
Penjualan Ritel Loyo, Fix Daya Beli Orang RI Turun!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 January 2020 10:51

Sepanjang 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sebesar 2,72% YoY. Ini adalah laju paling lambat sejak 1999. Inflasi rendah bisa dilihat dari dua kacamata.
Pertama, keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan harga terutama kebutuhan pokok. Namun untuk yang satu ini, sepertinya pemerintah tidak bisa melakukan klaim. Pasalnya, inflasi kelompok barang dengan harga bergejolak (volatile goods, yang sebagian besar adalah bahan pangan) tercatat 4,3% pada 2019. Lebih tinggi ketimbang pencapaian 2018 yang sebesar 3,39%.
Sudut pandang kedua adalah inflasi rendah adalah buah dari daya beli yang bermasalah. Untuk melihat daya beli, indikator yang kerap digunakan adalah inflasi inti.
Sepanjang 2019, laju inflasi inti pada 2019 tercatat 3,02%. Sedikit melambat dibandingkan 2018 yakni 3,07%.
Inflasi inti adalah kelompok barang dan jasa yang harganya susah naik-turun atau persisten. Ketika inflasi inti terakselerasi, tandanya konsumen masih mau membayar lebih tinggi untuk barang dan jasa yang sebenarnya harganya susah naik. Ini adalah cerminan daya beli yang sehat.
Namun pada 2019, terlihat ada sedikit perlambatan inflasi inti. Artinya, harus diakui bahwa konsumsi rumah tangga sedang tidak baik-baik saja.
Kemudian ada data penerimaan PPN. Sepanjang 2019, penerimaan PPN tercatat Rp 532,9 triliun atau turun 0,8% dibandingkan 2018. Dari seluruh jenis pajak, hanya PPN dan Pajak Penghasilan (PPH) Migas yang mengalami kontraksi.
PPN adalah pajak yang dibayarkan atas segala transaksi dengan tarif 10%. Penurunan setoran PPN menggambarkan bahwa transaksi di perekonomian nasional memang berkurang. Ini artinya konsumsi masyarakat sedang lesu.
Oleh karena itu, perlambatan penjualan ritel November (dan risiko kontraksi pada Desember) seakan memberi konfirmasi bahwa rumah tangga menahan atau bahkan mengurangi konsumsi. Jadi, Indonesia tidak boleh terlena.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pertama, keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan harga terutama kebutuhan pokok. Namun untuk yang satu ini, sepertinya pemerintah tidak bisa melakukan klaim. Pasalnya, inflasi kelompok barang dengan harga bergejolak (volatile goods, yang sebagian besar adalah bahan pangan) tercatat 4,3% pada 2019. Lebih tinggi ketimbang pencapaian 2018 yang sebesar 3,39%.
Sudut pandang kedua adalah inflasi rendah adalah buah dari daya beli yang bermasalah. Untuk melihat daya beli, indikator yang kerap digunakan adalah inflasi inti.
Inflasi inti adalah kelompok barang dan jasa yang harganya susah naik-turun atau persisten. Ketika inflasi inti terakselerasi, tandanya konsumen masih mau membayar lebih tinggi untuk barang dan jasa yang sebenarnya harganya susah naik. Ini adalah cerminan daya beli yang sehat.
Namun pada 2019, terlihat ada sedikit perlambatan inflasi inti. Artinya, harus diakui bahwa konsumsi rumah tangga sedang tidak baik-baik saja.
Kemudian ada data penerimaan PPN. Sepanjang 2019, penerimaan PPN tercatat Rp 532,9 triliun atau turun 0,8% dibandingkan 2018. Dari seluruh jenis pajak, hanya PPN dan Pajak Penghasilan (PPH) Migas yang mengalami kontraksi.
![]() |
PPN adalah pajak yang dibayarkan atas segala transaksi dengan tarif 10%. Penurunan setoran PPN menggambarkan bahwa transaksi di perekonomian nasional memang berkurang. Ini artinya konsumsi masyarakat sedang lesu.
Oleh karena itu, perlambatan penjualan ritel November (dan risiko kontraksi pada Desember) seakan memberi konfirmasi bahwa rumah tangga menahan atau bahkan mengurangi konsumsi. Jadi, Indonesia tidak boleh terlena.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular