Deretan Saham Alternatif Ini Diuntungkan Konflik AS-Iran

Putu Agus Pransuamitra & Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
09 January 2020 16:02
Deretan Saham Alternatif Ini Diuntungkan Konflik AS-Iran
Foto: Aktivis berkumpul di dekat Menara Trump Chicago untuk memprotes tindakan militer AS terhadap Irak (Abel Uribe/Chicago Tribune via AP)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertikaian Amerika Serikat (AS)-Iran di awal tahun ini tampaknya baru merupakan babak awal dan menyebabkan sebagian besar saham di bursa domestik masih akan tertekan, minimal dalam waktu dekat.

Namun, tentu ada harapan di balik semua bencana. Karena itu, masih ada sebagian kecil saham-saham unggulan (blue chips) yang sudah dapat dilirik sebagai alternatif ketika AS-Iran kembali memanas nanti.

Setiap konflik juga harusnya membuat investor dan pedagang (trader) mengulik ulang investasinya dengan lebih detail. Dari yang biasanya cuma ditengok, kali ini tidak ada salahnya untuk ditambah-tambah dan dihitung persentasenya.

Setelah itu, mulai perhatikan dan terapkan strategi diversifikasi, terutama dengan membagi dua saham di pasar.

Jenis pertama, tandai dengan nama kategori "akan diuntungkan konflik AS-Iran dan pilihan tahun ini." Baru kelompok kedua adalah saham-saham lain yang lebih konservatif dan lebih mengekor sentimen pasar keuangan global.

HOLD-Saham Alternatif Konflik AS-IranFoto: Demo Mengecam Tindakan AS Terhadap Iran di Pakistan (AP Photo/K.M. Chaudary)


Untuk itu, berdasarkan kompilasi riset di platform online sebuah perusahaan sekuritas, dapat ditilik beberapa saham kategori "akan diuntungkan konflik AS-Iran dan pilihan tahun ini" dan yang masih memiliki dominasi rekomendasi beli (buy) oleh beberapa analis di tengah konflik AS-Iran tersebut.

Berikut ini ulasannya:

Industri Minyak Mentah
Di tengah berkecamuknya kekhawatiran, misalnya ketika Iran melancarkan aksi balasan dengan peluncuran rudal ke markas AS, minyak mentah sebagai komoditas utama di Timur Tengah dan Teluk Persia tentu terkena dampak dari sisi prospek produksi yang turun. Produksi yang telah turun itu dapat diproyeksi justru dapat memberi dampak positif ke harga minyak mentah.


Kenaikan harga minyak Brent yang sempat mencapai US$ 69/barel atau naik 4,5% dari US$ 66/barel pada akhir 2019 merupakan salah satu bukti bahwa pelaku pasar global sudah menyikapi potensi Perang Teluk III tersebut.

Di dalam negeri, beberapa pilihan saham unggulan sudah mulai menunjukkan keunggulannya dalam menyerap sentimen positif harga minyak.

PT AKR Corporindo Tbk (AKRA)
Emiten distribusi BBM yang didirikan Soegiarto Adikoesoemo tersebut menjadi satu-satunya perusahaan swasta yang mendapatkan jatah distribusi BBM bersubsidi sebanyak 15,87 kl (kilo liter) tahun ini, bersama dengan BUMN PT Pertamina.

Selain mengusung merek sendiri, perusahaan yang dulunya dirintis dengan nama Aneka Kimia Raya tersebut sudah menjalin kerja sama dengan BP Plc (dulunya bernama The British Petroleum Company plc dan BP Amoco plc) dengan mendirikan anak usaha bernama PT Anake Petroindo Raya. 

Dengan BP, AKRA dan sudah memiliki 10 SPBU di Jabodetabek, Jawa Barat, dan Jawa Timur, sehingga sudah menyumbang jumlah total milik perseroan menjadi 145 SPBU per Agustus tahun lalu. Jumlah tersebut di atas merek SPBU swasta lain, di mana Shell baru memiliki 101 SPBU, Total 13 SPBU, Vivo dua SPBU, dan swasta lain 116 SPBU pada periode yang sama.

Perusahaan mendapatkan rekomendasi BUY dari tujuh analis, di mana satu orang pelaku pasar lain masing-masing masih memberikan rekomendasi SELL dan HOLD.



PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC)
Perusahaan yang awalnya adalah pengebor minyak dan gas bernama Meta Epsi Drilling Company tersebut masih memiliki asa di mata pelaku pasar modal. Laporan keuangan grup usaha milik keluarga Panigoro tersebut pada kuartal III-2019 menunjukkan pembalikan arah menjadi laba US$ 19,27 juta dari rugi US$ 11,08 juta pada periode 2017.

Meskipun berbaliknya rugi menjadi laba itu lebih disebabkan adanya konsolidasi dari akuisisi baru emiten yakni Ophir Energy, tetapi sentimen positif minyak di tengah konflik Iran turut membubungkan saham perseroan sejak tahun 5,78% menjadi Rp 915/saham kemarin.

Pilihan lain di luar blue chips: PT Elnusa Tbk (ELSA) dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG).


[Gambas:Video CNBC]



Industri Emas
Tidak hanya konflik AS-Iran, tetapi setiap terjadinya konflik yang memicu kekhawatiran maka investor akan mulai beralih ke instrumen yang dianggap lebih aman (safe haven instrument) baik mata uang maupun logam mulia yakni emas.

Untuk 'si kuning', kenaikan harga sudah membuatnya sempat naik hingga ke atas level psikologis US$ 1.600/troy ounce (oz) pekan ini.

PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)
Meskipun ada dua saham emiten lain di industri emas, tetapi posisi ANTM sebagai satu-satunya emiten di industri tersebut yang likuid dan blue chip tentu membuatnya memiliki posisi tawar lebih baik di hadapan investor di pasar.

Saat ini, analis masih bulat terhadap rekomendasi saham ANTM di mana saham itu mendapatkan aklamasi rekomendasi beli oleh seluruh 10 analis yang mengamati saham perseroan. Tidak ada rekomendasi SELL dan HOLD untuk saham ini sampai saat ini

Pilihan lain di luar blue chips: PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA).


Industri Perkebunan Sawit

Di tengah kecaman dari Eropa yang sudah memberi cap 'haram' bagi produk industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), harga minyak nabati tersebut justru terangkat sejak pertengahan tahun lalu. Tercatat setidaknya sejak Oktober 2019 hingga akhir tahun lalu, harga komoditas tersebut sudah naik lebih dari 40%.

Sekurangnya ada enam faktor utama yang membuat industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), yang masuk ke dalam indeks sektor agrikultur, masih seksi di mata investor pada awal tahun ini, yaitu:

1. Pengaruh dari penerapan B30 pada 2019 dan B40 pada 2020. Artinya, konsumsi CPO oleh industri BBM khususnya biodiesel akan semakin besar seiring dengan aksi pemerintah meningkatkan campuran salah satu minyak nabati itu di pasar. Selain di dalam negeri, program B10 oleh Malaysia pada tahun lalu dan B20 tahun ini juga akan mengerek tingkat konsumsi terhadap minyak nabati tersebut.

2. Terlambatnya musim hujan pada akhir 2019 menyebabkan kekeringan di dalam negeri dan di Negeri Jiran yang juga produsen terbesar CPO terbesar dunia. Lebih panjangnya musim kemarau tersebut akan menurunkan tingkat produksi, yang akhirnya akan menghasilkan kenaikan harga komoditas tersebut.

3. Pecahnya konflik AS-Iran turut menambah faktor positif karena letak geografis dua negara pengimpor CPO tidak jauh dari Timur Tengah, yaitu India dan Pakistan. Belum lagi, India sedang berseteru dengan Malaysia sehingga dari sudut pandang Indonesia, produk sawit dan turunan dari Indonesia akan semakin diuntungkan.

4. Kenaikan harga minyak dunia tidak hanya membuat emiten di industri tersebut semakin seksi dengan potensi kenaikan emas hitam tersebut, tetapi juga berdampak pada biaya distribusi bagi industri transportasi. Pengiriman semua macam produk, termasuk CPO, juga akan naik dan menyebabkan harga jualnya akan semakin tinggi di pasaran dunia.

5. Sifat CPO sebagai subtitusi bahan bakar minyak secara umum, terutama pada biodiesel, tentu juga akan terangkat oleh meningkatnya konflik AS-Iran yang dapat mendorong lebih jauh harga minyak dunia.

6. Momentum awal tahun yang bertepatan dengan perayaan Tahun Baru China, atau biasa dikenal dengan nama Imlek dan Sinchia, tentu akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat, yang akan disusul dengan Cap Go Meh di hari ke-15 tahun baru tersebut.

Tidak terkecuali perayaan tersebut akan digelar di China yang merupakan asal dari kebudayaan dan peradaban, sehingga dapat meningkatkan konsumsi pada CPO.

Korelasi antara kenaikan harga CPO global dengan saham produsen komoditas tersebut sudah tidak perlu diuji lagi, karena faktor naiknya harga akan lebih berpengaruh terhadap kinerja keuangan perseroan dibanding dengan peningkatan kualitas kinerja operasionalnya.

PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)
Saham perusahaan milik Grup Salim itu akan menjadi satu dari dua pilihan utama di industri CPO karena statusnya sebagai saham unggulan. Untuk LSIP, delapan dari total 9 analis merekomendasikan BUY, sedangkan masih ada satu pelaku pasar yang menempatkan rekomendasi pada HOLD.

PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI)
Meskipun belum sama likuidnya dengan LSIP di pasar (terlihat dari nilai transaksi dan ketebalan bid-offer transaksi harian), tetapi emiten memiliki keunggulan dibanding pesaing terdekatnya itu dari sisi kapitalisasi pasar.

Dengan potensi mendapatkan perhatian yang serupa dengan LSIP, sebanyak sembilan analis masih merekomendasi BUY untuk AALI dengan dua orang pelaku pasar lain merekomendasi HOLD.

Pilihan lain di luar blue chips: PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS), PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA).

Industri yang Defensif
Industri barang konsumsi secara luas yang tidak hanya mencakup makanan, rokok, dan kebutuhan dasar, sehingga dapat melebar ke sektor telekomunikasi baik operator maupun menara yang hampir tidak hampir tidak pernah habis kebutuhan dari konsumennya. Industri lain yang juga dapat dikaitkan dengan konsumsi masyarakat adalah peritel.

PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF)
Induk dari Grup Indofood tersebutmenjadi pilihan utama pelaku pasar saat ini dibanding anak usahanya, yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Karena sifatnya sebagai induk, INDF mencakup seluruh bisnis kelompok usaha itu, sedangkan ICBP fokus pada produk bermerek seperti es krim dan susu, tepung terigu, mi instan, serta minuman.

Karena itu, saat ini pelaku pasar lebih menggemari INDF yang memiliki komponen CPO di dalamnya. Sebaliknya, sebelumnya investor lebih memilih ICBP karena kinerja emiten CPO di bawahnya kurang baik tahun lalu.

INDF mendapatkan 13 rekomendasi BUY dan tidak ada yang merekomendasi HOLD dan JUAL, sedangkan sebanyak 12 analis merekomendasi BUY untuk ICBP, di mana satu analis merekomendasikan HOLD dan dua orang yang merekomendasi SELL.


PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR)
Saham emiten yang dimiliki perusahaan transnasional Inggris-Belanda tersebut masih menjadi andalan di pasar modal karena belum ada lawan yang seimbang, baik dari sisi variasi produk maupun jumlah produk keperluan harian (fast moving consumer goods/FMCG) yang berhasil dijual.

Belum lagi posisinya di pasar yang sudah cukup terkoreksi dari posisi tertinggi dalam setahun terakhir, yaitu -15,49% dari Rp 9.880/saham pada 18 April 2019 hingga kemarin Rp 8.350/saham, jika harganya disamakan karena perseroan baru menggelar aksi pemecahan nilai saham (stock split).

Satu saham lain di barang konsumsi adalah PT Mayora Indah Tbk (MYOR). Perusahaan yang didirikan Jogi Hendra Atmadja bersama Raden Soedigdo dan Darmawan Kurnia pada 1977 itu sudah turun 21,84% tahun lalu, meskipun valuasi PE ratio perseroan masih cukup tinggi yaitu di kisaran 20 kali.

Saat ini, produsen Kopi Tora Bika dan Teh Pucuk Harum tersebut mulai dilirik lagi karena kinerja 2019 yang kurang baik, sehingga berpotensi membalikkan kondisi tahun ini. Kinerja hingga akhir September menunjukkan laba bersihnya turun tipis atau relatif stagnan menjadi Rp 1,09 triliun dari Rp 1,1 triliun.


PT Gudang Garam Tbk (GGRM)
Saham perusahaan rokok asal Kediri tersebut menjadi pilihan utama di pasar karena likuiditas serta bobotnya yang besar di pasar. Sepanjang tahun lalu, saham perseroan sudah turun 36,77%, lebih besar dari rencana penaikan terbesar harga jual rokok yang hanya 35%.

Karena penurunan harga tersebut, valuasi rasio harga saham per laba (PE ratio) perseroan juga termasuk lebih rendah daripada pemimpin di industri rokok dari sisi produksi dan penjualan, yang juga pesaingnya yang juga blue chip yaitu PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP).

PE ratio GGRM berada di kisaran 11 kali, sedangkan HMSP sebesar 19 kali, yang menempatkan saham produsen rokok Surya tersebut lebih murah dibanding Sampoerna yang memproduksi rokok A-Mild.

Bobotnya yang besar terhadap IHSG juga menjadikan GGRM lebih unggul dibanding HMSP. HMSP yang didirikan di Surabaya tersebut saat ini sudah dimiliki oleh produsen rokok global Philip Morris yang juga memproduksi Marlboro.

Posisinya sebagai pemimpin industri menjadi poin penting HMSP, tetapi di sisi lain porsi saham publik yang masih sangat kecil yaitu 7,5% sehingga porsinya di beberapa indeks juga semakin kecil, terutama di indeks saham paling likuid di bursa yaitu LQ-45.

Gudang Garam memiliki modal rekomendasi BUY dari sebanyak 17 analis, tiga orang pelaku pasar lainnya masih merekomendasi HOLD, dan dua orang merekomendasi SELL. Di sisi lain, sebanyak 14 analis merekomendasi BUY untuk HMSP, dua HOLD, dan enam SELL.

Berbicara tentang barang konsumsi, sektor ritel (bahasanya peritel) juga dapat memiliki keunggulan terutama bagi yang memiliki konsumen menengah ke atas sehingga relatif tidak terdampak potensi turunnya daya beli serta perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik dan global.

Keunggulan itu terutama akan menguntungkan bagi PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI). Peritel itu didirikan kelompok usaha milik Sjamsul Nursalim yang sudah lebih dulu terkenal dengan produk ban otomotif yaitu PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL).

Saat ini, saham perseroan masih mengikuti tren penguatan sejak posisi terendah tahun lalu yaitu Rp 790/saham yang sudah memberi potensi keuntungan 32,41% ke harga hari ini Rp 1.046/saham.

Untuk saham telekomunikasi, yang indeks sektoralnya menumpang di sektor infrastruktur, ada beberapa pilihan yang patut dicermati karena sekarang ini ponsel bukanlah pelengkap hidup, tetapi seakan-akan sudah menjadi hidup.

Ibaratnya, kehilangan uang masih dapat dibayangkan tetapi kehilangan sinyal dan habisnya layanan data merupakan sebuah bencana besar, apalagi kehilangan ponsel. Karena itu, saat ini saham industri telekomunikasi masih menjadi primadona di pasar dan menjadi pilihan sebagai saham defensif.


PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM)
Selain statusnya sebagai BUMN, Telkom adalah emiten dengan dominasi terbesar di industri, yakni mencapai lebih dari 75%.

Apalagi, sahamnya di pasar masih terkoreksi tipis -0,76% sejak awal tahun, dan memiliki valuasi rasio harga saham per laba (PE ratio) sekitar 18 kali. PE ratio itu lebih kecil daripada emiten blue chip telko lain yaitu PT XL Axiata Tbk (EXCL) sekitar 40 kali dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) sekitar 25 kali, yang menunjukkan saham TLKM lebih murah secara valuasi.

Rekomendasi BUY untuk TLKM dari 24 analis pasar mencapai kesepakatan bulat dengan angka 24 biji, di mana belum ada yang merekomendasi HOLD dan SELL.

Untuk EXCL, suara BUY juga bulat tetapi berasal dari analis yang lebih sedikit yaitu 17 orang. Saham Tower Bersama yang dioperatori Saratoga Capital mendapatkan rekomendasi enam BUY dengan dua HOLD.



TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular