Deretan Saham Alternatif Ini Diuntungkan Konflik AS-Iran

Putu Agus Pransuamitra & Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
09 January 2020 16:02
Industri Defensif
Foto: Founder dan Chairman CT Corporation Chairul Tanjung. beserta istri berkeliling saat meresmikan beroperasinya Transpark Mall Bintaro, Jumat (20/12/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Industri yang Defensif
Industri barang konsumsi secara luas yang tidak hanya mencakup makanan, rokok, dan kebutuhan dasar, sehingga dapat melebar ke sektor telekomunikasi baik operator maupun menara yang hampir tidak hampir tidak pernah habis kebutuhan dari konsumennya. Industri lain yang juga dapat dikaitkan dengan konsumsi masyarakat adalah peritel.

PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF)
Induk dari Grup Indofood tersebutmenjadi pilihan utama pelaku pasar saat ini dibanding anak usahanya, yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Karena sifatnya sebagai induk, INDF mencakup seluruh bisnis kelompok usaha itu, sedangkan ICBP fokus pada produk bermerek seperti es krim dan susu, tepung terigu, mi instan, serta minuman.

Karena itu, saat ini pelaku pasar lebih menggemari INDF yang memiliki komponen CPO di dalamnya. Sebaliknya, sebelumnya investor lebih memilih ICBP karena kinerja emiten CPO di bawahnya kurang baik tahun lalu.

INDF mendapatkan 13 rekomendasi BUY dan tidak ada yang merekomendasi HOLD dan JUAL, sedangkan sebanyak 12 analis merekomendasi BUY untuk ICBP, di mana satu analis merekomendasikan HOLD dan dua orang yang merekomendasi SELL.


PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR)
Saham emiten yang dimiliki perusahaan transnasional Inggris-Belanda tersebut masih menjadi andalan di pasar modal karena belum ada lawan yang seimbang, baik dari sisi variasi produk maupun jumlah produk keperluan harian (fast moving consumer goods/FMCG) yang berhasil dijual.

Belum lagi posisinya di pasar yang sudah cukup terkoreksi dari posisi tertinggi dalam setahun terakhir, yaitu -15,49% dari Rp 9.880/saham pada 18 April 2019 hingga kemarin Rp 8.350/saham, jika harganya disamakan karena perseroan baru menggelar aksi pemecahan nilai saham (stock split).

Satu saham lain di barang konsumsi adalah PT Mayora Indah Tbk (MYOR). Perusahaan yang didirikan Jogi Hendra Atmadja bersama Raden Soedigdo dan Darmawan Kurnia pada 1977 itu sudah turun 21,84% tahun lalu, meskipun valuasi PE ratio perseroan masih cukup tinggi yaitu di kisaran 20 kali.

Saat ini, produsen Kopi Tora Bika dan Teh Pucuk Harum tersebut mulai dilirik lagi karena kinerja 2019 yang kurang baik, sehingga berpotensi membalikkan kondisi tahun ini. Kinerja hingga akhir September menunjukkan laba bersihnya turun tipis atau relatif stagnan menjadi Rp 1,09 triliun dari Rp 1,1 triliun.


PT Gudang Garam Tbk (GGRM)
Saham perusahaan rokok asal Kediri tersebut menjadi pilihan utama di pasar karena likuiditas serta bobotnya yang besar di pasar. Sepanjang tahun lalu, saham perseroan sudah turun 36,77%, lebih besar dari rencana penaikan terbesar harga jual rokok yang hanya 35%.

Karena penurunan harga tersebut, valuasi rasio harga saham per laba (PE ratio) perseroan juga termasuk lebih rendah daripada pemimpin di industri rokok dari sisi produksi dan penjualan, yang juga pesaingnya yang juga blue chip yaitu PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP).

PE ratio GGRM berada di kisaran 11 kali, sedangkan HMSP sebesar 19 kali, yang menempatkan saham produsen rokok Surya tersebut lebih murah dibanding Sampoerna yang memproduksi rokok A-Mild.

Bobotnya yang besar terhadap IHSG juga menjadikan GGRM lebih unggul dibanding HMSP. HMSP yang didirikan di Surabaya tersebut saat ini sudah dimiliki oleh produsen rokok global Philip Morris yang juga memproduksi Marlboro.

Posisinya sebagai pemimpin industri menjadi poin penting HMSP, tetapi di sisi lain porsi saham publik yang masih sangat kecil yaitu 7,5% sehingga porsinya di beberapa indeks juga semakin kecil, terutama di indeks saham paling likuid di bursa yaitu LQ-45.

Gudang Garam memiliki modal rekomendasi BUY dari sebanyak 17 analis, tiga orang pelaku pasar lainnya masih merekomendasi HOLD, dan dua orang merekomendasi SELL. Di sisi lain, sebanyak 14 analis merekomendasi BUY untuk HMSP, dua HOLD, dan enam SELL.

Berbicara tentang barang konsumsi, sektor ritel (bahasanya peritel) juga dapat memiliki keunggulan terutama bagi yang memiliki konsumen menengah ke atas sehingga relatif tidak terdampak potensi turunnya daya beli serta perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik dan global.

Keunggulan itu terutama akan menguntungkan bagi PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI). Peritel itu didirikan kelompok usaha milik Sjamsul Nursalim yang sudah lebih dulu terkenal dengan produk ban otomotif yaitu PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL).

Saat ini, saham perseroan masih mengikuti tren penguatan sejak posisi terendah tahun lalu yaitu Rp 790/saham yang sudah memberi potensi keuntungan 32,41% ke harga hari ini Rp 1.046/saham.

Untuk saham telekomunikasi, yang indeks sektoralnya menumpang di sektor infrastruktur, ada beberapa pilihan yang patut dicermati karena sekarang ini ponsel bukanlah pelengkap hidup, tetapi seakan-akan sudah menjadi hidup.

Ibaratnya, kehilangan uang masih dapat dibayangkan tetapi kehilangan sinyal dan habisnya layanan data merupakan sebuah bencana besar, apalagi kehilangan ponsel. Karena itu, saat ini saham industri telekomunikasi masih menjadi primadona di pasar dan menjadi pilihan sebagai saham defensif.


PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM)
Selain statusnya sebagai BUMN, Telkom adalah emiten dengan dominasi terbesar di industri, yakni mencapai lebih dari 75%.

Apalagi, sahamnya di pasar masih terkoreksi tipis -0,76% sejak awal tahun, dan memiliki valuasi rasio harga saham per laba (PE ratio) sekitar 18 kali. PE ratio itu lebih kecil daripada emiten blue chip telko lain yaitu PT XL Axiata Tbk (EXCL) sekitar 40 kali dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) sekitar 25 kali, yang menunjukkan saham TLKM lebih murah secara valuasi.

Rekomendasi BUY untuk TLKM dari 24 analis pasar mencapai kesepakatan bulat dengan angka 24 biji, di mana belum ada yang merekomendasi HOLD dan SELL.

Untuk EXCL, suara BUY juga bulat tetapi berasal dari analis yang lebih sedikit yaitu 17 orang. Saham Tower Bersama yang dioperatori Saratoga Capital mendapatkan rekomendasi enam BUY dengan dua HOLD.


TIM RISET CNBC INDONESIA

 

(irv/irv)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular