata Hexana ketika ditemui di kawasan Kemang, Jumat (27/12/2019).
Menurut Hexana, Jiwasraya yang menjanjikan fixed return kepada nasabah dengan rate sampai dengan 14% dan memberikan garansi jangka panjang untuk nasabahnya.
Adapun terkait investasi saham-saham di lapis kedua, kata Hary, hal itu dilakukan untuk memenuhi imbal hasil yang tinggi. Sebab, bila hanya berinvestasi di saham blue chips saja, RBC 120% tidak tercapai.
"RBC tidak terjaga langsung kolaps karena return tidak tercapai dengan yield tinggi," kata dia menjelaskan.
Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan Kejaksaan Agung, Jiwasraya diduga melakukan pelanggaran prinsip kehati-hatian karena berinvestasi di aset finansial dengan risiko tinggi untuk mengejar keuntungan tinggi.
Pertama adalah penempatan saham 22,4% senilai Rp 5,7 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tersebut 2% di saham dengan kinerja baik dan 95% dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk.
Jiwasraya juga menempatkan investasi di aset reksa dana sebesar 59,1% senilai Rp 14,9 triliun dari aset finansial.
"Dari jumlah tersebut 2% dikelola oleh Manajer Investasi Indonesia dengan kinerja baik dan sebanyak 98% dikelola oleh MI dengan kinerja buruk," ungkap ST Burhanuddin, dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Akibat dari investasi tersebut, Asuransi Jiwasraya sampai dengan bulan Agustus 2019 menanggung potensi kerugian negara Rp 13,7 triliun.
(hps/hps) Next Article Ini Profil Eks Dirut & Dirkeu Jiwasraya yang Dicekal Imigrasi
Most Popular