
Deretan Saham Alternatif Ini Diuntungkan Konflik AS-Iran
Putu Agus Pransuamitra & Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
09 January 2020 16:02

Industri Emas
Tidak hanya konflik AS-Iran, tetapi setiap terjadinya konflik yang memicu kekhawatiran maka investor akan mulai beralih ke instrumen yang dianggap lebih aman (safe haven instrument) baik mata uang maupun logam mulia yakni emas.
Untuk 'si kuning', kenaikan harga sudah membuatnya sempat naik hingga ke atas level psikologis US$ 1.600/troy ounce (oz) pekan ini.
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)
Meskipun ada dua saham emiten lain di industri emas, tetapi posisi ANTM sebagai satu-satunya emiten di industri tersebut yang likuid dan blue chip tentu membuatnya memiliki posisi tawar lebih baik di hadapan investor di pasar.
Saat ini, analis masih bulat terhadap rekomendasi saham ANTM di mana saham itu mendapatkan aklamasi rekomendasi beli oleh seluruh 10 analis yang mengamati saham perseroan. Tidak ada rekomendasi SELL dan HOLD untuk saham ini sampai saat ini
Pilihan lain di luar blue chips: PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA).
Industri Perkebunan Sawit
Di tengah kecaman dari Eropa yang sudah memberi cap 'haram' bagi produk industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), harga minyak nabati tersebut justru terangkat sejak pertengahan tahun lalu. Tercatat setidaknya sejak Oktober 2019 hingga akhir tahun lalu, harga komoditas tersebut sudah naik lebih dari 40%.
Sekurangnya ada enam faktor utama yang membuat industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), yang masuk ke dalam indeks sektor agrikultur, masih seksi di mata investor pada awal tahun ini, yaitu:
1. Pengaruh dari penerapan B30 pada 2019 dan B40 pada 2020. Artinya, konsumsi CPO oleh industri BBM khususnya biodiesel akan semakin besar seiring dengan aksi pemerintah meningkatkan campuran salah satu minyak nabati itu di pasar. Selain di dalam negeri, program B10 oleh Malaysia pada tahun lalu dan B20 tahun ini juga akan mengerek tingkat konsumsi terhadap minyak nabati tersebut.
2. Terlambatnya musim hujan pada akhir 2019 menyebabkan kekeringan di dalam negeri dan di Negeri Jiran yang juga produsen terbesar CPO terbesar dunia. Lebih panjangnya musim kemarau tersebut akan menurunkan tingkat produksi, yang akhirnya akan menghasilkan kenaikan harga komoditas tersebut.
3. Pecahnya konflik AS-Iran turut menambah faktor positif karena letak geografis dua negara pengimpor CPO tidak jauh dari Timur Tengah, yaitu India dan Pakistan. Belum lagi, India sedang berseteru dengan Malaysia sehingga dari sudut pandang Indonesia, produk sawit dan turunan dari Indonesia akan semakin diuntungkan.
4. Kenaikan harga minyak dunia tidak hanya membuat emiten di industri tersebut semakin seksi dengan potensi kenaikan emas hitam tersebut, tetapi juga berdampak pada biaya distribusi bagi industri transportasi. Pengiriman semua macam produk, termasuk CPO, juga akan naik dan menyebabkan harga jualnya akan semakin tinggi di pasaran dunia.
5. Sifat CPO sebagai subtitusi bahan bakar minyak secara umum, terutama pada biodiesel, tentu juga akan terangkat oleh meningkatnya konflik AS-Iran yang dapat mendorong lebih jauh harga minyak dunia.
6. Momentum awal tahun yang bertepatan dengan perayaan Tahun Baru China, atau biasa dikenal dengan nama Imlek dan Sinchia, tentu akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat, yang akan disusul dengan Cap Go Meh di hari ke-15 tahun baru tersebut.
Tidak terkecuali perayaan tersebut akan digelar di China yang merupakan asal dari kebudayaan dan peradaban, sehingga dapat meningkatkan konsumsi pada CPO.
Korelasi antara kenaikan harga CPO global dengan saham produsen komoditas tersebut sudah tidak perlu diuji lagi, karena faktor naiknya harga akan lebih berpengaruh terhadap kinerja keuangan perseroan dibanding dengan peningkatan kualitas kinerja operasionalnya.
PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)
Saham perusahaan milik Grup Salim itu akan menjadi satu dari dua pilihan utama di industri CPO karena statusnya sebagai saham unggulan. Untuk LSIP, delapan dari total 9 analis merekomendasikan BUY, sedangkan masih ada satu pelaku pasar yang menempatkan rekomendasi pada HOLD.
PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI)
Meskipun belum sama likuidnya dengan LSIP di pasar (terlihat dari nilai transaksi dan ketebalan bid-offer transaksi harian), tetapi emiten memiliki keunggulan dibanding pesaing terdekatnya itu dari sisi kapitalisasi pasar.
Dengan potensi mendapatkan perhatian yang serupa dengan LSIP, sebanyak sembilan analis masih merekomendasi BUY untuk AALI dengan dua orang pelaku pasar lain merekomendasi HOLD.
Pilihan lain di luar blue chips: PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS), PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA). (irv/irv)
Tidak hanya konflik AS-Iran, tetapi setiap terjadinya konflik yang memicu kekhawatiran maka investor akan mulai beralih ke instrumen yang dianggap lebih aman (safe haven instrument) baik mata uang maupun logam mulia yakni emas.
Untuk 'si kuning', kenaikan harga sudah membuatnya sempat naik hingga ke atas level psikologis US$ 1.600/troy ounce (oz) pekan ini.
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)
Meskipun ada dua saham emiten lain di industri emas, tetapi posisi ANTM sebagai satu-satunya emiten di industri tersebut yang likuid dan blue chip tentu membuatnya memiliki posisi tawar lebih baik di hadapan investor di pasar.
Pilihan lain di luar blue chips: PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA).
Industri Perkebunan Sawit
Di tengah kecaman dari Eropa yang sudah memberi cap 'haram' bagi produk industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), harga minyak nabati tersebut justru terangkat sejak pertengahan tahun lalu. Tercatat setidaknya sejak Oktober 2019 hingga akhir tahun lalu, harga komoditas tersebut sudah naik lebih dari 40%.
Sekurangnya ada enam faktor utama yang membuat industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), yang masuk ke dalam indeks sektor agrikultur, masih seksi di mata investor pada awal tahun ini, yaitu:
1. Pengaruh dari penerapan B30 pada 2019 dan B40 pada 2020. Artinya, konsumsi CPO oleh industri BBM khususnya biodiesel akan semakin besar seiring dengan aksi pemerintah meningkatkan campuran salah satu minyak nabati itu di pasar. Selain di dalam negeri, program B10 oleh Malaysia pada tahun lalu dan B20 tahun ini juga akan mengerek tingkat konsumsi terhadap minyak nabati tersebut.
2. Terlambatnya musim hujan pada akhir 2019 menyebabkan kekeringan di dalam negeri dan di Negeri Jiran yang juga produsen terbesar CPO terbesar dunia. Lebih panjangnya musim kemarau tersebut akan menurunkan tingkat produksi, yang akhirnya akan menghasilkan kenaikan harga komoditas tersebut.
3. Pecahnya konflik AS-Iran turut menambah faktor positif karena letak geografis dua negara pengimpor CPO tidak jauh dari Timur Tengah, yaitu India dan Pakistan. Belum lagi, India sedang berseteru dengan Malaysia sehingga dari sudut pandang Indonesia, produk sawit dan turunan dari Indonesia akan semakin diuntungkan.
4. Kenaikan harga minyak dunia tidak hanya membuat emiten di industri tersebut semakin seksi dengan potensi kenaikan emas hitam tersebut, tetapi juga berdampak pada biaya distribusi bagi industri transportasi. Pengiriman semua macam produk, termasuk CPO, juga akan naik dan menyebabkan harga jualnya akan semakin tinggi di pasaran dunia.
5. Sifat CPO sebagai subtitusi bahan bakar minyak secara umum, terutama pada biodiesel, tentu juga akan terangkat oleh meningkatnya konflik AS-Iran yang dapat mendorong lebih jauh harga minyak dunia.
6. Momentum awal tahun yang bertepatan dengan perayaan Tahun Baru China, atau biasa dikenal dengan nama Imlek dan Sinchia, tentu akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat, yang akan disusul dengan Cap Go Meh di hari ke-15 tahun baru tersebut.
Tidak terkecuali perayaan tersebut akan digelar di China yang merupakan asal dari kebudayaan dan peradaban, sehingga dapat meningkatkan konsumsi pada CPO.
Korelasi antara kenaikan harga CPO global dengan saham produsen komoditas tersebut sudah tidak perlu diuji lagi, karena faktor naiknya harga akan lebih berpengaruh terhadap kinerja keuangan perseroan dibanding dengan peningkatan kualitas kinerja operasionalnya.
PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)
Saham perusahaan milik Grup Salim itu akan menjadi satu dari dua pilihan utama di industri CPO karena statusnya sebagai saham unggulan. Untuk LSIP, delapan dari total 9 analis merekomendasikan BUY, sedangkan masih ada satu pelaku pasar yang menempatkan rekomendasi pada HOLD.
PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI)
Meskipun belum sama likuidnya dengan LSIP di pasar (terlihat dari nilai transaksi dan ketebalan bid-offer transaksi harian), tetapi emiten memiliki keunggulan dibanding pesaing terdekatnya itu dari sisi kapitalisasi pasar.
Dengan potensi mendapatkan perhatian yang serupa dengan LSIP, sebanyak sembilan analis masih merekomendasi BUY untuk AALI dengan dua orang pelaku pasar lain merekomendasi HOLD.
Pilihan lain di luar blue chips: PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS), PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA). (irv/irv)
Next Page
Industri Defensif
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular